Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Analis aktuaria - narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan / Email: cevan7005@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kapan Kuliah Lagi? Saya Juga Berat Jawabnya, Kapan Difasilitasinya?

24 Februari 2024   10:43 Diperbarui: 25 Februari 2024   18:27 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mahasiswa. Sumber: Freepik

Ini memang pertanyaan yang masuk ke telingaku ketika perayaan Imlek kemarin, tetapi bukan tidak mungkin masuk telinga kalian saat Lebaran nanti. Lulus Sarjana dan sudah bekerja sekian lama, kukira akan ditanya kapan nikah karena sudah sekian lama doi pun tak punya. Ternyata pertanyaannya adalah kapan kuliah lagi.

Jika yang menanyakannya adalah mereka yang peduli pendidikan, wajar. Masalahnya kali ini mereka yang selama ini kurang peduli pendidikan ikut menanyakannya. Mungkin kini mereka sudah memahami bahwa pertanyaan "kapan menikah" kurang relevan untuk anak muda yang usianya memang belum masuk kategori "darurat" mencari jodoh dan mencari hal yang lebih penting.

Secara nasional, presiden kita merasa lulusan S2 dan S3 saat ini masih sedikit. Meskipun saat ini kebanyakan anak bangsa berjuang untuk langsung belajar sampai Sarjana, berbagai rintangan pada akhirnya membuat tak sedikit di antaranya berhenti di SMA, SMP, atau bahkan SD. Sumber calon mahasiswa pascasarjananya belum maksimal, kuliahnya lagi pun entah kapan dan itu pun kalau iya.

Beasiswa untuk kelas reguler dan bukan pekerja

Perusahaan tertentu yang lebih membutuhkan gelar pendidikan formal pegawainya daripada sertifikat kompetensi dan gelar profesi memang menyediakan beasiswa pendidikan pascasarjana. Biaya yang besar membatasi penerima untuk mereka yang memiliki jabatan lebih tinggi atau mereka yang siap mengikuti ikatan dinas untuk jangka waktu yang tidak sebentar. Ikatan selama tiga sampai lima tahun setelah lulus mungkin membuat banyak orang berpikir ulang, apalagi pengejar jalan tol kenaikan gaji dan jabatan melalui jalur kutu loncat.

Di satu sisi, biaya pendidikan pascasarjana itu mahal, gaji belum tentu besar untuk membayar uang kuliah, dan keuntungan tidak bisa dirasakan segera setelah lulus kecuali memang ada kenaikan jabatan atau gaji yang dipastikan berlaku langsung setelah kelulusan. Misalnya, jabatan tertentu yang membutuhkan lulusan pascasarjana terbuka untuk mereka dengan pengalaman kerja selama sembilan tahun. Untuk lebih cepat mencapai pemenuhannya, kuliah sambil kerja lebih baik daripada kuliah penuh sekitar dua tahun tetapi jika usianya masih 25 tahun ya tetap harus menunggu, berinvestasi dulu istilahnya.

Bahkan, spesialisasi dokter yang hanya ada untuk lulusan pascasarjana belum tentu membuat pendapatannya jadi lebih baik sejak keberadaan layanan BPJS Kesehatan. Kepuasan dari mereka yang merasa layanan tersebut sudah cukup mengurangi tingkat kunjungan dengan pembayaran pribadi ketika lulusan baru membuat ketersediaan dokter menjadi lebih banyak, ditambah lagi usia pensiun dokter cenderung lebih tua. 

Ada saja rumah sakit elit yang mulai menerapkan tarif konsultasi dokter lebih manusiawi, itu pun tingkat kunjungan belum dirasa maksimal oleh dokter. Di hari dan jam yang kurang favorit untuk pasien datang berobat, dokter membuka praktek di klinik atau rumahnya sendiri, tak jarang berani berinvestasi sarana pemeriksaan, dan menawarkan tarif yang bersaing dengan konsultasi dokter umum di IGD.

Imbasnya, sebagian dokter umum ikut menurunkan tarif konsultasinya agar masyarakat tidak merasa lebih baik langsung saja ke dokter spesialis dengan perbedaan biaya yang tidak signifikan. Hal lain terjadi ketika spesialisasi yang dipelajari oleh dokter spesialis tidak banyak pasiennya karena penyakitnya memang tidak banyak ditemukan di masyarakat, sekalipun keberadaan mereka langka tetap sulit mendapatkan penghasilan yang memadai sehingga akhirnya juga memanfaatkan ilmu kedokteran umum untuk berpraktek dan rela dibayar sama dengan para dokter umum.

Beasiswapun dicari, tetapi tersedia hanya untuk kelas reguler di hari dan jam kerja yang tentunya akan mengganggu pekerjaan, ditambah lagi beasiswanya memang tidak memperbolehkan penerimanya bekerja selama berkuliah. Berbeda dengan sertifikasi profesi, ujiannya tidak lama dan kursusnya pun tidak lama jika ada, bahkan bisa jadi belajar otodidak atau dari jauh pun boleh. Biayanya? Lebih murah juga. Pembatasan ini motivasinya tidak salah, agar penerima beasiswa benar-benar fokus belajar. Akan tetapi, apakah bagus juga ketika diisi oleh mereka yang masih sangat muda, belum punya pengalaman kerja atau baru sebentar, dan kemudian kembali untuk menjadi pegawai kantoran?

Motivasi itu ada, tetapi dapur tetap harus terus menyala

Gaji sebagai pekerja tidak selalu besar, belum termasuk dipotong pajak dan potongan lainnya, juga biaya transportasi dan akomodasi apalagi bagi anak rantau. Di satu sisi, beasiswa juga dapat memberikan uang saku dan penerima mungkin bekerja lepas selagi ada waktu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun