Dalam setahun terakhir, Tanah Air mengalami bencana di berbagai wilayah.
Gempa dan tsunami di Palu, tsunami di Pandeglang, banjir di Sentani, gunung meletus di Halmahera, dan tanah longsor di Bogor adalah sedikit kisah yang membuat kita harus lebih peka terhadap alam.
Ditambah dengan kejadian lain yang tidak terpublikasi, Indonesia mengalami ribuan bencana alam hanya selama tujuh bulan pertama tahun 2019 ini dan itu merupakan jumlah yang besar.
Sebagian orang mengaitkan hal ini dengan Bumi yang sudah tua dan kata mereka sebentar lagi akan kiamat. Sebagian orang mengaitkan hal ini dengan banyaknya manusia yang melebihi daya dukung Bumi. Sebagian lagi mengaitkan hal ini dengan kemurkaan alam atas tindakan perusakan oleh manusia. Mana yang benar?
Contoh tindakan tidak menyayangi alam
Kawasan Puncak, Jawa Barat, adalah salah satu contoh yang paling simpel. Ketika saya berkunjung tahun lalu, terbentang ruas jalan yang longsor cukup parah sehingga hanya satu dari dua lajur yang bisa digunakan. Udaranya yang dulu terkenal sejuk juga terasa panas. Wajar saja, setiap akhir pekan Puncak selalu dipadati banyak orang dan kendaraannya untuk melepas penat.Â
Lahan hijau pun beralih fungsi menjadi tempat wisata, tempat makan, dan penginapan, bahkan tebing gunung pun ditempel konstruksi dan dinding bangunan.Â
Tanah harus menanggung beban yang sedemikian berat, air tanah yang terus disedot, udara tercemar oleh asap kendaraan, pohon sebagai paru-paru kawasan berkurang, dan sampah yang dibuang sembarangan oleh sekelompok pengunjung menjadi masalah Puncak hari ini.
Contoh tindakan menyayangi alam
Lain halnya Puncak, lain halnya Belitung. Negeri Laskar Pelangi jarang terdengar mengalami bencana alam. Meskipun cukup banyak lahan yang rusak akibat tambang timah, lebih banyak lagi lahan yang masih dibiarkan alami apa adanya.Â
Gedung di Belitung tidak dibangun tinggi-tinggi, bungkus makanan untuk dibawa pulang menggunakan daun simfor, dan tidak banyak kendaraan bermotor digunakan. Pohon-pohon masih berdiri tegak tanpa adanya alih fungsi lahan yang masif.Â
Tak heran, udaranya masih terasa sejuk dan segar. Belitung benar-benar cocok untuk melepas penat, kondisi alam dan sosialnya berbeda dengan apa yang kita hadapi di kota besar.
Pentingnya kemampuan menanggulangi bencana
Dari dua pembahasan di atas dan contoh lainnya, bencana yang terjadi lebih disebabkan oleh tindakan manusia itu sendiri. Memang tidak semua bencana bisa kita cegah, tetapi kita dapat mencegah bencana yang seharusnya tidak terjadi dengan tidak merusak alam.Â
Sederhananya, jika kita jaga alam, alam jaga kita. Untuk bencana yang tidak bisa kita cegah, paling tidak kita bisa memetakan, mengelola, dan melakukan mitigasi risiko dengan memanfaatkan data historis, ilmu pengetahuan, dan teknologi.Â
Kenali ancamannya, siapkan strategi, siap untuk selamat, begitulah cara kita menghadapinya. Ada dua sikap yang harus dimiliki dalam menanggulangi bencana, yaitu tanggap dan tangguh.
Menanggulangi bencana yang bisa dicegah
Banjir adalah bencana yang paling sering kita dengar sekaligus paling mudah untuk kita tanggulangi. Curah hujan yang tinggi menumpahkan banyak air ke tanah dan penampungnya terbatas, tetapi bukan berarti kita tidak bisa mencegahnya. Beberapa hal bisa kita lakukan untuk menjaga alam dan mencegah banjir sebagai berikut.
- Memertahankan tanaman yang sudah ada dan menanam yang baru, membuat lubang biopori dan sumur resapan serta menabung air hujan agar lebih banyak air terserap di tanah dan tidak semua lari ke saluran air.
- Gotong royong membersihkan saluran air dari sampah dan mengeruknya secara teratur agar tidak terjadi pendangkalan.
- Tidak membangun properti di pinggiran saluran air, terlebih lagi menyediakan lahan dengan menebang pohon, apalagi mengalihfungsikan saluran air dan/atau daerah resapan air.
- Tidak membuang sampah sembarangan ke saluran air, meliputi selokan dan sungai, agar aliran lancar dan kapasitas maksimal tanpa sumbatan.
Tanah longsor adalah bencana yang cukup menyeramkan dan mematikan. Kerugian material maupun immaterial yang timbul pun tergolong besar karenanya. Padahal, sebagian dari kasusnya bukan termasuk kejadian yang tak bisa dicegah dan berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mencegah tanah longsor.
- Menanam pohon untuk menambah kekuatan tanah. Pohon yang bisa dipertimbangkan misalnya vetiver dan beringin.
- Melakukan uji daya topang tanah sebelum mendirikan bangunan di atas tanah tersebut.
- Tidak memotong tebing secara tegak lurus agar tidak tercipta tanah yang kopong di tengah.
Tidak semua kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terjadi karena faktor alam. Sebagian pihak melakukan alih fungsi lahan dengan cara membakarnya agar tidak membutuhkan banyak biaya dan cepat, alih-alih menebang pohon dan memotong rumput yang ada. Usaha untuk memadamkan karhutla sangatlah besar, memakan waktu, dan mahal.Â
Masyarakat di sekitarnya pun merasakan udara yang tidak sehat dan berisiko terpapar infeksi saluran pernapasan (ISPA). Berikut adalah cara menghadapi karhutla.
- Apabila sedang berkunjung ke hutan, jangan membakar korek api dan/atau lilin untuk sumber penerangan. Utamakan penggunaan alat berbasis listrik, misalnya senter dan lampu kepala.Â
- Jika berkemah di sana, berhati-hatilah ketika akan menggunakan kayu bakar untuk memasak dan membuat api unggun. Janganlah merokok, apalagi membuang puntungnya secara sembarangan tanpa dimatikan terlebih dahulu.
- Bagi yang tinggal di dekat hutan dan lahan, mereka bukan tempat untuk membakar sampah. Buanglah dan kelola sampah dengan semestinya, bukan dibakar.
- Segera memberitahukan kepada otoritas terkait apabila melihat kejadian karhutla.
- Memberanikan diri untuk melaporkan pelaku kepada otoritas terkait apabila mengetahui adanya tindakan secara sengaja mengakibatkan karhutla.
Kekeringan membawa masalah yang besar bagi manusia. Tanpa air, manusia kesulitan mandi, makan, minum, dan mencuci. Makhluk hidup lain yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh manusia, seperti hewan dan tumbuhan, juga kehilangan apa yang seharusnya mereka konsumsi.Â
Pada umumnya, kekeringan terjadi karena kurangnya curah hujan di wilayah tersebut meskipun tidak selalu demikian penyebabnya. Untuk itu, berikut beberapa hal perlu dilakukan demi mencegah kekeringan.
- Tidak mengonsumsi air tanah secara berlebihan.
- Tanaman seharusnya dilestarikan, bukan ditebang. Akar tanaman menyerap air permukaan dan hujan yang turun untuk dijadikan cadangan di musim kemarau.
- Curah hujan ekstrim yang terjadi sekarang ini sedikit banyak disebabkan oleh pemanasan global. Untuk mengurangi lajunya, mari kita mulai dari diri kita sendiri dengan mengurangi penggunaan plastik sebagai kemasan dan perjalanan dengan kendaraan bermotor.
Menghadapi bencana yang tidak bisa dicegah
Bencana lainnya adalah bencana yang murni berasal dari alam, tidak bisa kita cegah, tidak bisa kita prediksi kapan kedatangannya, dan itu semua terjadi atas kuasa Sang Pencipta. Mitigasi risiko yang dibutuhkan untuk menghadapi bencana seperti ini adalah berusaha menghindari atau mengurangi paparan risiko dan tanggap serta tangguh ketika tak bisa menghindar dari paparan risiko.
Indonesia adalah negara rawan bencana. Kita dihimpit oleh dua benua (Asia dan Australia), dua samudera (Hindia dan Pasifik), tiga lempeng tektonik (Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik), jalur cincin api Pasifik, dan jalur sabuk gempa Alpide. Dengan kondisi seperti ini, kita tidak bisa menghindar dari bahaya gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, gelombang pasang, abrasi, dan puting beliung.
Langkah pertama dalam menghadapi bencana seperti ini adalah memetakan wilayah mana yang terpapar risiko tersebut. Tindakan ini tidaklah mudah dan masyarakat hanya perlu membaca peta yang diterbitkan oleh Pemerintah bersama para peneliti.Â
Menindaklanjuti hasil pembacaan, masyarakat disarankan menjauhi wilayah berisiko tinggi dan kawasan sekitarnya sampai jarak yang tergolong aman. Tempat evakuasi (shelter) juga mulai dibangun lengkap dengan fasilitasnya dan stok barang kebutuhan selalu tersedia agar bisa digunakan kapanpun bencana terjadi.
Yang pasti, kita tidak disarankan untuk tinggal dan beraktivitas di pinggir pantai dan dekat gunung berapi. Bangunan yang kita gunakan juga dibangun dengan konstruksi tahan gempa, paling tidak hingga kekuatan 8 Skala Richter (SR). Bisa lebih kuat tentu lebih baik mengingat sejarah mencatat gempa di atas itu pernah terjadi, meskipun frekuensinya memang jarang.
Bagaimanapun juga, apabila bencana besar terjadi, bisa saja tingkat risikonya lebih besar dari yang selama ini kita lihat dan duga. Oleh karena itu, tindakan menjaga alam sangatlah diperlukan untuk meminimalisasi risiko, misalnya dengan menanam dan melestarikan pohon kelapa beserta bakau, juga menempatkan karung pasir di pinggir pantai untuk menahan laju abrasi dan gelombang tsunami.Â
Apabila mengetahui pihak yang melakukan atau ingin melakukan tindakan merusak alam, kita harus berani melapor kepada otoritas terkait agar ditindak sebagaimana mestinya.
Langkah kedua adalah memasang sistem peringatan dini atas kejadian bencana, misalnya sirine. Lagi-lagi, Pemerintah bersama para peneliti bergerak untuk menempatkannya dan masyarakat berperan merawat peralatan yang ada serta melaporkan apabila melihat peralatan tersebut mengalami kerusakan. Untuk kepentingan pelaporan, masyarakat perlu dibekali nomor-nomor darurat dan kontak BPBD di wilayahnya.Â
Selanjutnya, masyarakat dilatih untuk mengetahui bentuk peringatan dini yang diberikan oleh sistem dan bersama-sama mengembangkan agar peringatan ini bisa diberikan melalui ponsel berbentuk pesan singkat (SMS).Â
Mengapa harus SMS? Ketika bencana terjadi, koneksi internet biasanya melambat dan terlalu lama untuk menyampaikan pesan dengan menelpon satu persatu orang.
Langkah ketiga adalah memberikan pendidikan penanggulangan dan penanganan bencana kepada masyarakat. Bentuknya dimulai dari penyuluhan, di mana masyarakat diberitahu secara teoritis, sampai latihan berbentuk simulasi.Â
Mereka dididik untuk bereaksi dengan cepat dan tepat atas indikasi terjadinya bencana, menyelamatkan diri tanpa kepanikan yang berlebihan, serta mampu melakukan rehabilitasi kehidupan pascabencana.
Langkah keempat adalah mempersiapkan "persenjataan" menghadapi bencana secara individu maupun kelompok. Ketika bencana datang, kelompok perlu mempersiapkan tandu untuk memindahkan anggotanya yang mengalami disabilitas dengan cepat, peluit dan kompas untuk mengarahkan gerak para anggota, serta senter besar untuk memberikan petunjuk jalan.Â
Individu mempersiapkan hal-hal yang lebih spesifik berdasarkan kebutuhan pribadi masing-masing dan disimpan dalam tas siaga bencana (TSB).
Tas Siaga Bencana (TSB)
TSB sebenarnya bukan tas yang istimewa, kita bisa memilih sembarang tas punggung yang berukuran cukup besar, tahan air, dan jika memungkinkan tahan api. Fungsinya adalah mengamankan barang penting dan mempersiapkan perbekalan untuk bertahan hidup selama bantuan belum datang, paling tidak tiga hari. Tasnya adalah tas punggung, bukan tas jinjing atau tas koper untuk memudahkan saat membawanya dan memaksimalkan kapasitas barang yang bisa ditampung. Isinya beragam, mulai dari surat penting, pakaian, air minum, makanan ringan tahan lama, senter, uang tunai, peluit, masker, perlengkapan mandi, obat-obatan, P3K, dan ponsel/radio beserta pengisi daya portabel berbaterai (power bank).
Alternatif lain beberapa barang di atas dengan fungsi yang sama dimungkinkan, tetapi tidak saya sarankan dengan beberapa catatan.
- Alat penerangan tidak harus berupa senter, bisa juga digantikan dengan lampu kepala (headlamp). Dengan dikaitkan di lingkar kepala, seharusnya lampu ini memiliki risiko jatuh lebih kecil dibandingkan senter. Permasalahannya alat ini kurang fleksibel untuk digerakkan.
- Korek api dan lilin bisa digunakan ketika daya listrik pada senter dan lampu kepala sudah habis, tetapi penyimpanan dan penggunaannya harus sangat berhati-hati. Keteledoran bisa menyebabkan bencana berikutnya berupa kebakaran.
- Anda bisa saja membawa komputer tablet dan/atau komputer jinjing berjaringan agar tetap dapat memantau informasi bencana ketika ponsel Anda dan powerbank harus kehabisan daya sepenuhnya. Akan tetapi, dimensinya tidak cukup portabel dan berisiko memberatkan Anda sendiri untuk membawanya bersama barang lain.
Jalan terakhir, serahkan diri
Kita sudah berusaha mencegah bencana yang bisa kita cegah dan mempersiapkan diri untuk menghadapi bencana yang merupakan kuasaNya. Akan tetapi, semua usaha manusia bisa saja gagal dan terjadi hal-hal di luar prediksi kita.Â
Dengan budaya sadar bencana yang sudah kita terapkan, kita tetap harus tanggap, tangguh, dan tidak boleh panik. Untuk itu, kita harus menyerahkan diri kepada Sang Pencipta dengan tetap percaya dan terus berdoa agar senantiasa dalam lindungan-Nya.
#TangguhAwards2019 #KitaJagaAlam #AlamJagaKita #SiapUntukSelamat #BudayaSadarBencana
Referensi
2017. BNPB. Buku Pedoman Latihan Kesiapsiagaan Bencana : Membangun Kesadaran, Kewaspadaan, dan Kesiapsiagaan dalam Menghadapi Bencana. Jakarta : Direktorat Kesiapsiagaan BNPB
2019. BNPB. Buku Saku Tanggap Tangkas Tangguh Menghadapi Bencana (Cetakan Keempat). Jakarta : Pusat Data Informasi dan Humas BNPB.