Pedagang nasi kuning dengan gorengan seharga tujuh ribu Rupiah di pusat perkantoran Jakarta yang pernah saya ceritakan sebelumnya di media sebelah (baca: Mojok) pun kini lebih mengharapkan pemasukan dari berjualan kopi dan teh panas.
Bukannya kami jahat, malas, iri, dan tidak sayang adik-adik kita yang masih sekolah, makan siang gratis pun akan diprioritaskan untuk mereka dari keluarga tak mampu di daerah tertinggal terlebih dahulu. Harga makanan di daerah pun, apalagi di luar Pulau Jawa mengingat biaya distribusi yang tidak sedikit.
Akan tetapi tidak dipungkiri juga, anggaran makan siang gratis sebesar lima belas ribu Rupiah per hari per orang sukses menjadi topik nyinyir "budak korporat" di Jakarta.
Bayangkan berapa pendapatan tidak kena pajak yang diberlakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak saat ini, khususnya untuk lajang yang senilai Rp4,5 juta per bulan itu.
Cukup dapat UMR saja sudah berpeluang bayar pajak meskipun besarannya sedikit dan itu pun baru dibayarkan di akhir tahun, alias turut menjadi pendana dari program makan siang gratis ini ketika pendapatannya masih pas-pasan.
Banyak di antara mereka merantau dan hidup dengan penuh siasat untuk bertahan, termasuk di kontrakan sepetak nan sederhana dan itu pun sebagian di antaranya ilegal.
Pendapatan lebih tinggi seringkali juga bukan berarti bisa menikmatinya untuk makan enak, healing, dan ajojing di konser artis. Tempat tinggal beralih dari yang ilegal ke kos legal yang lebih dekat ke kantor, tetapi tetap saja sehari-hari harus bayar TransJakarta, MRT, atau JakLingko.
Di sini, listrik juga harus membayarnya sendiri dan tidak ditanggung oleh pemilik kos. Uang lebih yang tak banyak sebagian dikirim ke kampung untuk menghidupi orang tua yang sudah pensiun dan adik-adik yang masih sekolah, maklum sandwich generation.Â
Sisanya? Berharaplah tidak bertemu senior-senior nakal yang mengadakan acara berbayar dan memaksa juniornya untuk ikut atau siap-siap menghadapi konsekuensi tertentu, supaya di akhir tahun atau saat Lebaran uangnya terkumpul untuk bisa bertemu keluarga di kampung. Naik bus AKAP atau kereta ekonomi pun sudah senang, yang penting rindu itu terobati.
Pakai kipas angin setiap hari berisiko masuk angin sampai paru-paru basah, sehingga mereka yang punya sedikit uang lebih memilih kos dengan AC.Â
Demi harga unit AC yang lebih murah dan mudah didapat, pemilik kos memasang AC berukuran 1 PK yang lebih boros listrik dan sangat melebihi kebutuhan. Toh, isi token Rp200 ribu per bulan jadi tanggungan penghuni juga kan.