Sejak memanasnya hubungan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok pada 2018, dunia menyaksikan bagaimana kebijakan saling balas tarif antar dua negara raksasa itu mengguncang stabilitas ekonomi global. Tapi yang sering terlupakan, perang dagang ini ternyata membawa dampak nyata, sekaligus terselubung, bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Banyak orang berpikir bahwa konflik ekonomi ini hanya berdampak pada negara-negara besar. Indonesia, dengan posisi ekonomi terbuka dan ketergantungan yang signifikan terhadap perdagangan internasional, berada dalam posisi rentan. Amerika dan Tiongkok adalah dua mitra dagang utama Indonesia. Ketika keduanya berseteru dalam bentuk peningkatan tarif impor dan pembatasan akses pasar, dampaknya mengalir seperti ombak ke pelabuhan-pelabuhan ekspor dan industri manufaktur kita.
Studi oleh Destri Sambara Sitorus (2021) mengungkap bagaimana perang dagang yang berlangsung sejak 2018 memukul sektor ekspor Indonesia. Kenaikan tarif dari AS terhadap produk Tiongkok, dan sebaliknya, membuat rantai pasok global terganggu. Produk-produk Indonesia yang selama ini menjadi bagian dari rantai tersebut ikut terdampak, meskipun Indonesia bukan pihak langsung dalam konflik itu. Tidak hanya itu, ketegangan dagang juga menyebabkan fluktuasi nilai tukar rupiah, yang membuat biaya impor bahan baku menjadi lebih mahal.
Indonesia yang menggantungkan sebagian besar pendapatan nasional dari aktivitas ekspor-impor, khususnya ke dua negara raksasa tersebut, sangat rentan terhadap tekanan global semacam ini. Sayangnya, banyak dampak dari perang dagang ini yang bersifat terselubung dan jangka panjang, sehingga kurang mendapat perhatian serius di ruang publik dan kebijakan nasional. Hal ini diperparah oleh naiknya tarif bea masuk dan kebijakan pembalasan dagang antara kedua negara tersebut yang berdampak langsung terhadap arus barang dan jasa global.
Indonesia menghadapi tantangan besar dari ketidakpastian pasar global yang ditimbulkan oleh perang dagang ini. Produk ekspor utama seperti minyak kelapa sawit, kopi, batu bara, dan tekstil mengalami penurunan permintaan signifikan, karena negara-negara yang terlibat perang dagang lebih memilih produk lokal atau alternatif dari negara lain yang tidak terkena tarif tinggi. Selain itu, harga komoditas Indonesia menjadi tidak stabil, berfluktuasi tajam mengikuti dinamika pasar global.
Di sisi impor, Indonesia juga harus menghadapi kenaikan biaya akibat tarif yang lebih tinggi pada barang impor, yang berpotensi memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Akses terhadap barang-barang berkualitas tinggi dan teknologi yang dibutuhkan industri dalam negeri juga menjadi lebih sulit, menghambat perkembangan sektor manufaktur dan inovasi nasional.
Lebih dari sekadar dampak ekonomi langsung, perang dagang menciptakan ketidakpastian yang menghambat investasi asing, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan risiko krisis sosial. Ketidakpastian ini bisa membuat investor asing ragu menanamkan modal di Indonesia, sementara inflasi dan pengangguran yang meningkat dapat memicu ketidakpuasan sosial dan ketidakstabilan politik.
Meski begitu, tidak semua negara terkena dampak secara negatif. Jurnal ketiga karya Muflihah dkk. (2025) menunjukkan bahwa beberapa negara seperti Vietnam justru memperoleh keuntungan dari pergeseran pasar dan relokasi industri akibat perang dagang. Berbekal reformasi struktural, kepastian regulasi investasi, dan biaya logistik yang kompetitif, Vietnam berhasil mengisi kekosongan pasar yang ditinggalkan oleh barang-barang dari Tiongkok yang dikenai tarif tinggi di AS. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa Vietnam mengalami peningkatan ekspor yang pesat dalam sektor teknologi dan manufaktur selama puncak perang dagang. Sayangnya, Indonesia belum bisa mengambil peluang serupa karena terbentur persoalan struktural seperti birokrasi, logistik, dan kurangnya insentif investasi yang menarik.
Ironisnya, Indonesia belum mampu mengambil peran strategis serupa. Masalah klasik seperti birokrasi berbelit, infrastruktur logistik yang belum optimal, dan ketergantungan terhadap ekspor komoditas mentah membuat Indonesia gagal memanfaatkan peluang dari pergeseran rantai pasok global.
Dalam jangka panjang, jika perang dagang ini terus bereskalasi atau bahkan menjalar ke negara-negara lain, Indonesia berisiko kehilangan lebih banyak pangsa pasar. Apalagi, tren proteksionisme global semakin menguat, ditandai dengan banyak negara yang mulai meninjau ulang keterlibatan mereka dalam perjanjian dagang bebas. Dalam konteks ini, Indonesia harus bersiap menghadapi dunia yang lebih tertutup secara ekonomi.
Sebagai langkah ke depan, Indonesia perlu mempercepat reformasi struktural: dari memperluas pasar ekspor ke negara non-tradisional, memperkuat industrialisasi dan hilirisasi produk, hingga memperbaiki iklim investasi. Diplomasi ekonomi juga harus diarahkan untuk memperkuat posisi dalam kerja sama multilateral dan menjamin kepastian perdagangan bebas yang adil.