Mohon tunggu...
Camelia Aritonang
Camelia Aritonang Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Guru yang masih terus belajar.

Penulis pemula yang pemalu.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjadi Sarjana Pendidikan Saja Sudah Menyedihkan, Apalagi Pendidikan Antropologi

22 Maret 2023   23:37 Diperbarui: 23 April 2023   19:55 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Izinkan saya bercerita sedikit mengenai kisah cinta saya yang tragis karena perkara ini, ya.  Saya putus hubungan dengan mantan kekasih saya padahal saat itu kami sudah berencana menikah.

Saat pembukaan CPNS tahun 2018, tidak satupun daerah di provinsi saya---Sumatera Utara---yang membuka lowongan guru pendidikan Antropologi. Padahal si mantan adalah anak lelaki bungsu yang menurut adat Batak, harus tinggal bersama orang tua setelah menikah. Beliau bersikukuh bahwa saya harus jadi PNS dan tinggal bersama orang tuanya, masalahnya, tidak ada jurusan saya di formasi yang dibuka.  Jadilah kami terpaksa bubaran karena hal ini.

Sebenarnya masalah-masalah ini sudah saya sadari sejak awal memasuki perkuliahan. Saya ingat betul saat masi jadi  mahasiswa baru, di pertemuan pertama, dosen senior di jurusan saya bilang begini, "kalian ngapain milih jurusan pendidikan Antropologi? Mau jadi apa? Jadi guru Antropologi nggak banyak sekolah yang punya mapelnya,  di bidang sekuler juga gelar kalian nanti nggak terpakai. Ngga usah sok keren belajar budaya, toh orang Indonesia nggak bisa menghargai budayanya. Ntar dicaplok bangsa asing baru marah-marah."

Tapi ya gimana, walaupun saat kuliah saya merasa salah jurusan, tentu saja saya nggak bisa berhenti begitu saja. Selain karena sudah terlalu banyak pengorbanan, juga karena saya nggak tau mau ngapain lagi selain kuliah. Lagipula jurusan ini asyik sebetulnya. Karena Antropologi itu belajar tentang budaya manusia, maka 'laboratorium' kami adalah masyarakat itu sendiri, terutama masyarakat pedesaan. Jadi saya banyak jalan-jalan sambil healing ke pedesaan selama kuliah, hehe.

Pada suatu kesempatan, angkatan saya menggelar seminar "Budaya, Politik dan Dinasti Kekuasaan Dalam Kajian Antropologi" menjelang pemilu 2014 untuk mata kuliah Antropologi politik. Seorang teman yang saya lupa namanya mempertanyakan, bisakah seorang antropolog menjadi politisi?  Bisakah jurusan ini memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang layak untuk kebutuhan hidup?

Jawaban narasumber saat itu cukup mengejutkan saya. "Antropolog itu seorang yang mempelajari dan menjiwai manusia  dari dasarnya. Sementara politisi itu cenderung saling sikut untuk bisa ada di atas singgasana. Kalau mau jadi  antropolog, artinya harus siap hidup sederhana karena kita akan menyatu dengan manusia, bukan dengan silaunya harta. Kalau untuk sekedar hidup, pasti cukup. Tapi kalau mau kaya, jangan jadi orang Antropologi karena masalah budaya nggak dihargai di negara kita. Budaya hampir dianggap nggak ada harganya, bagaimana mau kaya? Lagipula semakin kita memahami budaya kita, semakin kita jatuh cinta pada kesederhanaan."

Maka, demikianlah. Kalau mau masuk jurusan pendidikan Antropologi, coba dipikir matang dan mentalnya dipersiapkan. Karena jadi lulusan jurusan ilmu pendidikan aja sudah susah, apalagi pendidikan Antropologi. Bayangkan nanti kalau udah lulus, trus jadi guru Ilmu Sosial yang jam pelajarannya tuh sedikit banget dibanding mapel lain. Trus susah kalau mau jadi PNS. Trus nggak bisa jadi mantu idaman, malah hubungannya bubaran. Duh biyung. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun