Mohon tunggu...
wiwid santoso
wiwid santoso Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang WNI

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

(Saatnya) Menghukum Media Penipu

24 Juli 2014   06:45 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:24 2481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pesta demokrasi itu telah selesai. Pemenangnyapun sudah kita ketahui (saya sengaja mengesampingkan kemungkinan, yang sangat-sangat kecil, dibatalkannya kemenangan capres cawapres terpilih oleh proses hukum sampai ke Mahkamah Konstitusi).

Kali ini saya ingin mengajak rekan-rekan Kompasianer untuk menjawab pertanyaan saya : "Mau diapakan media-media yang selama ini menyajikan data-data manipulatif plus bumbu fitnah-fitnah kejam dan tidak terbukti?".

Kita ketahui bersama bahwa keberadaan media massa (cetak, elektronik, media online) sangatlah penting apalagi di jaman seperti sekarang ini. Pertukaran informasi, interaksi di dunia maya, dll sudah menjadi kebutuhan hidup "manusia jaman sekarang". Bahkan, katanya, pers adalah salah satu pilar demokrasi (saya nggak tahu katanya siapa, hehehehe).

Dalam hajatan besar bernama Pemilihan Presiden yang barusan kita selesaikan, ada fenomena "menarik nan memuakkan" yang disajikan oleh media, beberapa diantaranya bahkan adalah media yang sangat besar, sangat kredibel dan sangat sering dijadikan rujukan dan referensi bagi kita yang haus informasi. Saya tidak perlu sebutkan, ya, pada tahu kan? Fenomena itu adalah "pelacuran demi kepentingan syahwat kekuasaan pihak tertentu".

Kita, masyarakat kecil, diombang ambing oleh informasi-informasi berbau fitnah, upaya penggiringan opini, bahkan pembohongan publik besar-besaran. Bahasa kerennya : MASIF, dan yang ini benar-benar masif, bukan kecurangan yang "masif, terstruktur, sistematis" yang dituduhkan itu, lho.

Dalam hal ini, menurut saya, kita punya 2 (dua) pilihan.

1. Membiarkan, mengacuhkan, memaafkan media-media tersebut. Toh mereka "hanya mencari uang dan tidak punya pilihan lain selain mengikuti kemauan sang empunya".

2. Menghukum media-media tersebut atas perbuatannya selama ini.

Memaafkan adalah sesuatu yang sangat mulia. Tapi, menurut hemat saya, pembiaran terhadap media-media tersebut punya kemungkinan buruk di masa yang akan datang. Selama ini, dengan melakukan pembohongan publik, berarti secara tidak langsung mereka berpikir bahwa kita bodoh dan mudah dibodohi. Betul? Jika kita membiarkan mereka, tidak menutup kemungkinan mereka akan melakukan lagi di masa yang akan datang. Apakah Anda mau diperlakukan seperti itu lagi? Bisa-bisa, karena menurut mereka pembohongan itu gagal membuahkan hasil seperti yang mereka inginkan, suatu saat nanti mereka akan melakukan pembohongan yang lebih halus lagi, yang lebih sulit kita deteksi. Bukankah banyak orang-orang pintar disana?

Kalau boleh saya usul ke teman-teman, bagaimana kalu kita membuat semacam "gerakan", boikot, petisi penolakan atau apapun menyangkut media-media tersebut. Caranya? Kita mulai dari yang sederhana. Jika media itu adalah televisi, jangan tonton atau minimal batasi semaksimal mungkin menonton stasiun televisi tersebut. Dengan begitu, rating acara-acaranya akan turun dan otomatis pengiklan akan menurun minatnya terhadap stasiun televisi tersebut. Akibat terparahnya adalah : stasiun tivi tersebut rugi, bangkrut dan tutup. Jika Anda adalah seorang pengusaha yang sering beriklan, carilah stasiun televisi lain untuk beriklan. Jika media tersebut adalah media cetak atau online, jangan baca, atau minimal batasi semaksimal mungkin membaca media-media tersebut. Sehingga, peminat akan jauh berkurang dan iklan juga malas datang. Jika Anda adalah pengiklan, hindari media tersebut.

Dengan cara tersebut, kita telah memberi efek jera pada para pelaku media dan di masa yang akan datang para pelaku media yang lain akan berpikir puluhan atau bahkan ribuan kali sebelum mereka memutuskan untuk "berusaha menipu kita".

Itulah usulan sederhana dari saya.

Bagaimana, teman-teman?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun