Lalu kamera kita pindahkan untuk menyorot peristiwa lain.Â
Ular melahap katak hidup-hidup. Hasil fotonya lalu diberi caption: Ular radikal, intoleran dan barbar. Sebab ular memangsa katak hidup-hidup tanpa rasa belas kasihan sama sekali.Â
Persoalannya, jika ular tidak melakukan itu, ular kelaparan dan mati.Â
Tindakan itu adalah rutinitas harian ular yang normal saja. Sebuah kegiatan rutin yang biasa tiba-tiba menjadi radikal, intoleran dan barbar hanya karena permainan opini.Â
Hanya karena potret mikro.
Padahal jika semuanya ditimbang secara makro, itu adalah cara alam mempertahankan ekosistem.Â
Hal yang tampak kejam secara mikro sebetulnya keserasian dan harmoni secara makro.Â
Jika siklus itu dihentikan, demi sebuah narasi: agar tak ada lagi radikalisme, maka ular mati, katak mati, dan serangga merajalela lalu menghabiskan vegetasi, yang pada akhirnya tumbuhan mati meranggas karena digerogoti serangga.
Inilah biang kerok stigma radikal, intoleran dan barbar. Yaitu ketika ada sebagian orang yang memotret sebuah peristiwa mikro yang tampak kejam, lalu diberi caption: Radikal, intoleran dan barbar.Â
Pembaca atau penonton terbius narasinya.Â
Akhirnya opini terbentuk lalu membenarkan bahwa hal itu adalah radikalisme.