Mohon tunggu...
Muhammad Avicenna Naradipa
Muhammad Avicenna Naradipa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Fisika UI 2011. CInta musik berbagai genre dan pengikut tren otomotif. Pembaca. Penulis. Pemikir.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Memanfaatkan Matahari dengan Teknologi Plasmon

6 Oktober 2017   18:20 Diperbarui: 6 Oktober 2017   18:46 2776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panel Surya yang Dimodifikasi dengan Perak (Ag)

Sudah lebih dari setahun yang lalu saya mendarat di Singapura untuk menjalani pendidikan S2 saya. Sebelumnya, saya baru sekali mengunjungi Singapura dan hanya untuk liburan bersama keluarga. Kini, saya sudah mulai menggarap tesis dan mengambil data-data dari simulasi yang sudah ditunggu-tunggu pembimbing saya. Waktu sangat cepat berlalu dan tanpa sadar waktu saya di sini sudah mendekati waktunya untuk lulus. Tapi, saya cukup ingat bulan pertama ketika saya pertama kali tinggal di Singapura untuk periode yang lama. Saya ingat lokasi Singapura berada di dekat garis khatulistiwa, oleh karena itu cuaca di sini lebih lembap dan panas daripada di Jakarta.

Dua minggu pertama saya tinggal di apartemen adalah masa-masa di mana setiap hari saya berkeringat bagaikan bekerja di sawah, karena perbedaan kelembapan yang sangat jauh dibandingkan Jakarta. Kedatangan saya di bulan Agustus berdekatan dengan puncak musim panas di Singapura. Ini sangat kontras dibandingkan dengan Jakarta di bulan sebelumnya, di mana saat itu hujan sering turun dan saya bekerja di kantor dengan pendingin ruangan. Di sela-sela beradaptasi dengan cuaca baru tersebut, saya sempat berpikir apakah Singapura menggunakan panel surya untuk menyediakan listrik ke penduduknya.

Berdasarkan data dari International Energy Agency (2016), negara yang justru lebih aktif dalam menggunakan panel surya adalah negara seberang, yaitu Malaysia. Malaysia pun bukan termasuk pemain besar dalam negara-negara yang menggunakan panel surya untuk membangkitkan listrik. Hal ini membuat saya memikirkan tentang kondisi panel surya di tanah air. Apakah Indonesia sudah menggunakan cahaya matahari secara maksimal? Apakah ada inovasi yang dapat membuat penerapan panel surya di Indonesia lebih baik?

Kapasitas Energi dari Panel Surya Tahun 2016
Kapasitas Energi dari Panel Surya Tahun 2016
Jawaban dari kedua pertanyaan tersebut muncul ketika saya mengingat kembali topik riset yang sedang saya kerjakan: studi mengenai plasmon.

Ketika cahaya berusaha memasuki benda apapun, ada kemungkinan cahaya tersebut dipantulkan, diserap, atau menembus langsung. Pada benda-benda yang mudah menghantarkan listrik---sehingga memiliki elektron bebas yang banyak---cahaya dengan frekuensi tertentu dapat diserap dan menggetarkan elektron bebas di benda tersebut. Inilah saat ketika cahaya yang masuk tidak dapat menembus benda tersebut dan berubah bentuk menjadi plasmon.

Dalam kehidupan sehari-hari, plasmon menyebabkan cahaya tampak dari matahari tetap menembus melewati kaca, tapi cahaya ultraviolet (UV) dipantulkan; apabila Anda berusaha berjemur di bawah matahari dan di bawah kaca, kulit Anda tidak akan berubah terlalu banyak jika berada di bawah kaca. Selain itu, kaca patri yang warna-warni dan biasa dipasang di gereja adalah salah satu efek plasmon juga; kaca tersebut dicampur dengan partikel-partikel logam kecil ketika dibuat, sehingga mengakibatkan berubahnya frekuensi cahaya ketika melewati kaca tersebut. Perubahan frekuensi tersebut dapat mengubah cahaya matahari yang putih menjadi berwarna merah apabila melewati kaca patri.

Efek Plasmon di Kehidupan Sehari-hari. Sumber: media.zoya.co.id
Efek Plasmon di Kehidupan Sehari-hari. Sumber: media.zoya.co.id
Di mana peran plasmon dalam teknologi panel surya? Efisiensi panel surya yang saat ini dijual secara komersial berada di tingkat 14-19%. Hasil laporan penelitian terbaru dari salah satu universitas di Korea (Jang,2016) menjelaskan bahwa menggunakan panel surya yang dimodifikasi dengan perak dapat meningkatkan penyerapan cahaya matahari, sehingga efisiensinya bisa ditingkatkan hingga 40% dari efisiensi awal. Oleh karena itu, efisiensi panel surya yang komersial dapat ditingkatkan hingga 26%.

Peningkatan ini disebabkan oleh struktur perak yang berada di atas panel surya. Perak dibentuk seperti kisi sehingga membentuk celah-celah seperti gambar A). Tingkat penyerapan cahaya di frekuensi cahaya tampak (dengan panjang gelombang 380-700 nm) digambarkan di B, C, dan D. Jumlah total  cahaya yang diserap di C dan D---panel surya yang diberikan lapisan perak di atasnya (tertanda Ag)---jauh lebih tinggi dibandingkan panel surya biasa (C). Efek ini dihasilkan oleh plasmon yang muncul ketika cahaya berinteraksi dengan struktur perak tersebut.

Panel Surya yang Dimodifikasi dengan Perak (Ag)
Panel Surya yang Dimodifikasi dengan Perak (Ag)
Plasmon hanya salah satu dari inovasi-inovasi yang dapat digunakan ketika mengembangkan teknologi panel surya, tapi gabungan dari berbagai inovasi tersebut yang akan menghasilkan panel surya yang murah, efisien, dan dapat diterapkan di Indonesia. Jumlah publikasi internasional di Indonesia pada tahun 2016 sudah mencapai lebih dari 11000 publikasi, melewati negara-negara seperti Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam. Meskipun masih disusul oleh Singapura dan Malaysia, dengan berkembangnya riset di bidang Sains, Teknik, dan Teknologi dan meningkatkan kolaborasi riset internasional, Indonesia dapat berkontribusi dan bahkan memelopori teknologi panel surya mutakhir di masa depan. Kemampuan untuk mengembangkan panel surya secara mandiri dapat mengurangi biaya untuk memproduksi dan memasang di daerah yang membutuhkan.

Jumlah Publikasi Internasional di Asia Tahun 2016
Jumlah Publikasi Internasional di Asia Tahun 2016
Sebelum mendalami dunia riset, tentu kita perlu melihat dulu bagaimana potensi kegunaan panel surya di Indonesia. Berdasarkan data dari Solargis, Indonesia merupakan salah satu negara yang berpotensi tinggi untuk menghasilkan energi dari Matahari. Peta Global Horizontal Irradiatioan (total dari jumlah sinar matahari yang langsung mengenai panel surya dan sinar matahari yang terhambur dari atmosfer) menunjukkan bahwa daerah Jawa Timur, NTB, dan NTT merupakan daerah yang mampu menghasilkan 2000 -- 2200 kWh/m2. Potensi ini tidak kalah dengan negara-negara Afrika yang dekat gurun pasir, dengan rata-rata GHI sebesar 2000-2600 kWh/m2.

Peta GHI Indonesia
Peta GHI Indonesia
Selain itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia Mineral (ESDM) telah melaporkan persentase elektrifikasi di Indonesia hingga Juni 2017 di infografis di bawah. Meskipun rasio elektrifikasi nasional sudah mencapai lebih dari 97%, tiga daerah yang memiliki rasio elektrifikasi paling rendah adalah Papua, NTT, dan Kalimantan Tengah. Pembangkit listrik berbasis panel surya dapat dibuat di NTT, daerah yang memiliki elektrifikasi di bawah 60% tapi memiliki GHI yang lebih dari 2000 kWh/m2, sehingga dapat memberikan listrik ke daerah 3T (tertinggal, terluar, dan terdepan) sekaligus mengurangi dampak ke lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun