Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Analis aktuaria - narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan / Email: cevan7005@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Belajar dari Rumitnya Hubungan Tanpa Status di Masa Pubertas

21 Agustus 2021   20:05 Diperbarui: 22 Agustus 2021   20:44 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usia pubertas merupakan tahapan dalam hidup yang menurut saya agak ribet. Perubahan hormon yang mulai terjadi di masa ini membuat karakter fisik dan psikologis kita berubah, termasuk soal ketertarikan dengan lawan jenis yang perlu disikapi dengan hati-hati. Bagaimana jika di usia pubertas ini terjadi pula hubungan tanpa status? Rumit. Akan tetapi, ada yang bisa dipelajari dari rumitnya hubungan tanpa status di masa pubertas itu.

Usia pubertas, yang terjadi di masa sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama, memang bukan usia yang pas untuk berpacaran. Seingat saya, di bangku sekolah dulu diajarkan bahwa pacaran itu adalah masa untuk mengenal pasangan secara pribadi dan lebih mendalam sebelum memutuskan untuk menikahinya atau tidak. Pada kenyataannya, pacaran itu memang bisa berlangsung sangat lama sampai belasan tahun dan berujung pernikahan. Akan tetapi, komitmen mencari pasangan hidupnya tidak dari kecil kan ya?

Masalahnya, ketertarikan dengan lawan jenis kan sulit dibendung. Ketika seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan saling suka, mereka pasti akan mendekati satu sama lain. Ingin lebih terikat, tetapi belum siap menanggung malu akibat dicie-ciein teman-teman kalau ketahuan, masih dilarang oleh orang tua untuk berpacaran, atau belum mau memiliki suatu status tertentu, jadilah mereka memasuki suatu hubungan tanpa status.

Jika kalian bertanya kepada saya apakah saya pernah berada dalam hubungan tanpa status, silakan dipikirkan sendiri apakah cerita-cerita selanjutnya termasuk dalam klasifikasi itu. Yang jelas, saya hanya akan memberikan pandangan saya atas pengalaman yang pernah dialami dan semoga ini bermanfaat ketika Anda melihat anak Anda saat ini dalam situasi serupa.

Pengalaman hubungan tanpa status di bangku sekolah dasar

Di bangku sekolah dasar, saya pernah dekat dengan dua teman perempuan yang sama-sama memperebutkan gelar juara kelas maupun juara umum di angkatan, tentunya di waktu yang berbeda. Rasanya mungkin terdengar aneh, karena biasanya pesaing seperti ini justru tetap menjaga jarak sekalipun mereka berteman baik. 

Semuanya bermula ketika mereka sering mengirimkan SMS, karena zaman itu memang belum ada BBM, WhatsApp, atau LINE, yang isinya menanyakan seputar sudah makan atau belum, sedang melakukan apa, dan memberikan semangat. Lama kelamaan, bisa bertelepon ria untuk bertukar pikiran seputar tempat liburan impian, tempat makan baru yang enak, sampai ketidaksetujuan mereka soal sikap anggota keluarganya yang lain alias curhat.

Awalnya, kalau di sekolah kami muncul seperti teman biasa saja. Ya, karena topik pembicaraan di SMS itu bisa berlanjut juga ke jam istirahat makan, teman terdekat tahu dong kalau ada sesuatu yang berbeda. Saya baru tersadar bahwa kasus seperti ini mungkin termasuk sebagai hubungan tanpa status setelah seorang teman terdekat saya mengingatkan. Boleh mereka yang memulai, tetapi kan saya meladeni juga dan menikmatinya, bisa berakhir kacau balau nanti.

Dan akhirnya memang benar, kacau balau. Setelah saya mengerti apa yang sedang terjadi, saya tidak mau memberikan harapan lebih jauh dan mulai membiarkan mereka mengeksplorasi topik yang saya tidak nyaman untuk membicarakannya lalu saya diamkan saja. 

Dengan yang pertama, soal ponsel karena dia suka ponsel musik dan mengajak saya membelinya juga ketika saya justru lebih membutuhkan ponsel bisnis untuk ketak-ketik dengan nyaman di jalan. Dengan yang kedua, lebih rumit sedikit.

Ibu saya kebetulan mengenal ibunya sebagai teman baik. Saya bersahabat dengan kakaknya yang juga sangat baik dan boleh dibilang alim malah. Jadi, kami berpikir bahwa teman saya ini pasti baik dan alim juga. Semuanya berubah ketika kami berdua mengikuti seleksi olimpiade tingkat kecamatan dan ibu saya ikut sebagai pengganti pendamping dari sekolah karena saat itu tidak ada guru yang memiliki waktu luang untuk dinas ke luar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun