Mohon tunggu...
Carlos Nemesis
Carlos Nemesis Mohon Tunggu... Insinyur - live curious

Penggiat Tata Kota, tertarik dengan topik permukiman, transportasi dan juga topik kontemporer seperti perkembangan Industry 4.0 terhadap kota. Mahir dalam membuat artikel secara sistematis, padat, namun tetap menggugah. Jika ada yg berminat dibuatkan tulisan silahkan email ke : carlostondok@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Pesepeda Bersatu!

21 Juni 2020   14:43 Diperbarui: 24 Juni 2020   16:18 3106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan Sudirman, 17 Juni 2020, sumber: dokumentasi pribadi

Entah anda memperhatikannya atau tidak, sekarang kita banyak jumpai pesepeda kembali meramaikan jalan raya Ibu kota. 

Moda transportasi paling tua ini mampu melintasi waktu dan tetap relevan hingga abad ke-21. Yang anda butuhkan hanyalah kayuhan dari kaki anda, tanpa bensin dan tanpa emisi. 

Harganya pun relatif terjangkau dan tidak perlu spesifikasi yang canggih untuk mampu membawa anda hingga 10 kilometer ke depan.

Jumlah pesepeda di Jalan Sudirman mengalami peningkatan sebesar 10 kali lipat semasa pandemi [1]. Orang-orang menganggap sepeda sebagai moda transportasi yang murah dan mampu menghantar ke tujuan sebagai alternatif dari menggunakan transportasi umum.

Namun di balik meningkatnya antusiasme warga Jakarta untuk bersepeda, sepeda masih tetap menjadi anak haram jalanan Jakarta. 

Amanat undang-undang agar pemerintah menyediakan fasilitas yang aman bagi pesepeda masih belum diwujudkan oleh pemerintah pusat sampai daerah secara konkret.

Padahal setiap pesepeda mulai dari yang baru mencoba sampai yang ahli butuh jaminan keamanan untuk bergerak.

Lantas apa langkah-langkah yang seharusnya kita lakukan untuk “membujuk”, atau lebih tepatnya memaksa dan menuntut pemerintah agar memberikan perhatian yang lebih serius agar sepeda diprioritaskan sebagai moda transportasi termurah, inklusif dan ramah lingkungan ini? 

Menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu belajar dari negara yang sukses mewujudkan visi itu, yakni negara Belanda. Sepeda sangat populer disana sampai-sampai jumlah sepeda yang ada di Belanda mencapai 22 juta, melampaui 17 juta jumlah penduduknya.

Rata-rata orang Belanda menghabiskan sebanyak 1.000 kilometer setiap tahunnya untuk bersepeda. Tidak heran ada pepatah yang mengatakan bahwa orang Belanda lahir bersama dengan sepeda.

Kondisi ini ternyata tidak datang begitu saja secara natural, sebaliknya malah terbentuk dari perjuangan kolektif, dorongan eksternal, kebijaksanaan pemimpin, dan nilai egaliter yang dijunjung tinggi oleh warga Belanda.

Sepeda Sebagai Kenikmatan Orang Borjuis dan Perjuangan Kelas Pekerja

Pada tahun 1860 – 1880 sepeda hanya dinikmati oleh sekelompok orang terutama laki-laki, karena sepeda kala itu berbentuk high wheel. Penggunaan sepeda ini lebih ditujukkan untuk merasakan bahaya dan petualangan saja. 

Memasuki tahun 1890-1900 hal itu mulai berubah, sepeda mulai lebih bisa dinikmati oleh semua kalangan dengan bentuk rodanya yang sama dan lebih sejajar.

Namun penggunaannya baru dinikmati oleh kaum borjuis kota untuk bereksplorasi dan menikmati kenyamanan daerah pinggirian pinggiran kota. Barulah pada tahun 1918an sepeda mulai menjadi moda sehari-hari semua warga Belanda, baik menteri, doktor, tukang pos, semua orang menggunakannya untuk bekerja.

Pada tahun 1930an, jumlah pesepeda di Belanda telah mencapai 3 juta pengguna, bahkan di negara tetangganya seperti Jerman jumlah pesepeda telah mencapai 15 juta pengguna.

Amsterdam tahun 1960 | Sumber: theguardian.com
Amsterdam tahun 1960 | Sumber: theguardian.com
Menjelang tahun 1940-1955 (pasca perang dunia ke-2) kehadiran kendaraan yang dipandang sebagai moda transportasi masa depan mulai meminggirkan popularitas sepeda. 

Fenomena menariknya adalah penggunaan sepeda yang dulunya banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah sekarang berganti hanya dinikmati oleh kelas pekerja kota.

Hal ini dikarenakan kelompok menengah itu sudah mampu untuk membeli kendaraan pribadi. Kelompok menengah itu menduduki posisi-posisi penting di parlemen dan mulai melihat sepeda sebagai permasalahan yang perlu dihilangkan.

Jalan raya yang dulunya dinikmati oleh pejalan kaki dan pesepeda secara bersamaan, kini dianggap mengganggu sehingga harus dipinggirkan untuk membuka jalan bagi kendaraan.

Menghilangkan Pesepeda Semenjak dari Rencana

Sentimen anti pesepeda semakin kuat di negara-negara Eropa pada tahun 1950-1975. Pesepeda mulai dicap sebagai orang-orang anarkis dan tidak aman untuk dibiarkan begitu saja di jalanan kota. 

Komunitas pesepeda Dansk Cyklist Forbund dan Dutch Tourist Association (ANWB) terus memperjuangkan hak yang sama bagi pesepeda di jalan.

Tetapi suara mereka tidak dianggap karena pendekatan perencanaan teknokratis oleh pemerintah setempat. Pemerintah lokal bersama perencana kota menganggap mereka telah mewakili suara para pesepeda yang pada akhirnya medeligitimasi nilai-nilai yang dijunjung pesepeda.

Kabar yang lebih mendukakan datang dari Belgia, Jerman dan Swiss. Pemerintah di negara tersebut membatalkan secara total pembangunan lajur khusus sepeda dan menggantikan semua lajur sepeda menjadi lajur kendaraan mobil.

Bahkan di Kota Hannover, Jerman, pesepeda dilarang memasuki area inti kota tersebut. Singkatnya sepeda sudah tidak dianggap lagi dalam agenda perencanaan kota.

Perjuangan Komunitas Akar Rumput dan Kesadaran Pemangku Kebijakan

sumber: http://eng.partizaning.org/?p=5641
sumber: http://eng.partizaning.org/?p=5641
Pada akhir tahun 1960 kelompok aktivits sepeda yang dikenal sebagai Provo mulai melancarkan “serangan”nya untuk mengambil alih kembali jalan kepada warga kota Amsterdam. Mereka melakukan aksi pembagian sepeda putih gratis untuk bisa digunakan oleh warga Amsterdam. 

Walaupun setelah itu mereka ditangkap karena dipandang melakukan aksi anarkis, bibit-bibit memunculkan kembali pesepeda di jalan kota mulai muncul kembali. 

Hampir semua komunitas akar rumput di sana menuntut perubahan arah kembang kota yang seharusnya lebih berpihak kepada manusia dan mengingatkan akan bahayanya budaya konsumerisme yang diciptakan oleh kendaraan.

sumber: https://www.theguardian.com/cities/2015/may/05/amsterdam-bicycle-capital-world-transport-cycling-kindermoord
sumber: https://www.theguardian.com/cities/2015/may/05/amsterdam-bicycle-capital-world-transport-cycling-kindermoord
Tidak hanya gerakan “anarki” yang dilancarkan oleh sekelompok khusus, keresahan juga muncul di kalangan masyarakat luas. Pada tahun 1970an lebih dari 3.300 orang meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, 400 orang diantaranya adalah anak-anak.

Gerakan Stop de Kindermood (stop membunuh anak-anak) bermunculan, jalan-jalan perkotaan ditutup oleh warga untuk memberikan ruang bermain yang aman bagi anak-anak: “Kami menempatkan meja di sepanjang jalan dan menjadikannya ruang publik, hal yang lucunya adalah ternyata polisi juga membantu kami”[3].

Ribuan pesepeda berdemonstrasi di jalan utama kota | sumber: dutchreach.org
Ribuan pesepeda berdemonstrasi di jalan utama kota | sumber: dutchreach.org
Pada tahun 1976 krisis energi melanda seluruh negara di dunia, embargo minyak dilakukan oleh Saudi Arabia kepada Amerika, Inggris, Kanada, Jepang, dan Belanda akibat dukungannya kepada Israel dalam perang Yom Kippur. Hal ini berujung kepada meroketnya harga minyak untuk kendaraan pribadi.

Melihat kebutuhan bergerak yang harus tetap dipenuhi, akhirnya pihak pemerintah Belanda mulai beralih kembali untuk mempromosikan sepeda. 

Perdana Meteri Belanda meminta masyarakat mulai menggunakan sepeda sebagai gaya hidup yang lebih berkelanjutan. Inisiasi ini pun dimulai dengan melakukan car-free Sundays di jalan-jalan utama kota.

Kota Groningen saat ini | sumber: theguardian.com
Kota Groningen saat ini | sumber: theguardian.com
Lebih lanjut lagi, pemerintah kota mulai mengintegrasikan jalur sepeda yang terkoneksi dalam perencanaan kota mereka. Negosiasi terus menerus oleh komunitas sepeda juga akhirnya mendorong regulasi peningkatan pajak kepada kendaraan pribadi dan mulai menempatkan sepeda sebagai moda yang ramah lingkungan serta sehat.

Bahkan pada awal tahun 1990an, pemerintah Belanda menempatkan sepeda sebagai rencana strategis dalam Rencana Transportasi Nasional. Keinginan yang kuat dari masyarakat dan komitmen pemerinta untuk membuat rencana jalur sepeda dalam skala regional, menjadikan Belanda dengan negara pengguna sepeda terbesar hingga mencapai 28% perjalanan harian warganya [4].

sumber: dutchreach.org
sumber: dutchreach.org
Reformasi arah pembangunan yang lebih memprioritaskan pesepeda pada akhirnya terlihat hasilnya dari jumlah kecelakaan lalu lintas yang terus menurun. 

Pada tahun 1960-1970 dimana orientasi pembangunan masih mengutamakan kendaraan, disanalah jumlah kecelakaan sangat tinggi, terutama di kalangan anak-anak dan lanjut usia.

Namun, menjelang tahun 2016 angka kecelakaan tersebut dapat diredam sedemikianrupa berkat pembangunan yang lebih berorientasi kepada manusia.

Wujud Nyata Masyarakat Egaliter

Raja Wilem Alexander dan Queen Maxima | sumber: https://bicycledutch.wordpress.com/2013/01/28/a-kingdom-for-a-bicycle/
Raja Wilem Alexander dan Queen Maxima | sumber: https://bicycledutch.wordpress.com/2013/01/28/a-kingdom-for-a-bicycle/
Alasan terakhir mengapa bersepeda dapat diterima oleh masyarakat Belanda secara luas karena masyarakatnya yang menjunjung tinggi nilai egaliter. Bersepeda menjadi salah satu tindak nyata menunjukkan kesamaan derajat terlepas dari kelas ekonomi yang dimiliki.

Sepeda dapat dengan murah dimiliki oleh setiap orang, bahkan orang Belanda pun merasa sungkan untuk memiliki sepeda yang mahal untuk dibawa berkeliling kota. Perasaan ini turut dibawa oleh Keluarga Kerajaan Belanda yang sering menunjukkan aktivitasnya saat bersepeda. 

Bersepeda menjadi cara keluarga kerajaan untuk menunjukkan sifatnya yang down to earth. Dari kalangan eksekutif pemerintahan juga menunjukkan semangat yang sama, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte seringkali bersepeda ke gedung parlemen untuk bekerja.

sumber: forbes.com
sumber: forbes.com
Belanda sebagai negara yang memprioritaskan pesepeda ternyata tidak datang begitu saja. Banyak sekali kontestasi politik yang terjadi disana sini, kegigihan masyarakat untuk memperjuangkan hal yang diinginkan pada akhirnya berbuah manis.

Saat ini kita sedang mengalami momentum perubahan dalam masa pandemi. Apakah kita mau berubah untuk kemajuan kota yang lebih berkelanjutan atau kembali ke kondisi normal dulu? Yang pasti jika ingin ada perubahan perlu ada aksi nyata yang kita lakukan.

Saya pribadi sekarang memutuskan bekerja ke kantor naik sepeda, dan juga berhasil mengajak kakak saya melakukan hal yang serupa. Langkah-langkah kecil ini bisa menjadi salah satu gerakan untuk mengembalikan kota kembali kepada manusianya. Semangat terus, jaga kesehatan, diri dan hati-hati.

Referensi:

[1] Galuh, Johannes. "Pesepeda Meningkat, Dishub DKI Buat Jalur Sementara di Sudirman-Thamrin". 2020. kompas.id

[2] Pucher, J., & Buehler, R. (2008). Making Cycling Irresistible: Lessons from The Netherlands, Denmark and Germany. Transport Reviews, 495-528.

[3] Zee, Renate van deer. "How Amsterdam became the bicycle capital of the world". 2015. theguardian.com

Oldenziel, R., & Bruhuze, A. d. (2011). Contested Spaces: Bicycle Lanes in Urban Europe, 1900-1995. Transfer 1, 31-49.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun