Lima belas tahun lalu, kala maraknya penjualan gawai, hotelier wajib mengikuti perkembangan pasar. Setiap staf diharuskan memiliki akun di media sosial.
Jauh sebelum itu, Facebook adalah akun pertama yang saya miliki. Tiada yang lebih penting dari media sosial itu selain untuk kepentingan bisnis dimana waktu pribadi tidak terlalu tercurah padanya.
Setelah Facebook, seorang kawan membuatkan akun twitter @celestpatter. Media ini yang paling saya sukai saat itu. Jika berselancar, lancar-lancar saja. Jumlah follower tak menjadikanku masalah. Terpenting saya mengikuti akun siapa saja.
Di tengah obrolan dengan seorang kawan, saya pun mengenal Linkedin. Karena aktif di media ini, tanpa diduga, kerap bertemu sahabat lama seprofesi.
Selain ajang perjumpaan sesama hotelier, Linkedin juga sebagai marketing platform kaum profesional. Jadi kemungkinan tipu menipu sesama anggota, takkan terjadi. Bukanlah jaminan, namun sedikit sekali peluang melakukan hal itu.
Di Linkedin, bagaimana mungkin kita memberikan data tidak akurat terkait pekerjaan?
Di Linkedin pula, pengikutku terbanyak hingga mencapai 1207 follower. Mereka kolega yang bertahun-tahun bekerja sama yang tersebar di berbagai kota. Asyiknya lagi, terhubung kolega lama di manca negara. Sedangkan di media lain, tak lebih dari 200 pengikut.
Belakangan munculah Instagram yang bermanfaat bagi tim penjualan dan pemasaran bekerja.
Semua akunku di media sosial mudah ditemukan, pasalnya semua nama indentik, walaupun ada hanya dibolak balik. @celestinepatterson @pattersoncelestine @patter
Bagaimana mungkin nama berlainan dengan kartu nama? Konsekuensinya, kurang dikenal pelanggan.
Apakah saya aktif di media sosial? Terlalu aktif, tidak juga. Pasif pun tidak sama sekali. Biasa-biasa saja karena waktu tidak total tercurah.
Kini yang teraktif, Kompasiana dan Linkedin. Keduanya guna membangun jaringan, selain menyebarkan konten kepada pembaca yang sebagian besar adalah hotelier.
Mengenal Kompasiana dan Linkendin sangat membantu para hotelier dalam menganggit konten blog. Kedua media sosial ini menjadi sentra perluasan artikelku.
Banyak hal yang tak terduga muncul. Seperti artikel Menjamu Pelanggan di Hotel, Gratifikasi atau Bukan?, mendapat 240 view di Kompasiana, sementara di Linkedin sebanyak 1285 view.
Begitupun artikel berjudul:
(*) Memutuskan Status Hotel Anyar, Pilih Independen atau Chain hotel? di Kompasiana mendapat 541 view, sedangkan di Linkedin 2781 view.
(*) Strategi Menggairahkan Bisnis Kos-kosan yang Hidup Segan Mati Tak Mau!, di Kompasiana mendapat 2196 view, di Linkedin mendapat 367 view.
Hal ini bukti bahwa kedua media ini saling melengkapi.
Setahun lalu, Twitter dan Linkedin secara bersamaan mengucapkan selamat atas kesetiaanku selama 10 tahun menjadi anggotanya.
Tidak mudah memelihara akun-akun di media sosial agar selalu eksis. Jika nama akun tidak sinkron, sulit diingat pelanggan. Tiga kali akun Facebook diganti dan kini @celestinepatterson tetap eksis.
Kesesuaian nama dalam media sosial sangat diperlukan apabila media ini untuk tujuan bisnis atau populer.
Jika hanya sambil lalu, iseng-iseng atau stalking biasanya seseorang yang tak ingin dikenal. Seperti keponakan saya yang sering berganti nomor gawai dan akun. Kehadirannya sulit dilacak.
Bagi kita yang tidak berurusan, tak terlalu penting bahkan tak peduli karena dirinya bukan selebritis yang harus dipantau sepanjang waktu.
Bagiku, media sosial sangat penting. Banyak manfaat positif yang saya amati dan alami selama ini.
Di Instagram, saya penuhi dengan foto-foto kolega sebagai kenangan dan wujud prestasi. Bukankah ini layaknya deretan album pribadi?
Mereka, kolegaku sepanjang zaman. Maka dari itu nama sebaiknya sinkron, agar mudah dikenali. Bukan @sicantikjelita, @yayangmu, @lambehitam, dll.
Apa yang saya unggah di media sosial?
Sembilan puluh lima persen untuk urusan pekerjaan. Saya dapat mengontak mantan bos, klien di luar negri, mantan staf yang puluhan tahun berpisah. Mengetahui kabar terbaru dimana ladang mereka kini. Ya, senang saja.
Adapun hal-hal pribadi seperti saling mengucapkan ulang tahun kepada keluarga, ucapan prestasi kedua anak, diunggah sebagai pengingat serta wujud apresiasi terhadap mereka.
Namun ada pengalaman getir. Suatu ketika, seseorang memperkenalkan diri melalui pesan di Linkedin. Saya gemetar mendengar ucapannya.
Apa yang salah dari perbuatanku, pikirku. Ia berang, tersinggung karena konten tulisanku.
Seseorang yang saya hormati dan hargai di dunia maya, seketika menjadi lawan. Ah, tak salah bunda mengandung! Ada saja pikiran negatifnya.
Sejak saat itu, saya berhati-hati dalam menulis. Hal demikian menjadi bahan koreksi. Ya, suatu pelajaran baru.
Jadi, apakah saya sama versi media sosial dengan di balik layar? Sama saja. Toh saya bukan artis populer yang harus dipantau oleh khalayak ramai.
Apabila tidak sinkron, lain di media sosial, lain di dunia nyata, bersiaplah. Anda menuai apa yang ditabur (ingat kisah Oma Roselina Tjiptadinata).
Banyak publik terkecoh dan berbalik tidak simpatik terhadap figur semacam ini. Pengikutnya menganggap sekedar atraksi sesaat.
Bagi follower, barangkali saya terkesan monoton, kurang gaul, tiada gairah karena melulu unggahan terkait pekerjaan, tetapi tidak bagi 1207 follower di Linkedin.
Saya menyebut Linkedin, nafas hotelier dalam e-marketing. Terlebih saya telah bergaul dengannya lebih dari satu dekade. Saya dibesarkan dan dikenal melalui Linkedin.
Pada tanggal 19 Agustus 2020, saya menemukan tempat asyik dunia blog, perkenalanku dengan Kompasiana semakin memberi tempat, setidaknya memperluas ruang berinteraksi.
Di Kompasiana, mengenal lebih dekat untuk membangun kepiawaian berliterasi. Secara implisit, memberi kesempatan bagi penulis untuk membuka diri. Siapa dan mengapa.
Bersikap sejati di media sosial dan kehidupan sehari-hari adalah pelengkap jati diri kita.
Tiada yang tersembunyi di muka publik selama kita berperilaku serta berpikir positif.
Setiap individu memiliki kelebihan dan kekurangan. Itu lazim. Sebaiknya kita pun saling menghargai perbedaan serta pengalaman itu.
Salam hospitality.
(*) Sumber data view dari Kompasiana dan Linkedin