Mohon tunggu...
Muhammad Avicenna Naradipa
Muhammad Avicenna Naradipa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Fisika UI 2011. CInta musik berbagai genre dan pengikut tren otomotif. Pembaca. Penulis. Pemikir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lomba Cerpen NCB - Hutan Hujan

5 Oktober 2012   17:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:12 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen ini adalah cerpen yang saya buat untuk mengikuti lomba membuat cerpen NCB yang diadakan secara online beberapa bulan yang lalu. Saya tidak menang (yaa namanya baru pertama kali ikut lomba cerpen), namun saya unggah di kompasiana sekedar untuk berbagi kepada pembaca lainnya. Bagi anda yang sudah pernah membaca (atau minimal pernah lihat judulnya), saya unggah lagi karena akun sebelumnya ingin saya hapus dan saya ingin menggunakan akun ini sebagai akun utama saya. Anyway, selamat membaca!

“Kamu kemarin dimana?”

Dandy hanya berdiam seperti tidak mengerti apapun. Sejak mobil dinyalakan-pun Dandy tidak berani mengucapkan sepatah kata, seperti ada yang mencapit mulutnya. Dandy melongok keluar jendela, mencoba mengalihkan dari situasi yang sedang berlangsung. Cuaca di luar tidak membantu sama sekali; terik, panas, tidak ada yang membuat perasaan semakin baik. Hari Sabtu yang seharusnya dinikmati berubah menjadi membuat orang naik darah. Sambil mencoba menyipitkan mata, ia melihat seberapa panjang macetnya karena lampu merah itu.

Semrawut”, sahut Dandy.

Akan tetapi bagi Dandy, ini malah sesuatu yang sangat ia harapkan. Cuaca ini justru menjauhkan dia dari memori yang tak kunjung lepas itu.

“Jadi, kemarin gimana?”, Sari melanjutkan.

Pikiran Dandy melayang kemana-mana. Ia pun tidak melihat kalau ada sebuah motor yang menyalip melalui hutan rimba lalu lintas Jakarta hampir saja menabrak mobilnya. Dandy memacu mobilnya dalam galau. Lampu merah ditabras, mobil lain tak diabaikan, dan hampir salah belok di Margonda. Dandy mengabaikan semuanya bak kelinci yang sedang dikejar serigala. Detak jantungnya mempercepat, matanya terbelalak seolah-olah konsentrasi terhadap jalan raya. Keringat dingin mengucur seperti air terjun pedalaman. Kursi abu-abu seperti seperti mengigit Dandy, membuat seluruh badannya menjadi kram. Tiga puluh detik serasa tiga jam di otak Dandy. Kepalanya sudah panas berpikir tentang apa yang harus dilakukan. Insting Dandy mengingatkan untuk lari dari masalah. Logika tidak setuju. AC pun seperti mengeluarkan nafas berat sebuah beruang, membuat Dandy semakin tidak konsentrasi.

“Hah? Mmm, y-yaaa gitu deh.”

Tidak disangka bahwa satu kalimat yang diucapkan Sari dapat menyulap Dandy menjadi gelagapan seperti itu. Sari, yang bertanya, diam saja menunggu kata-kata selanjutnya yang akan dia lontarkan. Sari masih ingat plat mobil dan orang yang dia sajikan tadi malam. Sari masih menunggu kabar dari mereka; dia masih menunggu kabar dari sang pengemudi. Menunggu lama akan sesuatu yang tidak akan datang adalah suatu hal yang sia-sia, itu pikir Sari. Jalan cerita kehidupan dia tidak perlu diisi oleh hal-hal yang tidak berguna. Masih banyak peluang yang harus dilihat, diambil, dan dipergunakan dengan baik. Itulah jalan pikir Sari. Dia selalu memikirkan apa yang ada di depan. Sudah lama ia pikirkan apa yang akan terjadi dalam detik-detik berikutnya dalam situasi ini. Tak lama, pikirnya.

***

Sejak dulu, Dandy adalah seorang pekerja yang handal. Menjadi supir bukanlah hal yang membanggakan orang tua, namun dia sudah dapat dikatakan meraup hasil kerjanya selama ini. Berawal dari iseng-iseng mencari lowongan kerja di sekitar rumahnya, dia menjadi supir taksi selama tiga tahun. Sekarang, menjadi supir pribadi seperti hal yang diimpikannya selama ini. Dandy menjadi supir seorang bankir yang bekerja di Depok. Sang majikan hanya menggunakan dia setiap berangkat dan pulang kerja, selain itu keluarganya hanya sesekali menggunakan Dandy untuk mengantar.

Kerja yang dibayar mahal serta jadwal yang fleksibel memungkinkan Dandy untuk membawa mobil kemana-mana selagi majikannya itu kerja di kantor. Kebiasaan ini sudah diantisipasi oleh Dandy; dia sudah menghafal kapan majikannya biasa keluar buat makan siang dan kapan rapat mingguan sering diadakan. Dandy biasa pergi jalan-jalan bersama teman-temannya yang saat masih sekolah dulu dan kadang temannya yang sudah kerja. Sudah lama ia menjalani kebiasaan ini, meskipun tidak ia lakukan setiap hari. Untuk seorang supir yang hanya bermodal lulusan SMA, dia dapat menyadari kalau terlalu banyak jalan-jalan maka gampang ketahuan.

Dandy memang termasuk orang yang mudah berteman, dimana-mana ada koneksi; itulah alasannya dia sering jalan-jalan. Koneksi itu yang justru sangat berharga bagi kehidupannya. Dandy masih memelihara koneksinya hingga sekarang. Koneksi serta teman yang banyak membawa banyak keberuntungan, pikirnya. Pekerjaan menjadi supir pribadi ini didapat dari salah satu teman SMP-nya dulu. Tiap minggu pun dia pergi ke bengkel milik tetangganya sehingga mendapat diskon sedikit. Akan tetapi menurut Dandy, keberuntungan yang terbesar ialah pertemuan dengan Sari, seorang pramusaji yang bekerja di sebuah restoran di Depok.

Pertemuan dengan Sari yang tidak sengaja itu terjadi pada tanggal 25 Februari 2011. Pada hari Jumat itu, tidak ada yang Dandy harapkan dari jadwalnya. Mobil sudah saatnya dibawa ke bengkel. Sambil menunggu antrian, dia berniat membeli secangkir kopi.

“Kopi dong, mbak.”

“Eh, lho? Dandy ya?”

“Ratna? Lagi apa elo disini?”

“Yaa lagi ngebenerin mobil lah! Hahaha. Ini kan bengkel langganan gue, sekarang lagi pengen tune-up aja sama cek yang standar gitu deh. Lah elo?”

“Sama lah,  gua kan jadi supir sekarang. Biasa, namanya mobil bagus mah harus dicek mulu. Gua sering kesini juga kok.”

“Oh gitu ya? Wah kok gak pernah liat elo sih? Perasaan rutin kesini deh. Bisa banget yak kok ketemunya sekarang? Hahaha. Sekarang gw di restoran Rumah Ibu itu lho, deket kok dari sini. Ini kita awalnya mau naro mobil di bengkel terus cabut. Eh, ngomong-ngomong, ini temen gue yang kerja sama gue.”

Dandy melihat sekilas. Cantik, putih, sepertinya lebih muda 4-5 tahun dibandingkan dia.

“Halo, gue Sari.”

“Dandy.”, sambil tersenyum.

***

Enam bulan telah berlalu, dan sepertinya hubungan Sari dan Dandy semakin erat. Mereka sudah sering bertemu di jam makan siang; setelah mengantar sang majikan Dandy meng-SMS Sari dan mereka biasa ke restoran sebelahnya. Kadang-kadang kalau sempat menjemput Sari di stasiun Dandy seketika menuju kesana. Dandy tahu bahwa kalau mereka berdua terlalu sering jalan-jalan makanya terlihat bensinya sudah berkurang. Dia tetap berusaha bekerja dengan rajin, sambil menyelipkan sebagian waktunya untuk Sari. Mereka sering naik mobil sang majikan, namun agar tidak curiga Dandy segera membersihkan mobil dan mengganti bensin setelah mereka jalan-jalan.

Sari sendiri juga memiliki kesibukan juga. Sebagai pramusaji di restoran itu, jam istirahatnya terbatas dan dalam jam kerjanya Sari harus berada di tempat. Sejak siang ia bekerja keras seperti kelinci, bolak-balik dari satu meja ke meja lain dengan lincah. Namun, setelah beberapa kali meminta kepada manager restoran tersebut, Sari mendapatkan bagian yang lebih fleksibel. Banyak jam yang kosong, alias semakin banyak waktu untuk bertemu pasangannya.

Keduanya sedang menikmati hubungan cinta mereka yang saat ini mekar. Hasil pertemuan mereka setiap hari sejak mereka bertemu di bengkel membuat pasangan itu bahagia tiada tara. Pekerjaan terasa semakin ringan, meskipun Sari melayani lebih banyak meja dan Dandy mengantar keluarga sang majikan jalan-jalan. Perasaan mereka sedang dibutakan cinta, sepertinya. Perasaan yang membuat mereka loncat-loncat kegirangan setiap detiknya menunggu pasangannya bertemu saat makan siang nanti. Dalam hati mereka hanya timbul langit yang biru dan cerah, seperti tidak ada awan mendung menutupi sampai kapanpun juga.

***

Sari paham sekali bahwa lelaki yang dia kenal lebih dari setengah tahun yang lalu adalah pria yang baik, meskipun dia tampangnya terlihat agak malas. Dia juga menyadari bahwa pria yang dia biarkan mengantarkannya selama ini memang sungguh suka padanya. Dia sudah dapat melihat itu dari rautnya. Dandy yang memiliki mata yang besar, hidung yang agak mancung, serta badan kekar dan tinggi membuat Sari semakin tertarik. Dia tahu bahwa Dandy adalah orang yang sangat supel dan memiliki teman dimana-mana. Eksis, bahasanya sekarangnya. Sama seperti Dandy, teman-teman memang sangat penting menurut Sari, meskipun dia termasuk orang yang pendiam dan malu-malu. Dia hanya mengangguk saja apabila sedang diajak jalan oleh Dandy bersama teman-temannya. Sambil melakukan ketawa kecil dan senyum manisnya, Sari lebih sering memperhatikan teman-teman Dandy daripada ikut mengobrol.

Sari tidak mengetahui bahwa managernya akan memindahkannya ke restoran lain. Sang pemilik restoran mengelola beberapa restoran lain selain restoran Rumah Ibu. Promosi yang mungkin hanya didapatkan oleh beberapa orang di restoran itu. Ratna pun sempat sedikit iri melihat temannya itu. Sari lebih memikirkan bagaimana kebiasaannya jalan bersama Dandy itu bisa dipertahankan. Restoran itu tidak jauh, kira-kira 45 menit kalau jalan raya sedang tidak penuh sesak oleh angkot dan motor yang sliweran; tapi bagaimanapun juga jam makan siang pasti macet dimana-mana. Dia tahu Dandy akan lebih jarang datang menjemputnya atau makan siang bersamanya. Dandy pasti akan memikirkan bensin yang dikeluarkan akan lebih banyak dan kemungkinan besar sang majikan akan menangkap basah kalau dia pergi saat si bos di kantor. Menyadari hal itu, Sari langsung bergegas menelepon Dandy.

“Halo, kamu dimana? Udah pulang? Aku ada berita manis-pahit Dan.”

“Udah di rumah, kenapa yang? Ada berita apa?”

“Aku dipindah ke restoran lain, yang punya sih sama, katanya aku akan dapat gaji lebih besar disana dan jabatannya lebih tinggi. Restorannya ada di deket bengkel yang kita pertama kali ketemu.”

“Oh disitu. Wah kalo gitu nanti…”

“Ya aku tahu, gak apa-apa kok kalo jarang makan, soalnya aku tahu kamu pasti mikirin bensin kaan?”

“Iyah, tahu aja deh kamu, hehe. ”

“Iya lah. Besok kita ketemuan yuk, ke taman aja. Jalan kaki santai sekalian ngobrol lagi gimana enaknya.”

Percakapan itu berlanjut hingga larut malam. Sari berpikir masalahnya untuk saat ini sudah teratasi.

***

Suatu hari, sang majikan datang membawa tamu. Wanita itu menggunakan blazer hitam dengan kemeja putih didalam dan rok hitam selutut. Wajahnya putih, namun Dandy tahu bahwa itu bukan make-up, hanya bedak tipis saja yang dia tahu Sari biasa pakai. Terlihat dari rambutnya yang tertata rapi dan seperti habis di-creambath, dia cukup kaya. Dandy tidak melihatnya datang dari luar sejak pagi. Kelihatannya ini keluarganya si bos, pikirnya.

“Pagi, pak.”

“Oh ya, pagi Dan. Ini sepupu saya yang waktu itu pernah kerja sama saya. Nanti dia kerja sebentar di kantor, kira-kira jam 1 tolong diantar ya ke kantor cabang Kemang sana. Oke?”

“Baik, pak. ”

Ternyata pada pukul 11 pagi, Dandy dipanggil untuk langsung mengantar sepupunya. Dandy apa boleh buat menuruti apa kata bosnya, padahal dia ingin bertemu Sari hari itu. Wanita itu datang dengan sepatu hak tinggi-nya sambil membawa beberapa dokumen di tangan. Dandy ingin membukakan pintu belakang, namun wanita itu langsung membuka pintu depan.

“Ayo mas, kita jalan.”

“Oh baik, bu.”

“Ah, gak usah panggil bu. Saya masih muda kok, belom nikah lagi.”, ucapnya sambil tersenyum.

“Iya deh, mbak.”

Setelah selesai membaca dokumen-dokumen tersebut, wanita itu menaruhnya ke dalam tasnya.

“Masih ada 1 jam perjalanan mbak, macet banget nih.”

“Oh ya pasti. Untung tadi berangkat jam 11, bisa telat kalo jam 2 mulai. Oh ya, kamu udah lama kerja sama bapak?”

“Yaa lumayan sih mbak, dua tahun ada.”

“Oh pantes, kelihatannya akrab. Nama saya Yunita, saya bantu-bantu bapak sekarang, karena bapak capek kemana-mana. Nanti saya bakal muter-muter keliling Jakarta mengganti bapak. Mas namanya siapa?”

“Oh gitu ya? Saya Dandy, mbak.”

Percakapan itu berlanjut hingga entah kemana. Yunita terus memulai percakapan dengan menanyakan hal-hal seperti pekerjaan dan kegiatan Dandy sehari-hari. Mata Yunita sangat jeli dalam urusan pria. Dia tahu mana pria yang kelihatannya cocok baginya. Yunita pun bukan seorang yang murahan; dia dapat membaca dengan cepat bagaimana perilaku dan kepribadian pria seperti Dandy. Dokumen di dalam tasnya pun bisa menebak apa tujuan Yunita.

***

Dandy baru saja ingin menelepon Sari, tapi saat mau menekan tombol di ponselnya Sari sudah menelepon Dandy. Kemungkinan tentang kemarin, pikir Dandy.

“Halo, yang? Aku udah mau pulang nih, soalnya ada yang ganti tadi.”

“Oh gitu ya? Gak usah aku jemput ya?”

Engga usah. Eh, kemarin kemana? Aku telepon gak diangkat deh.”

“Itu ada sepupunya si bos. Bantu-bantu. Aku yang nganter dari kemarin dan kebetulan hape-nya gak getar. Kok bisa begitu juga bingung aku.”

“Sepupu?”

“He’eh, udah cerita kan aku?”

“Iya, udah kok.”

“Oke deh.”

Tuut, tuut. Telepon diputus oleh Dandy. Sari kaget. Sari terlihat seperti cuek, akan tetapi sebenarnya hampir semua yang diucapkan oleh Dandy barusan dalam percakapan itu membekas dalam otaknya. Ada udang dibalik batu, pikirnya. Ada sesuatu.

***

Tahun 2011 terlewati, banyak yang telah terjadi. Sari berpindah-pindah ke berbagai restoran; dia sibuk sekali hingga pertemuan rutin dengan Dandy dulu sudah tidak sempat ia lakukan. Dandy mengantar Yunita ke berbagai cabang sekitar kota Jakarta, dan tampaknya si bos semakin sibuk karena Dandy disuruh ke tempat-tempat lain juga untuk mengantar barang. Mereka berdua mulai kehilangan bunga-bunga yang menghiasi hubungan mereka.

Hari itu adalah seminggu setelah tahun baru, tepatnya tanggal 6 Januari 2011. Sari melongok keluar jendela restoran. Langit terlihat tidak bersahabat. Jam kerjanya tinggal tiga jam lagi, dia khawatir cuaca Jakarta menjebaknya. Ia tahu Dandy tidak akan menjemputnya, karena dia sedang mengantar si bos keliling. Kemungkinan besar ialah Sari harus menunggu hingga hujan yang akan terjadi itu selesai. Biasanya hujan di awal tahun tidak dapat diprediksi, sehingga Sari khawatir dia bisa pulang telat sekali. Terlepas dari itu tidak ada masalah kalau pulang naik angkot dan bis, pikir Sari.

Pukul 20.00 adalah waktu Sari pulang, namun dia tetap bekerja untuk sementara agar mengisi waktu luang. Toh hujan masih turun, tidak ada gunanya duduk termenung menunggu hujan itu selesai turun. Sambil beristirahat di depan kasir, dia berusaha menghabiskan waktu bersama teman barunya di restoran itu.

“Wah, ternyata banyak juga ya yang hujan-hujan gini makan es buah. Gak disangka. Aneh ya, Tin?”, kata Sari.

“Titin pikir sih, selera juga mbak. Saya aja panas-panas senengannya juga makan pedes, makin seru gitu deh mbak, hehehe.”

“Ih kamu, aku juga seneng kali kalo itu, haha.”

Saat mereka berdua tertawa, terlihat Pak Eko menghampiri mereka. Dia adalah tukang parkir restoran itu. Basah kuyup, dia mengucapkan pesanan salah satu mobil yang sedang parkir di ujung.

“Mbak, mbak, itu ada yang mau bungkus es buahnya. Dua, di mobil yang warna merah itu mbak. Katanya minta dianter.”

Titin berkata bahwa Sari saja yang mengantar ke mobil. Dia masih ada banyak tugas di dalam restoran. Sari mengganguk saja sambil senyum, meskipun dia tidak begitu menyukai ide tersebut. Tak lama kemudian, pesanan tersebut datang dan Sari siap mengantar. Dia pikir hujannya sudah mulai berhenti. Hanya terlihat rintik-rintik kecil menyelimuti parkiran restoran. Ia tabras saja hujannya. Tak apa bajunya basah sedikit, pikir Sari. Sudah mau pulang ini, sekalian nanti ganti baju.

Ia melangkahi parkiran restoran dengan langkah yang agak canggung, berusaha melewati genangan air kecil yang berwarna tanah itu. Tanaman di sekitar parkiran itu membuat bunyi-bunyi nyaring, seakan menyambut Sari akan saat-saat yang akan datang. Sari melihat mobilnya. Itu adalah mobil yang sama mereknya dengan mobil majikan Dandy. Sari mengucek matanya. Dia melihat warnanya yang sama persis. Sari mengucek matanya sekali lagi. Nomor platnya sama dengan nomor plat majikannya Dandy. Sari mengucek matanya sekali lagi. Tidak ada tanda seoarang bapak-bapak menyenderkan dirinya di kursi belakang. Hanya sosok seorang wanita duduk di kursi depan.

Sari mendekati mobil itu dengan perlahan. Langkahnya ia perhatikan benar. Bukan untuk menghindari kubangan air tersebut. Ia berusaha agar hujan dapat menyembunyikan dia dari pendengaran sang pengemudi dan penumpangnya. Langkah demi langkah ia jalani. Langit yang kelam itu mengambil semua prasangka baik dari hati Sari. Ia berjalan menuju jendela yang sedikit terbuka. Jendela itu tidak terbuka lebar. Percakapan mereka cukup terdengar di antara rintik-rintik kecil hujan ini. Kuping Sari terbuka lebar, ia buka selebar-lebarnya seperti seekor gajah mengipas kupingnya. Dia mendekat perlahan. Suara kaki Sari sangat lemah dan tidak terdengar, seperti kucing yang siap menerkam tikus. Tidak ada rasa lagi di hatinya. Samar-samar, ia mendengarkan.

“Ih, kamu ngapain sih? Ada-ada aja pake bawa aku ke tempat aneh gini. Nanti aku gak bisa ke kantor lho. Udah tau si gendut gak mau kalo kita telat.”

“Yaa gak apa-apa, yang penting kita berduaan.”

“Iya ya, bener. Itu nasib si Sari gimana dong? Masih bertiga dihitungnya tuh!”

“Tenang saja, yang. Hanya kamu yang ada di hatiku. Selama ini yang mengisi ruang hampa itu siapa? Hmm?”

Terdengar suara yang tidak pernah didengar oleh Sari. Sebuah kecupan.

“Yaa oke deh, aku tungguin ya tanggal mainnya, hihi. Hmm, kok lama ya, esnya? Ke mobil kan kamu bilang?”

“Iya. Eh, itu dia mbak-nya. Sini mbak, ini uang pas.”

Sari lemas. Semua yang ada dihatinya luntur bersama rintik hujan yang menyapu seluruh badannya. Memori yang selama ini di dalam otaknya menjadi kaku oleh dinginnya cuaca. Lepas sudah harapannya. Nasib si Sari sampai disini saja. Sari melangkah dengan pelan. Rambutnya sudah basah dan menutupi sebagian wajahnya. Tangis di wajahya tersembunyi seperti bunglon karena hujan yang kembali menjadi deras. Dia mengangkat tangannya; digerakkan oleh suatu gaya yang ia tak tahu entah darimana. Seharusnya aku pingsan, pikirnya. Pertukaran bungkusan dan uang itu terjadi dalam waktu yang sangat lama bagi Sari. Ia sempat melirik wajah dan suara yang sangat tidak asing sejak hampir setahun yang lalu. Tiap detik, tiap tatap, tiap rintik hujan yang dialami Sari melambat seribu kali. Dia diam saja menerima kertas dingin itu. Ia kembali berjalan ke dalam restoran dengan wajah tanpa emosi. Terdengar mesin mobil itu menjauh. Mobil itu ditelan hujan.

***

Dandy memikirkan kejadian pada hari Jumat lalu. Dia mengingat bahwa Yunita berpikir yang memberi es waktu itu mirip sekali dengan deskripsi Sari. Ia tidak percaya dengan kata-katanya. Ponselnya yang ia tinggalkan sejak kemarin baru saja dibuka. Terlihat ada dua SMS yang belum dibaca. Pak bos ingin diantar hari Senin, dan ada satu SMS dari Sari. Saat dalam perjalanan menjemput Sari lah dia baru ingin melihat SMS itu. Sari kebetulan sedang di dekat bengkel dan Dandy baru saja selesai servis mobil. Di dalam SMS itu tertulis:

Dan, aku tahu kamu gak bisa jemput. Sekarang aku lagi kerja di tempat restoran es buah deket kantor Kemang itu, aku tahu kamu pasti sibuk. Terus, kelihatannya bakalan hujan. Jam delapan malam aku baru selesai. Paling aku pulang naik angkot. Hati-hati ya, kamu.

Matanya Dandy terbelalak. Dia sadar apa yang sebenarnya terjadi pada hari itu. Apakah itu benar-benar Sari? Apakah yang dikatakan Yunita benar? Apa Sari telah mengetahui dan mendengarkan segala percakapan mereka? Kepala Dandy berputar-putar. Belum selesai memikirkan beberapa pertanyaan, terdengar suara pintu mobil terbuka.

“Ayo, jalan.”, ucap Sari.

Sari sudah merencanakan semuanya. Sekarang tinggal eksekusinya. Hanya butuh kata-kata yang singkat. Tiga kata saja cukup, untuk pembuka. Mungkin pertanyaan posisi Dandy dimana bagus, pikir Sari.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun