Mohon tunggu...
Casmudi
Casmudi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seorang bapak dengan satu anak remaja.

Travel and Lifestyle Blogger I Kompasianer Bali I Danone Blogger Academy 3 I Finalis Bisnis Indonesia Writing Contest 2015 dan 2019 I Netizen MPR 2018

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sidak Pecalang di Pagi Buta

9 Agustus 2015   09:06 Diperbarui: 9 Agustus 2015   09:29 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bali bagaikan bunga mawar yang mengundang datangnya para kumbang untuk mengisap sari madunya. Pesona yang tiada habis untuk dibicarakan, bukan hanya keindahan alam, tapi proses mencari rejeki pun mengundang para pendatang. Peribahasa, ada gula ada semut. Di mana ada penghidupan yang emberikan rejeki, di situlah banyak orang yang berbondong-bondong untuk mendapatkan hasilnya.

Tetapi, hidup di Bali bukan perkara mudah. Banyak pertanyaan yang selalu ditujukan kepada saya, mengapa harus hidup di Bali? Ada beberapa alasan yang menjadi tolok ukur mengapa saya mau hidup di Bali. Pertama, Bali masih menjadi pulau teraman di Indonesia. Meskipun Bali sudah kecolongan dengan meledaknya Bom Bali I dan Bom Bali II. Sejak itulah pengamanan dan pendataan identitas para pendatang Bali sangat ketat. Jangan sembarangan hidup di Bali kalau anda berniat jahat. Kedua, Memilih sekolah terbaik buat anak saya. Sejak kelas 2 SD (tahun 2009) saya sudah pindah ke Bali untuk menyekolahkan anak saya dan sekarang sudah kelas 3 SMP.

Perlu diketahui, beberapa tahun belakangan, sekolah di Bali menjadi favorit dan berita televisi di Indonesia, baik setingkat SMP/SMA. Untuk alasan ini, saya sudah beberapa kali merayu anak saya untuk pulang ke Jawa, karena di Jawa pun masih banyak sekolah yang lebih baik dengan segala fasilitas dan prestasinya. Saya pribadi pun lulusan dari sekolah favorit SMA Negeri 1 Tegal dengan segudang fasilitas dan prestasinya yang tidak diragukan lagi. Maaf, kalau yang ini promosi, he he he. Tetapi, anak saya bersikukuh untuk melanjutkan pendidikan sampai tingkat SMA di Bali. Anak saya beralasan bahwa sekolah di Bali jarang terjadi kenakalan pelajar karena disibukkan dengan kursus dan upacara persembahyangan. Dan, saya pun memakluminya. Setelah kuliah baru kita berniat kembali ke tanah Jawa. Ketiga, mencari penghidupan yang lebih baik. Setelah usahaku bangkrut di tanah Jawa, saya pun berniat untuk merantau ke Kalimantan. Tetapi, istriku mencegahnya agar merantau saja di Bali yang lebih dekat dan jika pulang kampung tidak memakan biaya banyak. Sekalian napak tilas pertemuan kami berdua sebelum menikah. Wah, yang ini benar-benar romantis!

Meskipun, masih kawasan Indonesia tercinta, untuk bermukim di pulau seribu pura ini, kita tidak bisa hidup seenak hatinya. Kita dituntut harus mengikuti awig-awig (peraturan) yang berlaku di Banjar. Perlu diketahui, Banjar adalah bagian terkecil dari sebuah Desa Pekraman di Bali. Semua perangkat Banjar pun akan menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin sesuai adat yang berlaku. Apalagi, sebagai pendatang seperti saya ini. Semua peraturan pun harus saya patuhi dengan sebaik mungkin. Kita harus menerima konsekuensinya, jika melanggarnya.

Ada hal yang menarik jika kita hidup di Bali. Bisa juga menjadi hal yang sangat ditakuti oleh para pendatang. Sidak dan Pecalang (petugas keamanan) adalah dua kata yang kebanyakan pendatang ke Bali menjadi suatu hal yang “menakutkan”. Bila perlu dihindari. Tetapi, bagi saya, dua kata tersebut adalah sebagai proses untuk menertibkan hukum yang berlaku. Jadi, kapanpun saya tetap siap menghadapi apapun resikonya. Kesiapan hidup di Bali pun harus diimbangi degan mematuhi peraturan yang berlaku. Salah satu hal terpenting adalah harus mempunyai KIPEM (Kartu Identitas Penduduk Musiman). KIPEM harus diurus setiap 3 bulan sekali. Di tempat saya tinggalbiaya pembuatan KIPEM untuk yang ber-KTP luar Bali setiap orang dikenakan biaya sebesar Rp. 110 ribu ditambah materai Rp. 6000,-. Sedangkan, bagi pendatang yang masih ber-KTP Bali dikenakan biaya sebesar Rp. 60 ribu ditambah materai Rp. 6000,-. Jika, kita terlambat mengurus perpanjangan kurang dari 3 bulan, maka kita akan dikenakan cuk (denda) sebesar Rp. 50 ribu. Sedangkan jika terlambat 3 bulan atau lebih maka dikenakan denda 100% atau sebesar Rp. 110 ribu alias membayar 2x lipat (Rp. 220 ribu).

Sebelum lebaran 2015 kemarin, saya pulang kampung ke kota Ngawi (Jawa Timur) dan tidak sempat pulang ke kampung halaman kedua orang tua dan masa kecil saya dikarenakan waktu libur anak saya yang terbatas. Sebelum pulang kampung untuk merayakan lebaran, saya memahami bahwa masa bakti KIPEM saya mau habis dan saya datang ke Kadus (Kepala Dusun) untuk memperpanjang KIPEM. Tetapi, lebih dari 1 minggu tidak ada konfirmasi sama sekali. Saya pikir mungkin yang bersangkutan sedang sibuk dan saya memakluminya. Tetapi, yang saya takutkan adalah Sidak Pecalang yang datangnya mendadak dan tidak tentu waktunya membuat saya bingung. Saya pun melupakannya dan pulang kampung dengan senang hati untuk merayakan Lebaran. Sebagai informasi, untuk mendapatkan KTP Bali, sekurang-kurangnya kita sudah melewati 2 kali masa bakti KIPEM dan membawa surat pindah dari KTP lama. Masalah masa bakti KIPEM, saya sudah melewati puluhan kali, tetapi masalah surat pindah saya sudah berbicara dengan istri saya belum bisa mengamininya dengan berbagai alasan. Terpaksa, saya harus menyandang predikat “PENDATANG alias PENDUDUK MUSIMAN”. Dan, konsekuensinya, saya harus terus membuat KIPEM setiap 3 bulan sekali. Hebat dan sedihnya hati ini campur aduk!

Perlu dipahami, Sidak Pecalang masih merupakan kejadian yang ditakuti atau dihindari oleh para pendatang. Banyak trik para pendatang untuk menghindari Sidak Pecalang tersebut, seperti: Membiarkan para pecalang mengetuk pintu dan tidak membukakannya, seakan-akan penghuninya tidak ada. Biasanya para pendatang yang mengetahui bocornya Sidak Pecalang dari tetangga melakukan dengan berbagai cara, di antaranya: (1) pergi keluar rumah (entah ke mana, yang jelas tidak di dalam kost atau kontrakan); (2) kalau pendatang tidak sempat keluar rumah, maka hal yang dilakukan adalah memasukan segala perlengkapan rumah ke dalam kost atau kontrakan dan dikunci dari luar. Kondisi ini memberi kesan seakan-akan penghuninya tidak ada alias pulang kampung. Segitunya ya! Repot banget. Yang menggelikan adalah saya pernah mendengar pendatang karena mempunyai uang yang pas-pasan buat makan dan mendengar ada Sidak Pecalang, menjelang jam 04 pagi mereka rela-relain pergi ke sungai terdekat dan berendam di sana untuk menghindari sidak tersebut. Gila, sekalian mandi pagi atau mungkin cari wangsit ya!

Tak disangka Sidak Pecalang pun datang. Di pagi buta tanggal 9 Agustus 2015 sekitar jam 04 kurang sedikit banget, pintu tempat kami tinggal digedor pintu. Karena masih dalam proses melanjutkan mimpi, kami pun tidak menghiraukannya. Biasanya sebelum jam 04 pagi saya pun melakukan ritual sholat tahajud. Tetapi, pagi ini, saya betul-betul capai karena semalaman membuat sebuah tulisan. Gedoran pintu pun semakin lamat-lamat terdengar dan semakin keras. Tok …tok …. Tok ….
“Pak… pak …pak … tolong buka pintunya” terdengar suara ketokan pintu di luar. Saya pun langsung paham dan bangun membukakan pintu meskipun masih dalam keadaan ngantuk.

“Maaf pak, kami dari banjar melakukan sidak. Bisa menunjukan identitasnya” sambungnya para petugas banjar. Kulihat para Pecalang sebanyak kurang lebih 10 orang dengan berbekal SENTER dan HT (Handy Talkie) untuk berkoordinasi dengan petugas lainnya di setiap tempat tinggal para pendatang, nyaring terdengar. Saya pun langsung memahami dan bergegas menunjukan KTP saya dan istri saya. Di sinilah e-KTP saya digeledah dan disenterin.
“KIPEMnya mana pak?” tanya salah satu petugas Pecalang.
“Maaf pak, KIPEM saya belum jadi, karena masih diurus di pak Kadus” jawabku.
“Oh ya pak, ini KTP nya kami pegang. Dan, bapak cuci muka dulu langsung mewakili ibu datang langsung ke Banjar” jawab pecalang.
“Baik, pak. Terima kasih” jawabku.

Masih dalam keadaan mata mengantuk, saya pun diantar petugas Pecalang menggunakan motor Kymco (maaf bukan promosi loh) menuju Banjar. Ternyata di Banjar sudah banyak pendatang yang terjaring Sidak Pecalang. Yang menarik adalah terdapat 2 pasang muda mudi (maaf, kumpul kebo) yang terjaring sidak Pecalang. Bersama dengan yang lainnya, saya pun harus menunggu kepengurusan KIPEM hingga 2 jam lamanya.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun