Suatu sore, kami duduk di taman belakang sekolah. Langit jingga, dan udara sore berembus pelan.
"Kalau kamu harus milih," katanya tiba-tiba, "lebih baik garam atau madu?"
Aku terdiam. Pertanyaan yang terdengar ringan, tapi hatiku berat menjawab.
"Aku pilih... madu," jawabku akhirnya. "Karena hidup udah cukup asin, jadi aku butuh sesuatu yang manis."
Dia tersenyum tipis, lalu berkata, "Tapi tanpa garam, madu nggak akan terasa istimewa."
Dan di situlah aku sadar.
Cinta bukan hanya soal kebahagiaan, tapi juga luka yang mengajarkan arti sabar. Arka memang bukan yang selalu manis. Tapi dia adalah seseorang yang mengajarkanku bahwa hidup harus seimbang --- ada air mata dan tawa, ada garam dan madu, ada dia... dan aku.
Kini, kami tidak lagi bersama. Tapi setiap kali aku menyesap teh hangat di sore hari, aku selalu menambahkan sedikit madu dan sejumput garam.
Bukan untuk mengingat luka, tapi untuk mengingat pelajaran:
bahwa bahkan rasa yang paling bertentangan pun bisa saling melengkapi --- seperti dia dan aku, seperti garam dan madu.
---