Mohon tunggu...
Carlos Nemesis
Carlos Nemesis Mohon Tunggu... Insinyur - live curious

Penggiat Tata Kota, tertarik dengan topik permukiman, transportasi dan juga topik kontemporer seperti perkembangan Industry 4.0 terhadap kota. Mahir dalam membuat artikel secara sistematis, padat, namun tetap menggugah. Jika ada yg berminat dibuatkan tulisan silahkan email ke : carlostondok@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ancaman Terhadap Kebebasan Akademik

23 Oktober 2018   14:43 Diperbarui: 23 Oktober 2018   15:52 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebebasan akademik mengalami tantangan dalam mempertahankan otonominya. Kasus pengajuan gugatan terhadap saksi ahli sebagai akademisi dan perlibatan polisi dalam ranah akademik menjadi salah satu contoh kasus penyebab. Kasus gugatan terhadap saksi ahli terjadi ketika PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) melakukan gugatan terhadap Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Bambang Hero Saharjo sebesar Rp. 510 milliar pada tanggal 17 September 2018. 

Alasan dibalik dituntutnya akademisi ini dikarenakan keterangan yang diberiikan sebagai ahli yang diberikan di dalam persidangan. Gugatan ini dianggap aneh karena Bambang yang sudah memberi kesaksian sesuai prosedur dan didasari oleh bukti-bukti ilmiah[1]. Kedua, kasus akademisi yang mendapatkan tekanan dari pihak luar tidak hanya terjadi dalam ranah pemberian keterangan sebagai saksi, tetapi juga terjadi dalam pencerdasan mengenai kajian ilmiah kepada publik. Pada tanggal 8 April 2018 silam Kepolisian Daerah Banten sempat akan memanggil peneliti tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Widjo Kongko untuk meminta klarifikasi atas kajiannya tentang potensi tsunami di selatan Jawa Barat. Panggilan ini dianggap kontroversial mengingatkan kajian yang dipaparkan dalam lingkup forum ilmiah dan bukan ranah polisi untuk mengintervensi.

Kasus Ketika Akademisi Terancam Sebagai Saksi Ahli
Perkara kasus kerusakan lingkungan oleh PT JJP sebenarnya telah diputuskan oleh Mahkamah Agung (MA) bahwa PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) bersalah dalam kasus itu. Majelis Hakim MA mewajibkan perusahaan perkebunan sawit itu untuk membayar denda dan pemulihan lingkungan sebesar Rp. 491 miliar dalam putusan kasasi perkara perdata pada 28 Juni 2018. Dua setengah bulan setengah bulan setelah perkara itu inkracht, PT JPP mengajukan gugatan ke PN Cibinong dan menuntut membayar ganti rugi sebesar Rp 510 miliar pada tanggal 17 September 2018. Upaya gugatan ini berindikasi intimidasi mengingat rekam jejak Profesor Bambang yang sudah menjadi saksi ahli sidang kasus perusakan lingkungan sebanyak 24 sidang perkara. Berita terakhir mengabarkan bahwa PT JPP mencabut gugatannya sementara untuk melengkapi berkas gugatan yang akan segera diajukan kembali[2].

Tidak hanya Profesor Bambang yang mengalami gugatan karena keterangannya sebagai akademisi, Basuki Wasis sebagai dosen pada Fakultas Kehutanan IPB juga digugat oleh mantan Gubernur Sulawesi Tenggara dalam kasus korupsi izin pertambangan Nur Alam. Dalam perkara Nur Alam, KPK sebagai penggugat memasukan unsur lingkungan dalam hitungan kerugian negara dari sebuah kasus korupsi dan menyimpulkan kerugian negara yang mencapai Rp 4.3 triliun dengan bantuan kalkulasi kerugian oleh Basuki Wasis sebagai akademisi. Namun Mantan Gubernur Sulawesi Tenggara ini menuntut Basuki balik dengan menuntut ganti rugi sebesar Rp 3.14 triliun. Sidang perkara ini sedang berjalanan di PN Cibinong dan memasuki tahapan pembacaan Putusan Sela pada 24 Oktober 2018 mendatang.

Perlindungan terhadap saksi sebenarnya sudah diatur dalam UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan pada pasal 76 ayat (1) : "setiap orang yang menjadi saksi, pelapor, dan informan dalam upaya pencegahan dan pemberatansan pembalakan liar, wajib diberi perlindungan hukum khusus oleh  Pemerintah". Dijelaskan lebih lanjut juga mengenai perlindungan saksi dalam pengadilan pada pasal 78 ayat (1) : "Pelapor dan informan tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas laporan dan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya". Hal serupa juga diatur dalam UU No. 31 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam aturan pasal 10 ayat (1) : "saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidk dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik". Namun kenyataannya masih terdapat beberapa pihak yang memanfaatkan celah tidak tercantumkannya "saksi ahli/ahli" untuk menggugat saksi ahli.

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyatakan gugatan terjadap Profesor Bambang Hero Saharjo merupakan langkah penghinaan terhadap akal sehat, dan menyayangkan tidak adanya peraturan yang melarang gugatan terhadap ahli dalam perdata dan pidana[3].

Kasus Ketika Kajian Akademis Diintervensi Pihak Kepolisian.
Pada tanggal 3 April 2018 Widjo Kongko sebagai peneliti perihal kebencanaan memaparkan materi mengenai potensi ketinggian tsunami di sejumlah daerah pada diskusi di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Kajian dari pemodelan komputer memberikan skenario gempa dari yang terkecil sampai yang terburuk berupa potensi tsunami hingga mencapai 57 meter di Pandeglang, Banten. Kajian tersebut memicu kepanikan di masyarakat setelah media menyampaikan temuan tersebut dengan mengangapnya seolah-olah sebagai prediksi. Sehingga memicu pihak kepolisian untuk memanggil akademisi ini untuk dimintai keterangan.

Pemanggilan ini dianggap mengancam kebebasan mimbar akademik karena hasil riset yang didukung data-data yang akurat bukanlah wewenang polisi untuk mengadilinya, jikapun terdapat cara penyampaian yang salah terdapat sidang kode etik peneliti bukannya di kantor polisi. 

Lebih lanjut pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Aji, berpendapat kajian ilmiah secara akademik, terlebih yang dikemukakan dalam ranah ilmiah tidak memuat unsur fisik (actus reus) dan mental (mens rea) yang menjadi persyaratan pemidanaan[4]. Pada akhirnya Polda Banten batal meminta klarifikasi kepada peneliti tsunami Widjo Kongko pada tanggal 10 April 2018 silam. 

Kebebasan Akademis Sebagai Hak Asasi Manusia Untuk Berpendapat
Kebebasan untuk menyatakan gagasan, pikiran, dan ide merupakan salah satu hak-hak azasi manusia (HAM) yang sudah disepakati bersama secara internasional melalui Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik semenjak tahun 1966 silam. Pada pasal 19 dan 20 dijelaskan bahwa setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan dengan tanggung jawab khusus. 

Pengakuan akan kebebasan akademik juga tercantum dalam Deklarasi Lima. Dikatakan bahwa perguruan tinggi memiliki kewajiban untuk mengupayakan pemenuhan hak-hak masyarakat yang meliputi hak ekonomi, hak sosial, hak budaya, hak sipil dan politik. Upaya penyelenggaran pendidikan yang mencerdaskan oeh sivitas akademika tersebut turut memegang andil besar dalam membawa pengaruh positif dalam terjadinya proses demokratisasi dalam masyarakat[5]. Kebebasan akademik tersebut memiliki hak untuk memenuhi fungsinya tanpa diskriminasi dalam hal apapun tanpa kekhawatiran terhadap campur tangan atau represi dari negara ataupun pihak lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun