Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Dilema Mengulas dan Menilai 100 Persen Jujur di Dunia Maya

25 Februari 2019   08:00 Diperbarui: 25 Februari 2019   17:52 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi | sumber: getitwriteonline.com

Teknologi semakin berkembang dan semakin pintar di segala bidang, termasuk dalam hal memberi dan memeroleh penilaian. Seorang penyedia produk kini bisa mengetahui respon pelanggan atas produknya tanpa harus merasakan sendiri atau membayar pihak tertentu untuk melakukannya, bahkan mungkin tak perlu memintanya secara langsung dari pelanggan. 

Pelanggan pun bahagia karena mendapatkan referensi yang lebih berimbang secara mudah dan murah tanpa melulu memakan iklan yang sering kali bersifat hiperbola atau menunggu pendapat para ahli di bidangnya yang seringkali disajikan dengan bahasa belibet.

Di balik penawaran yang sangat menggiurkan, apakah penilaian tersebut semuanya menggambarkan kondisi rill?

Awalnya, saya sebagai seorang awam bahagia ketika berbagai stasiun televisi dan situs internet, baik media besar maupun blog perorangan menyediakan ulasan dan penilaian atas berbagai produk dari berbagai sudut pandang, mulai dari kaum awam, setengah awam, sampai para ahli. 

Saya berpikir bahwa saya bisa memeroleh banyak pertimbangan baik dari mereka yang berbagi pengalaman sebagai seorang pelanggan maupun tinjauan teknis dari seorang yang berkompetensi.

Akan tetapi, seiring usia yang beranjak dewasa, saya tidak merasakan hal yang sama.

Bertahun-tahun setia menonton program televisi terkait ulasan kuliner berjudul "Detektif Rasa" yang sangat menggugah itu, saya mulai curiga. Rentang nilai per komponen yang diberikan sangatlah terbatas yaitu enam sampai sembilan, apalagi rata-ratanya yang kalau bukan 7, 7.25, 7.50, ya 7.75. 

Lebih parahnya lagi, meski narasi ulasannya menunjukkan kasta yang berbeda jauh, nilainya bisa berbeda tipis atau bahkan sama saja.

Setelah saya mencoba beberapa makanan yang diulas, rasa sesungguhnya sangat sesuai dengan narasi ulasan tetapi terkadang jauh dari nilainya, jauh lebih bagus atau lebih jelek. Terlalu menguntungkan untuk mereka yang tidak pantas mendapatkannya, kasihan untuk mereka yang bisa lebih.

Masuk ke dunia blogging, saya mulai terbiasa mendulang Rupiah dengan mengikuti berbagai lomba blog termasuk soal ulasan produk.

Saya berusaha memberikan referensi yang benar-benar objektif, representatif, dan menyeluruh untuk masyarakat. Jika saya memiliki barangnya atau bisa meminjamnya dari orang terdekat, saya akan mencobanya dalam waktu yang cukup lama sebelum mulai menulis. 

Jika tidak ada yang punya, tersedia dalam bentuk demo unit, dan masih bisa menjangkau tempatnya, saya berusaha mengumpulkan pengalaman secara maksimal meskipun waktunya minim.

Pilihan terakhir, menghimpun dan mengelaborasi data-data serta mengambil kesimpulan dari beberapa ulasan yang sudah ada. 

Sayang, seringkali pemenang lebih dipilih atas menariknya konten grafis, tingginya peringkat di Google, dan banyaknya interaksi di media sosial.

Mereka menulis dengan lagi-lagi melibatkan hiperbola dan tidak membahas sampai ke akar-akarnya. Ketika konsumen lebih percaya kepada sang pemenang, demikian kualitas referensi yang mereka dapatkan.

Era toko online dan transportasi online pun datang, para pengguna pun takut memberikan bintang rendah dan meskipun seringkali tak ikhlas, bintang lima pun dilayangkan demi tidak mencari ribut dan bahaya terhadap pihak lawannya. Jika tidak, siap-siap dipamerkan di media sosial dan diteror secara pribadi.

Gaya para pengulas dan penilai di dunia maya. Gambar merupakan tangkapan layar dari situs Zomato | dokpri
Gaya para pengulas dan penilai di dunia maya. Gambar merupakan tangkapan layar dari situs Zomato | dokpri
Orang lain berharap kita jujur, tetapi faktanya? Serba salah menghadapi mulut kalian yang judes bin julid!

Jujur saya benar-benar tak paham dengan kalian. Ketika Detektif Rasa dan kawan-kawannya memberikan nilai yang cenderung rata, kalian protes dan mengatakan bahwa nilai dari kalian tak ada gunanya.

Akan tetapi, ketika saya menjadi penilai super objektif dengan rentang nilai yang sangat luas, banyak dari kalian protes termasuk di antaranya adalah orang dekat saya sendiri.

Ketika saya dengan mantap memberikan nilai sempurna, kalian mengatakan bahwa saya melampaui Tuhan karena kesempurnaan hanya milikNya semata.

Dengan torehan tersebut, apakah dapat benar-benar dipertanggungjawabkan dan memang akan meraih respon positif dari semua orang? Atau hanya urusan subjektif saya semata karena saya suka dengan produknya? Atau bisa jadi saya dibayar?

Ketika saya memberikan nilai pas-pasan saja, sebutlah bintang tiga dari lima, kalian bilang saya ini jahat dan tidak punya belas kasihan.

Sebagai sesama manusia, saya tidak berhak memberikan nilai jelek kepada hasil kerja keras orang lain dan harus memberikan apresiasi. 

Dipikirnya ini, saya lagi-lagi subjektif karena tidak suka dengan produknya, penjualnya, atau mungkin pembuatnya. Atau, bisa jadi saya dibayar pesaing untuk menjatuhkan lawannya. Lah? Jadi kalian ini maunya apa saya juga bingung. 

Bukankah seharusnya kami sebagai pengulas dan penilai memberikan nilai terbaik jika memang baik dan buruk jika memang tidak bisa dikatakan baik supaya penjual dan produsen punya kesempatan memperbaiki diri serta melindungi konsumen yang punya hak mendapatkan pengalaman terbaik?

Kejujuran adalah sifat yang harus dimiliki oleh semua orang meski hal tersebut menyakitkan sebagian orang. Pengulas yang baik adalah pengulas yang jujur, bagus dibilang bagus dan jelek dibilang jelek. Pengulas harus adil dengan senantiasa mengedepankan penilaian sesuai kepantasan.

Belas kasihan? Kasihan sama siapa? Penjual atau pelanggan?

Belas kasihan ikut mewarnai pergolakan batin seorang pengulas dan penilai. Ketika tidak memberikan nilai baik, ada saja pihak yang menyarankan saya mengubahnya supaya mendapatkan karma yang baik dan kemudahan ketika suatu saat ikut terjun ke bisnis yang positif. Jika kamu menabur nilai baik, pasti kamu akan menuai nilai baik, begitu pikir mereka. 

Bagi mereka, satu saja penilaian jelek sangat mencoreng kerja keras meskipun semua sisanya sempurna dan bisa saja ada hal-hal yang tidak kita ketahui sehingga sesekali produk yang diberikan menjadi tidak sesuai harapan. Bisa jadi, ketika melihatnya konsumen tak pernah mau lagi membeli produk yang bersangkutan. 

Jika ini berkaitan dengan transportasi online, bisa-bisa kemitraan dengan sang pengemudi disuspen alias putus! Kalau sudah begini, kita ini dicap orang berdosa karena mematikan mata pencaharian orang lain.

Permasalahannya, jika salah sekali atau dua kali yang tidak fatal, tentu tidak akan dilayangkan nilai terburuk. Jika alasan di belakangnya bisa diterima dan koheren dengan fakta pendukung yang dilihat, kami pun akan tergerak rasa belas kasihannya. 

Akan tetapi, apa yang terjadi jika kami melihat bahwa memang penjual dan/atau produsen tidak punya kepribadian dan komitmen yang baik serta usaha sepenuh hati untuk memberikan kepuasan terbaik?

Dengan berat hati, kami lebih baik memberikan bintang satu dan merelakan mereka didepak dari bisnisnya atau setidaknya ditatar lagi terlebih dahulu daripada menimbulkan semakin banyak korban dengan ketidakpuasannya masing-masing.

Ada pepatah bahwa yang menjadi raja adalah konsumen. Jadi, para pengulas haruslah berorientasi kepada konsumen apapun dampaknya pada penjual dan/atau produsen.

Bayaran? Jangan salah mengira!

Hidup harus pandai, kita harus bisa menentukan dengan baik ulasan mana yang merupakan ulasan bayaran dan ulasan jujur.

Bukan karena penulisnya terkenal sebagai penulis yang sedang hidup dengan hadiah dan honor berarti tulisannya selalu bayaran dan memainkan hiperbola. Jangan salah mengira dan jangan salah sangka sehingga konsumen bisa mendapatkan referensi terbaik.

Seorang blogger atau vlogger yang bisa dibayar biasanya ditandai dengan bergabungnya mereka di komunitas brand sebelum mereka pernah memiliki barang dari brand tersebut. Pengikutnya di media sosial cukup banyak dengan interaksi intens di antara mereka dan situs yang mereka gunakan pun bonafit. 

Bonafit di sini berarti dibuat dengan domain pribadi, tampilan yang ciamik, dan peringkat Google yang tinggi. Jika tidak populer, siapa yang mau membayarnya? Konten pun belum tentu mereka buat sendiri, bisa jadi hanya mengikuti contekan dari brand.

Situs berita pun bisa juga menayangkan konten bayaran. Ciri-cirinya adalah sponsored post yang selalu muncul di halaman utama meskipun jadwal penayangannya jauh sebelum Anda membukanya. Biasanya hal ini hanya mampu dilakukan oleh brand populer dengan budget promosi besar.

Stasiun televisi? Media cetak? Ini adalah sasaran paling empuk dan lebih sulit lagi untuk mendeteksi konten bayaran.

Intinya, apapun medianya, jelilah membaca dan kumpulkan banyak referensi, jangan bertumpu pada hanya satu atau dua di antaranya.

Jika tak yakin, coba sendiri demo unit atau tester-nya (jika ada), bisa juga bertanya kepada orang terdekat yang sudah pernah menggunakannya.

Takut!

Ketika memberikan penilaian jelek, rasa takut selalu melanda pemberinya. Paling jinak, masyarakat yang belum pernah mencoba, berprasangka buruk, dan memiliki pemikiran nyinyir akan langsung menghakimi beramai-ramai sampai membuatnya kapok dan trauma. 

Wahai kalian yang tidak tahu apa-apa, tidak ada orang yang berani berucap tanpa fakta. Jangan sampai, penghakiman kalian yang justru berujung ke jeruji besi terkait pelanggaran UU ITE.

Belum lagi, kalau urusannya terkait toko atau transportasi online, konsumen merasa khawatir dengan alamat dan nomor ponsel mereka yang suatu saat bisa jadi bumerang berupa teror atau hal-hal lain yang lebih parah dan tidak diinginkan, bahkan bisa berujung nyawa melayang. 

Sekali lagi, jika tidak ingin mendapat nilai jelek, berusahalah dengan keras untuk memenuhi standar kelayakan, bukan memaksa konsumen memberi nilai bagus!

Peran lembaga perlindungan konsumen

Sayangnya, gaung lembaga perlindungan konsumen di Indonesia masih kurang. Saran saya, pengurus terkait haruslah menerapkan strategi jemput bola untuk mencari tahu sendiri apa yang terjadi di masyarakat, menyosialisasikan diri secara lebih intensif supaya dikenal, membuka jalur pelaporan yang memungkinkan pelapor menggunakan identitas anonim selama ada bukti kuat, dan kerja sama dengan kepolisian untuk melindungi keamanan konsumen. 

Jangan hanya menunggu laporan karena banyak konsumen takut dan tidak tahu mau bergerak ke mana, khususnya ketika berhadapan dengan brand besar.

 Jangan takut untuk berkata benar

Menutup opini ini, saya hanya ingin menyampaikan pendapat salah seorang pengajar yang bisa dijadikan sebagai referensi dan refleksi.

"Jangan takut untuk berkata benar tentang sesuatu, karena taruhannya adalah hajat hidup orang banyak dan pertanggungjawaban kita ujungnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berikan nilai dan ulasan yang pantas sehingga mereka puas terhadap apa yang layak diapresiasi dan berinstropeksi terhadap apa yang harus diperbaiki. Jika di dunia ini saya bisa menggunakan sistem nilai yang lebih spesifik sampai ke koma-komanya, saya pastikan semuanya punya nilai berbeda dari yang terendah sampai yang tertinggi, tak segan memberi 1 sampai 100. Dari nilai yang jelek sampai yang sempurna, semuanya itu unik dan mengapa harus berbeda bisa saya pertanggungjawabkan secara jelas kepada Tuhan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun