Apa yang dibidik? Belajar adaptasi sembari mempelajari perubahan pasar. Ujungnya pencapaian maksimal, meraup rupiah.
Karena itu banyak manajemen hotel kembali menganalisa, menguji ulang agar mampu eksis dan bersaing.
Salah satu diantaranya, frekuensi dari marketing offline vs online. Secara sederhana paparan ini dapat dipahami.
- Offline marketing: 30% sales call, business trip, travel mart
- Online marketing: 70% via daring, website, online travel agent, E-commerce, media social (FB, IG, Twitter, YouTube, TikTok, Linkedin) whatsapp business account, influencer. Search Engine Optimization (SEO). Search Engine Marketing (SEM), content marketing, e-mail, dan sebagainya.
Sebelum masa pandemi, pendapatan online, berkontribusi sekitar 30% dari segmen pasar.
Percayakah dalam kurun waktu 5 tahun, hotel akan meraup lebih dari 60% online market sebagai sumber pendapatan?
Kenapa tidak, jika promosi, reservasi, iklan, audio/video dapat dilakukan dari sebuah website.
Tak mau ketinggalan perusahaan korporat ikut-ikutan melakukan booking online. Mungkin selain terhindar dari angka manipulatif pun layanan secepat kilat yang gak bikin ribet.
Nah, inilah yang menjadi sekat ketika kita menjual langsung kepada korporat. Bersaing dengan aplikasi reservasi, whole seller, agen online. Untuk apa serba sulit kalau harga beda tipis?
Kita tak lagi berkiblat pada strategi 2 tahun lalu Bung! Analisa, uji ulang, lalu maju dengan strategi anyar bila hasil masih jauh dari target. Mumpung masih di kuartal ke-2.
Bagaimanapun blusukan tetap perlu. Namun qualified call lebih penting daripada quantity call. Kurangi frekuensinya ketimbang tidak efektif.
Lebih baik tim marketing memikirkan penghasilan, sumber revenue dari segmen online.