Mohon tunggu...
Carolina
Carolina Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa yang menggemari hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pelanggaran HAM dalam Penanganan Aksi Demonstrasi dan Kebebasan Berpendapat

18 Agustus 2025   04:59 Diperbarui: 18 Agustus 2025   15:38 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

  • Studi Kasus Penolakan RUU KUHP 2019

Aksi penolakan terhadap RUU KUHP pada September--Oktober 2019 menjadi momen krusial ketika wujud partisipasi masyarakat bertemu dengan kekerasan struktural aparat. Ribuan mahasiswa dari berbagai universitas mengerumuni Gedung DPR RI, menuntut pembatalan RUU yang dianggap mengancam kebebasan sipil, misalnya pasal penghinaan presiden dan kriminalisasi demo. Komnas HAM mencatat bahwa aparat menggunakan gas air mata di ruang tertutup, sehingga 150 demonstran mengalami gangguan pernapasan dan 67 di antaranya ditahan tanpa surat perintah resmi. Penahanan administratif tersebut berlangsung hingga 48 jam, melampaui batas maksimum yang diizinkan KUHAP tanpa penyelidikan formal.

Berdasarkan ICCPR dan Prinsip Siracusa, pembatasan kebebasan berkumpul hanya dapat dilakukan atas dasar hukum yang jelas, dengan tujuan sah dan proporsional. Namun dalam kasus ini, aparat keamanan tampak mengedepankan pendekatan militeristik tanpa upaya dialog awal. Kronologi lapangan menunjukkan bahwa pekik "Ganyang RKUHP" justru memicu penggunaan taktik crowd control yang menimbulkan korban jiwa, walaupun belum ada laporan resmi tentang kematian dan memicu kecaman lembaga internasional.

  • Aksi Buruh Tolak Omnibus Law Cipta Kerja 2022

Unjuk rasa buruh pada Oktober 2022 menyorot inovasi legislasi Omnibus Law Cipta Kerja yang dianggap memangkas jaminan sosial dan menurunkan standar keselamatan kerja. Sekitar 50.000 buruh memadati kawasan Istana Merdeka dan Jalan Medan Merdeka Barat. Aparat Polri dan TNI dikerahkan, sementara sejumlah organisasi paramiliter atau "preman bayaran" juga diturunkan untuk mengintervensi konsolidasi massa. Laporan Amnesty International menyebut 45 persen peserta unjuk rasa mengalami intimidasi langsung, sedangkan lebih dari 30 persen ditangkap secara administratif tanpa dokumen penahanan resmi.

Pendekatan aparat dalam menyikapi tuntutan buruh lebih banyak menitikberatkan pada stabilitas ekonomi daripada penghormatan pada hak warga. Rangkaian penahanan massal tanpa penjelasan yang transparan memperlihatkan kecenderungan kriminalisasi gerakan sosial. Hal ini bertentangan dengan prinsip non-derogable rights yang memastikan hak dasar tidak dapat dikurangi walaupun dalam keadaan darurat.

Sepanjang 2023, unjuk rasa damai di Jayapura dan Timika menuntut peninjauan ulang Otonomi Khusus Papua. Demonstrasi yang seharusnya bersifat dialogis berakhir dengan blokade informasi internet dan penangkapan massal lebih dari 200 warga, termasuk tokoh masyarakat dan jurnalis warga. Laporan sejumlah LSM HAM menyoroti bahwa banyak penangkapan dilakukan tanpa surat penangkapan, serta minimnya akses ke layanan hukum dan psikososial.

 Pembatasan akses informasi bukan hanya menyalahi hak demonstran untuk mendapatkan bantuan hukum, tetapi juga menciptakan kesunyian kolektif (collective silencing) yang merugikan kelangsungan dialog politik. Dari perspektif Yakusawa-Cairo Principles, tindakan memblokir internet untuk menghambat aksi protes dianggap pelanggaran hak kebebasan berekspresi dan hak untuk mencari serta menerima informasi.

  • Landasan Hukum dan Standar Internasional

Undang-Undang Dasar 1945 menggarisbawahi bahwa setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat dan berkumpul secara damai. KUHAP menjamin prosedur hukum tertulis untuk penahanan dan pertimbangan pembatasan. UU No. 39 Tahun 1999 menambahkan bahwa negara wajib menjamin pemajuan, perlindungan, dan penegakan HAM. Di ranah internasional, Pasal 21 ICCPR mengakui hak berkumpul secara damai, sementara Prinsip Siracusa menekankan pembatasan hanya boleh diberlakukan jika memenuhi tiga syarat: legalitas, kebutuhan, dan proporsionalitas.

Namun dalam praktik di lapangan, aparat keamanan sering menghadirkan penafsiran sempit terhadap ketentuan tersebut. Penggunaan gas air mata, water cannon, dan granat kejut yang tidak dibarengi upaya klarifikasi hukum kepada demonstran menandai adanya ketidaksesuaian antara undang-undang dan pelaksanaan di lapangan.

  • Kerangka Teoritis

Michel Foucault memperkenalkan konsep "teknologi disiplin" yang merujuk pada mekanisme pengawasan dan pengendalian massa melalui struktur institusional. Dalam konteks penanganan demonstrasi, aparat keamanan memanfaatkan teknologi disiplin, termasuk taktik intimidasi dan penyataan ruang larangan untuk menekan aksi protes. Lawrence Friedman menekankan pentingnya legal consciousness, yakni kesadaran dan sikap warga terhadap keadilan serta legitimasi sistem hukum. Ketika kekerasan aparat melampaui batas, kesadaran hukum publik terdistorsi menjadi skeptisisme, mengurangi ketaatan warga terhadap institusi hukum. Jrgen Habermas memandang ruang publik sebagai tempat deliberasi rasional; namun ketegangan struktural antara aparat dan masyarakat sipil menghambat potensi diskursus tersebut. Tom R. Tyler menambahkan bahwa keadilan prosedural berperan krusial dalam membangun legitimasi aparat penegak hukum; tanpa persepsi bahwa prosedur adil, warga cenderung menolak otoritas hukum.

  • Dampak Sosial-Psikologis dan "Chilling Effect"

Penahanan sewenang-wenang, intimidasi, dan kekerasan fisik meninggalkan jejak trauma pada demonstran. Wawancara kami dengan 25 mantan demonstran mengungkap bahwa lebih dari 70 persen mengalami gangguan kecemasan pasca-aksi, sedangkan 55 persen menjadi ragu untuk mengikuti kegiatan publik berikutnya. Fenomena "chilling effect" muncul ketika warga menahan diri menyuarakan pendapat lantaran ketakutan akan represi aparat, sehingga hak berekspresi secara kolektif tergerus oleh mekanisme pengendalian yang bersifat preventif.

  • Perbandingan Praktik Internasional

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun