Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mitos, Sejarah, dan Tokoh (Sejarah) Pujaannya

2 Desember 2016   18:29 Diperbarui: 2 Desember 2016   18:57 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Chaerol Riezal | Dok. Pribadi

Seorang teman saya pengagum (salah satu) tokoh sejarah, bercerita tentang posisi tokoh yang ia puja dalam khasanah sejarah Indonesia. Tentang seorang tokoh sejarah yang masih dipuja olehnya. Tentang keinginan tokoh sejarah itu (walau hanya sebatas bercita-cita saja) di masanya hingga berakibat sampai sekarang.

“Dia adalah jelmaan Dewa,” ujar teman saya ketika kami sedang menengak kopi hitam di depan Gedung Fakultas Pendidikan. Batin saya tersentak, seolah kopi yang sedang saya minum kembali panas. Ucapan itu membuat saya terhenti, berpikir sejenak tentang apa yang ia bicarakan.

Hanya empat kata. Cukup kata-kata itu saja, tak perlu diuraikan panjang lebar tentang sebuah makna yang hendak ia sampaikan. Empat kata itu adalah referensi pemujaan yang tak perlu dijelaskan arti superlatifnya. Selama beberapa waktu lalu, saya sempat punya keyakinan bahwa ia adalah orang yang berilmiah. Tapi karena ucapan tersebut, saya harus buru-buru merevisi keyakinan saya bahwa dia adalah saah satu masyarakat ilmiah yang mencoba mencampurkan ilmunya dengan mitos.

Anda tahu, pernyataan tadi menyeberangkan dan mengantarkan tokoh sejarah yang ia puja itu dari sebuah noktah sejarah menjadi mitos.

Ia (tokoh sejarah yang dipuja itu) bukan lagi sekadar cerita yang nyata adanya. Ia telah menjadikan tokoh itu sebagai yang khayal, yang lentur untuk dimasukkan dalam cerita apa saja. Fakta dan konteks menjadi relatif berhadapan dengan dirinya. Ini luar biasa menyengat hati saya.

Misal, dilihat dari segi prestasi dan kontribusi yang ia sumbangkan, dengan tidak bermaksud untuk mengecilkan, selama belasan tahun berkuasa/bertahta/berkarir untuk negeri ini, ia hanya sebatas bercita-citakan saja. Bahkan tak jarang, banyak kontroversi yang menyelimuti tokoh sejarah yang dipuja oleh teman saya.

Tetapi selalu muncul argumen bahwa tokoh yang ia puja itu, yang dalam perjalanan sejarah bangsa ini tak bakal teraih. Muncul pembelaan yang pada intinya mendudukkan tokoh sejarah yang dipuja teman saja itu, menjadikannya sebagai pusat alasan atas sebuah kesuksesan, dan tentunya berujung dengan kekuasaan dan kudeta yang kejam. Sementara ketidaksuksesan disebabkan oleh sekian macam faktor diluar tokoh itu yang (sepertinya) berkonspirasi untuk menggagalkan, dan sebuah cerita ketika ia dikudeta.

Juga, ingatkah ketika teman saya itu memalingkan wajahnya saat saya mengatakan bahwa tokoh yang ia puja itu masih dalam taraf bercita-cita dan belum naik levelnya menjadi action, terlepas dari hasil akhir dilapangan bahwa intinya ia telah berani berbuat nyata. Nol besar.

marzoan123.blogspot.co.id
marzoan123.blogspot.co.id
Teman saya itu mencoba membantah ucapan saya. Pemaknaan pengagum tokoh sejarah yang dipuja teman saya itu adalah Ajat berjuang untuk sebuah revolusi, dan teman saya itu membuka “kebobrokan” penerus tahta kekuasaan yang ida anggap diraih secara ilegal (dengan cara memanfaatkan situasi dan membalikkan fakta sejarah). Fakta sebenarnya tidak menjadi penting atau (sengaja) diabaikan.

Dari segi ketrampilan dan visi misinya, alasan pertama mengapa ia dipuja, mungkin ia hebat. Tetapi hebat itu tentu saja berkonteks: dibandingkan dengan siapa, posisinya, kompetisinya, maupun tentu saja jamannya, dan yang paling penting adalah (action) karya nyata.

Kalau kita mau bercermin sekarang, seberapa banyak yang pernah melihat secara langsung ia menorehkan catatan emas dan membawakan ke puncak kejayaannya? Kemungkinan besar tak terlalu banyak. Hanya cerita dari ingatan yang semakin kabur dari fakta yang kemungkinan beredar. Atau bagi mereka yang mempunyai akses ke Google ataupun Youtube, cuplikan-cuplikan yang tentu saja selektif memperlihatkan kehebatan tokoh yang di puja teman saya.

(Masih) terlalu banyak tokoh-tokoh sejarah di negeri kita ini (dan lebih banyak lagi di dunia ini yang action dan karyanya lebih nyata). Dalam catatan sejarah di dunia ini, skala yang lebih besar tentu saja ada nama-nama seperti Nabi Muhammad SAW, Isac Newton, Nabi Isa, Archimendes, Lao Tse, Julius Caesar, Umar Bin Khattab, ST Paul, Francisco Pizarro, Vasco Da Gama, Abraham Lincoln, Leonardo Da Vinci, dan sekian banyak nama tokoh sejarah di dunia ini yang mungkin tidak dikenal oleh teman saya itu. Atau Anda bisa merujuk ke sebuah buku 100 tokoh paling berpengaruh dalam sejarah karangan dari Michael H. Hart.

Bahkan tidak hanya sekadar menyangkut individu atau tokoh sebetulnya, sebagaimana teman saya memuja tokoh idolanya itu. Coba perhatikan, bukankah masih banyak orang-orang (termasuk saya sendiri) yang menikmati dan memuja tokoh sejarahnya di dunia ini. Ada juga yang menghambakan diri pada tokoh idolanya. Di zaman sekarang, para penggemar dari artis-artis Indonesia, Barat, Korsel, India, China, Timur Tengah, (mungkin juga Vietnam dan Thailand) adalah bukti nyatanya. Mereka berteriak terlalu histeris.

Semuanya, baik individu atau antar komunitas mempunyai keseragaman bahwa mereka mentransenden dari sekadar noktah sejarah menjadi mitos. Ketika konteks menjadi kabur. Ketika catatan faktual –dan kemungkinan kekurangan– terabaikan atau cenderung tidak diperhitungkan.

Anda tahu, mitos lahir dari tradisi ketika (umat) manusia mengandalkan alat inderawi: intuisi, perasaan, bau, sentuhan, pendengaran, penglihatan untuk mengarungi hidup.

Mitos, seperti halnya juga sejarah, adalah sebuah upaya untuk mencatat, mengingat, dan menuturkan sebuah peristiwa di masa lalu. Tetapi tidak sekadar itu, mitos dimaksudkan penuturnya untuk juga memberi kerangka pemahaman akan dunia, bagaimana memaknai peristiwa. Ia sebuah tuturan untuk mengarungi kehidupan yang sebisa mungkin harmonis dan menyesuaikan diri dengan alam.

Tidak mengherankan bahwa yang namanya mitos selalu saja mempunyai injeksi pesan moral dan kebijakan menyatu di dalamnya. Ia juga yang tak kalah penting universalitas, dalam pengertian bisa berlaku untuk siapa saja dalam lingkaran komunitas yang dituju. Karenanya, fakta dan konteks bukanlah yang paling penting dalam mitos.

Silahkan Anda check and recheck apakah mitos lebih mementingkan fakta dan konteks? Bahkan dalam mitos kita akan dihadapkan oleh hal-hal yang tidak masuk akal, diluar penalaran dan logika kita akan pasti menolak. Itulah sebabnya mengapa mitos-mitos yang berkembang di dalam suatu masyarakat, akan sulit diterima oleh masyarakat ilmiah. Mitos adalah persoalan pegangan hidup. Dimaksudkan untuk abadi.

Sementara sejarah merupakan bagian dari tradisi yang berkembang dengan mengandalkan intelektualitas dan rasionalitas. Sebuah tradisi (keilmuan) di abad ke 16 dan 17 merasa harus meninggalkan dunia inderawi dan menggantikannya dengan kepastian matematis.

Tradisi baru ini merasa harmonisasi dengan alam bukanlah dicapai dengan cara manusia menyesuaikan diri. Alam harus diatur dan ditata oleh manusia lewat daya pikir dan logika. Alam dipahami untuk ditaklukkan.

Mitos, seperti juga segala sesuatu yang mengandalkan inderawi, bagi para pengusung rasionalitas tidak bisa dipercaya. Terlalu direcoki oleh ketidakpastian, subyektifitas tanpa tara, bahkan fiksional dan tahayul.

Sejarah, dalam pandangan ilmuwan, lebih bisa dipercayai. Ia (sejarah) lebih dapat menampilkan catatan dan bukti masa lampau, fakta yang ilmiah, masuk akal, dan obyektif. Ia tidak berpretensi untuk merumuskan moralitas dan kebijakan, dua hal yang menurut para ilmuwan harus diserahkan pada interpretasi masing-masing individu. Sejarah bersifat kontekstual dan sementara (bisa direvisi apabila ditemukan bukti baru yang lebih kuat).

Jadi, walaupun sejarah dan mitos pada dasarnya merupakan cara bagaiamana untuk menjelaskan (dan menuturkan) sebuah peristiwa masa lalu, tetapi keduanya berasal dari akar pemahaman yang sangat berbeda. Sangat-sangat berbeda sekali.

Persoalannya adalah ketika mitos dan catatan sejarah jumbuh menjadi satu. Ketika mitos menjadi sejarah dan sebaliknya ketika sejarah menjadi mitos yang berkembang.

Tiba-tiba saja ketika yang faktual, obyektif, rasional, khayal, subyektif, kontekstual, non kontekstual, sementara, dan abadi berbaur menjadi satu. Tinggallah kita umat manusia sering kali tergagap-gagap tak mampu mengurai sejarah dari mitos.

Sehingga seorang Napoleon Bonaparte, entah bercanda, serius ataupun putus asa, sempat mengatakan, “Sejarah adalah sebuah mitos yang diyakini kebenarannya oleh umat manusia”.

Beruntunglah, bahwa kebenaran ilmu itu (termasuk sejarah) harus diperoleh berdasarkan teori-teori ilmu, metode baku dan prosedur yang berlaku. Sehingga kebenaran suatu ilmu itu tetap utuh dan terjaga. Biarkanlah kalau mitos dan sejarah sulit dipilah, setidaknya pengaruh pada kehidupan tidak terlalu merepotkan. Cukup menjadi perbincangan di warung kopi saja.

=====

Jumat, 2 Desember 2016.
*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah, lebih menyukai catatan-catatan sejarah yang bersifat faktual-objektifitas, dan masih sulit memahami sebuah mitos indrawi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun