Mohon tunggu...
Casmudi
Casmudi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seorang bapak dengan satu anak remaja.

Travel and Lifestyle Blogger I Kompasianer Bali I Danone Blogger Academy 3 I Finalis Bisnis Indonesia Writing Contest 2015 dan 2019 I Netizen MPR 2018

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Panic Buying, Fenomena Kalap Belanja yang Tidak Berkeadilan

2 Mei 2020   02:36 Diperbarui: 7 Juli 2021   06:59 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panic Buying, salah satu fenomena kalap belanja (Sumber: dokumen pribadi)

Tidak Berkeadilan

 Mari belajar dari kasus masker. Banyaknya orang yang kalap belanja. Baik untuk dijual kembali. Maupun, untuk ditimbun menunggu harga melonjak tinggi. Dampak dari aksi tersebut adalah stok masker di pasaran hilang seketika. Banyak orang yang bingung untuk membeli masker.

Akhirnya, karena stok masker jarang di pasaran. Membuat harga masker melonjak tinggi hingga 20 kali harga normal. Semula harga masker adalah Rp 25 ribu per boks dengan isi 50 lembar. Melonjak tajam hingga Rp 400 ribu per boks. Bahkan, ada yang tidak punya hati hingga menjual di atas Rp 500 ribu per boks.

Bukan itu saja, aksi tipu-tipu menjual masker pun sering terjadi secara online. Tahukan anda, bahwa aksi Panic Buying atau kalap belanja menimbulkan kondisi yang tidak berkeadilan. Masker adalah milik semua. Setiap orang seharusnya bisa mendapatkannya dengan harga yang normal.

Namun, kenyataannya, masyarakat tidak bisa mendapatkan dengan mudah. Perlu uang lebih untuk mendapatkan produk yang diinginkan. Bahkan, masyarakat pun rela melakukan tindak kejahatan. Memanfaatkan momen langkanya masker.  

Dengan kata lain, fenomena kalap belanja bisa melanggar hak lain. Anda memang punya uang lebih. Dan, bisa menghabiskan uang untuk kebutuhan anda. Namun, di saat anda belanja "di luar kewajaran", maka secara langsung, anda telah melanggar hak orang lain. Karena, orang lain juga berhak belanja barang, yang seperti anda beli.

Itulah sebabnya, banyak pihak manajemen supermarket sering memberikan informasi tentang batasan belanja pada sebuah produk. Sebagai contoh, harga minyak goreng dijual dengan harga promo Rp 18 ribu per 2 liter. Harga normal berkisar antara Rp 22-26 ribu per 2 liter. Harga tersebut membuat banyak orang yang kalap belanja. Bahkan, stok minyak goreng bisa diborong oleh satu orang yang mempunyai uang.

Namun, keinginan pengunjung akan terkontrol dengan adanya batasan belanja. Contoh, belanja maksimal 2 kantong. Maka, setiap pengunjung bisa memanfaatkan promo tersebut. Ini adalah perwujudan keadilan pengunjung yang diterapkan oleh pihak manajemen supermarket.

Berbeda dengan kasus borong belanja, saat saya belanja di supermarket yang telah saya sebutkan di atas. Para pengunjung yang kalap belanja, secara langsung melanggar hak orang lain.

Saya yang berhak untuk belanja mie instan pun terpaksa gigit jari. Bahkan, beras yang termurah pun habis diborong pengunjung. Yang ada hanyalah beras premium, yang harganya membuat saya mengernyitkan dahi.

Alasan yang Mendasari 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun