PARADOKS "RAJA KECIL" Â : MEREDUPNYA API DEMOKRASI Â DI ERA OTONOMI Â DAERAH
Dahulu Era 90 an saya mempunyai teman teman yang selalu menyuarakan Demokrasi dalam setiap dialog atau diskusi, sampai sempat mendirikan sekolah Demokrasi,  hari ini apinya mulai padam dan redup, apakah karena faktor u atau karena kalah dalam melawan kekuasaan oligarki, saya coba menambakan sepotong arang atau kayu bakar  dengan tulisan di bawah ini untuk menghiupkan lagi semangat demokrasi.Otonomi daerah, yang diamanatkan dalam UU No. 23/2014, lahir sebagai harapan untuk memperkuat partisipasi masyarakat dan mempercepat pembangunan berbasis lokal. Namun, ironisnya, kebijakan ini justru melahirkan fenomena "raja kecil"—pemimpin daerah yang berkuasa layaknya monarki absolut dalam sistem demokrasi.
 Fenomena ini bukan sekadar anomali administratif, melainkan cermin krisis demokrasi yang sistemik di Indonesia.
"raja kecil" bukan hanya persoalan moral individu, tetapi buah dari struktur kekuasaan yang rapuh, kesadaran politik masyarakat yang minim, dan pengawasan yang mandul. Secara teoretis, ini mencerminkan kegagalan "democratic consolidation" (Linz & Stepan, 1996) di level lokal, di mana institusi demokrasi ada namun dikooptasi oleh patronase.
 Tanpa intervensi kritis, otonomi daerah akan terus menjadi alat legitimasi bagi praktik otoritarianisme berbalut demokrasi. Â
Ketika Otonomi Menjadi "Otoritarianisme Terstruktur
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemberian kewenangan luas kepada daerah justru dimanfaatkan untuk membangun *kultus kekuasaan*. Berikut tiga realitas yang patut disorot: Â
1. Kekuasaan Menggerus Partisipasi.
 Dalam praktiknya, banyak kepala daerah mengabaikan prinsip checks and balances dengan mengendalikan DPRD, LSM, hingga media lokal. Contohnya, di beberapa daerah, aspirasi masyarakat dianggap "gangguan" yang harus dikendalikan, contoh terbaru tentang protes warga di Kabupaten tentang kenaikan pbb menjadi 250 persen, atau banyak contoh lainnya berseliweran di sosial media.  Hal  ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan strategi sadar untuk mempertahankan kekuasaan. Fenomena ini sejalan dengan teori "local state corporatism" (Oi, 1992) di mana elit daerah mengkonsolidasikan kekuasaan melalui kontrol sumber daya ekonomi dan politik.
2. Otoriter yang Terlembagakan.
  Kepala daerah kerap menggunakan instrumen hukum daerah (Perda) untuk membungkam kritik. Di Nusa Tenggara Barat (2022), seorang aktivis dituntut pidana karena mengkritik kebijakan reklamasi pantai—bukti nyata bahwa demokrasi lokal telah dikorbankan demi kepentingan elit. Yang memprihatinkan, masyarakat justru terbiasa dengan pola ini karena menganggapnya "wajar" dalam tradisi kepemimpinan Jawa atau adat setempat.
Data SETARA Institute (2023) menunjukkan 47% Perda di Indonesia bermasalah, dengan 22% digunakan untuk kriminalisasi kritik—menguatkan tesis "hukum sebagai alat kekuasaan".
3. Korupsi  "Biaya Politik" yang Dianggap Normal