Terngiang kata “Jogja” spontan kita pasti teringat tentang sebuah kota pelajar dengan setting tempat yang masih kental dengan unsur entik Jawa. Mungkin juga kita akan teringat dengan tempat-tempat wisatanya dan tentu saja Gudeg & Bakpia yang menjadi makanan khas kota Berhati nyaman ini. Ada juga teman saya yang berkelakar kalau jogja itu punya 4 “em”. Bogem (tempat khitan), Dugem, Pakem (tempat orang-orang dgn IQ ‘misterius’), dan Sarkem (u know lah..?!!). Well, dari seabrek ciri Jogja itu, ada satu hal yang membuat saya selalu kangen sama kota ini. Tentang wisata kulinernya. Kalau boleh dikerucutkan lagi, wisata kuliner warung kopi. U know why??coz I’m a coffee addict.
Tidak tahu kapan tepatnya saya mulai menyukai cairan hitam ini. Yang pasti semuanya terjadi ketika saya kuliah di Jogja. Tempat pertama saya ngopi adalah Kopi Jos di utara Stasiun Tugu. Itu pun tidak lebih dari sekedar rasa penasaran saya ketika ada teman menceritakan keberadaan kopi unik tersebut. Cara penyajiannya yang katanya memasukkan arang yang masih berbentuk bara ke dalam gelas yang berisi kopi tersebut mampu ‘merangsang’ rasa penasaran saya. Kali pertama saya merasakan Kopi Jos, pendapat saya tidak lebih dari sebuah minuman paduan antara rasa pahit dan manis, seperti kopi-kopi pada umumnya.
Kemudian seiring waktu, ada beberapa teman (yang tentunya coffee holic) menceritakan lagi tentang sebuah warung kopi yang bernuansa Jawa Timuran. Sebenarnya bukan setting tempatnya yang bernuansa Jawa Timur, tapi pengunjungnya yang mayoritas orang-orang Jawa Timur. Tentu saja dengan logat “yo’opo kabare,rek??”, “kon ndek ndi??” sampai makian “j*nc*k”nya. Blandongan..ya, nama tempatnya Blandongan. Akhirnya cerita teman tadi (lagi-lagi) mampu 'merangsang' rasa penasaran saya. Tapi dalam benak saya, paling-paling kopinya juga kayak kopi-kopi yang lain. Hitam, pahit, manis, bikin tidak bisa tidur. Paling-paling hanya suasananya saja yang mampu membuat teman saya sampai (sedikit) heboh menceritakannya. Akhirnya hidangan kopi tersebut sudah tersaji di depan saya. Penyajian yang tradisioanal banget membuat saya semakin yakin bahwa ini hanya kopi biasa, gak lebih. Tapi..DAMN!!satu sruputan saja sudah membuyarkan semua ‘buruk sangka’ saya tadi. It’s really a “maknyus” coffee. Paduan pahit dan manisnya pas banget. Ditambah lagi suasananya yang merakyat, hampir tidak ada kesenjangan di Blandongan.
****
Semakin lama Blandongan pun semakin ramai. Mungkin inilah yang membuat Cak Badrun (pemilik blandongan,red) membuka Ningratri. “Adik” dari Blandongan ini tempatnya lebih kecil dibandingkan “kakak”nya. Ningratri ini bisa di bilang tempat “pelarian” anak-anak Blandongan lama yang butuh kenyamanan dan ketenangan. Bulan Agustus 2007 menjadi awal bukanya Ningratri, dengan slogan “buka setiap hari kecuali tutup” alias 24 jam, memang menjadi tempat yang pas buat menghabiskan malam. Semakin hari, Ningratri semakin ramai pengunjungnya. Bahkan ketika malam hari penikmat kopi ada yang rela lesehan di trotoar hanya untuk melepas dahaga akan kafein atau sekedar nongkrong sama teman-teman mereka. Sampai pada akhir tahun 2009, para ningraters mendengar isu kalau warung Kopi kesayangannya itu akan di tutup. Ternyata keberadaan isu itu benar dan puncaknya malam tahun baru 2010, itu adalah kali terakhir Ningratri buka dan harus mengeliminasi kata-kata “buka setiap hari kecuali..” pada slogannya. Selamat Jalan, Ningratri..!!!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI