Ada dua rasa yang selalu hadir dalam hidup manusia: pahit dan manis. Tapi siapa sangka, keduanya bisa datang dari satu orang yang sama.
Namaku Rana, seorang gadis yang selalu percaya bahwa cinta itu seperti madu --- manis, lembut, dan menenangkan. Sampai akhirnya aku bertemu Arka, seseorang yang justru mengajarkanku bahwa cinta juga bisa seperti garam --- pedih, tapi membuat hidup lebih "berasa".
Awalnya sederhana. Kami bertemu di perpustakaan sekolah, tempat yang sepi tapi penuh cerita. Arka bukan tipe cowok yang cerewet, tapi tatapannya selalu punya makna tersembunyi. Dia bukan yang paling tampan, tapi entah kenapa, aku selalu ingin tahu lebih banyak tentangnya.
Waktu berjalan, kami makin dekat. Setiap obrolan kecil, setiap tawa di sela-sela tugas, membuatku merasa seperti menemukan madu dalam hari-hariku yang hambar. Dia tahu cara menenangkan aku saat sedang cemas, tahu kapan harus diam, dan tahu kapan harus bercanda.
Namun, semakin aku mengenalnya, semakin aku sadar: Arka bukan cuma tentang madu. Kadang dia bisa dingin tanpa alasan, menjauh tanpa penjelasan. Seperti garam yang tiba-tiba larut di air mata, meninggalkan rasa asin tanpa tahu kenapa.
Aku pernah bertanya, "Kenapa kadang kamu hangat banget, tapi besoknya kayak orang asing?"
Dia cuma menjawab pelan, "Karena aku juga bingung sama rasaku, Ran."
Dan dari situ, semuanya mulai berubah.
Hubungan kami bukan lagi sekadar manis. Ada pahit yang ikut tumbuh --- cemburu, salah paham, bahkan diam yang memakan waktu. Tapi anehnya, aku nggak bisa benar-benar pergi. Seolah rasa garam itu membuat madu terasa lebih nyata.
Suatu sore, kami duduk di taman belakang sekolah. Langit jingga, dan udara sore berembus pelan.
"Kalau kamu harus milih," katanya tiba-tiba, "lebih baik garam atau madu?"
Aku terdiam. Pertanyaan yang terdengar ringan, tapi hatiku berat menjawab.
"Aku pilih... madu," jawabku akhirnya. "Karena hidup udah cukup asin, jadi aku butuh sesuatu yang manis."
Dia tersenyum tipis, lalu berkata, "Tapi tanpa garam, madu nggak akan terasa istimewa."
Dan di situlah aku sadar.
Cinta bukan hanya soal kebahagiaan, tapi juga luka yang mengajarkan arti sabar. Arka memang bukan yang selalu manis. Tapi dia adalah seseorang yang mengajarkanku bahwa hidup harus seimbang --- ada air mata dan tawa, ada garam dan madu, ada dia... dan aku.
Kini, kami tidak lagi bersama. Tapi setiap kali aku menyesap teh hangat di sore hari, aku selalu menambahkan sedikit madu dan sejumput garam.
Bukan untuk mengingat luka, tapi untuk mengingat pelajaran:
bahwa bahkan rasa yang paling bertentangan pun bisa saling melengkapi --- seperti dia dan aku, seperti garam dan madu.
---
Pesan moral:
Dalam hidup, tidak semua yang manis itu baik, dan tidak semua yang asin itu buruk. Kadang, kita butuh keduanya agar hidup terasa seimbang. Karena cinta sejati bukan hanya tentang kebahagiaan, tapi tentang keberanian untuk tetap bertahan --- meski rasanya tak selalu manis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI