Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Peneliti Perlu Mewaspadai Platform Jurnal Internasional Abal-abal

6 Desember 2018   08:12 Diperbarui: 6 Desember 2018   10:42 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Unsyiah

Secara kuantitas, tahun 2017 jumlah publikasi internasional dunia akademik Indonesia meningkat tajam bahkan melampaui Malaysia, Singapura, dan Thailand. Meskipun masih nangkring diperingkat ketiga se-ASEAN, namun hal ini membuktikan bahwa para peneliti Indonesia memang luar biasa.

Kegiatan penelitian atau riset, kini menjadi tugas sangat penting dan utama bagi para akademisi, dosen dengan berbagai level jabatan akademik wajib menulis artikel ilmiah dan mempublikasikannya sebagai jurnal internasional terindeks Scopus. 

Jika tidak, maka pemerintah melalui Kemenristek Dikti akan mencabut tunjangan jabatan, tak terkecuali guru besar atau profesor.

Menristek mengklaim peningkatan publikasi ilmiah pada tahun 2018 sebagai pencapaian spektakuler. Pertama dalam 20 tahun terakhir kita karena mengungguli Thailand dan Singapura. 

Publikasi internasional meningkat dua kali lipat per Mei 2018, sebanyak 8.269 jurnal bandingkan dengan pada 2014 hanya 4.200 jurnal. Bagi para dosen di Indonesia mampu menulis di jurnal internasional saat ini dianggap sebagai sebuah prestise akademik yang sangat hebat. 

Tak jarang dosen yang memiliki h-index Scopus lebih besar atau di jurnal internasional bereputasi lainnya sedikit berbangga diri karena suskes masuk dalam komunitas peneliti internasional. Apalagi masuk 10 besar webometric misalnya.

Jurnal bereputasi itu pastinya telah terindeks dalam mesin pencari atau database seperti DOAJ, Scopus, Thomson, Elsevier, SAGE, OXFORD, dan lain sebagainya, termasuk terindeks google scholar. Beda halnya dengan jurnal internasional abal-abal atau biasa disebut jurnal internasional predator.

Jurnal internasional predator, mereka tidak menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiahnya. Jurnal abal-abal itu ciri-cirinya gampang dikenali, misalnya, artikel jurnal kita akan sangat mudah diterima tanpa melalui proses peer review. 

Tidak adanya review yang memadai dari para mitra bestari yang kompeten, adalah ciri jurnal abal-abal. Akibatnya dimuat jurnal Internasional abal-abal, biasanya lebih cepat, bahkan bisa dalam hitungan minggu.

Jurnal internasional predator atau abal-abal juga mereka meminta uang dalam jumlah sangat besar hingga ribuan dollar Amerika (USD) dari artikel yang kita kirimkan untuk dimuat.

Biasanya bagi dosen pemula bahkan senior lecturer pun bisa terjebak dengan modus jurnal internasional predator. Sehingga biayanya habis dan jurnalnya tak kunjung dimuat.

Memang saat ini dosen di tanah air sedang semangat-semangatnya menulis jurnal internasional terindeks bukan hanya di Scopus namun juga lainnya. Target Scopus menjadi tren dosen Indonesia dalam memilih jurnal ilmiahnya. Sehingga ada istilah warung kopi yang mengatakan dosen mabuk Scopus.

Mengapa harus Scopus? Ini tentu ada kaitannya dengan kebijakan Kemenristek Dikti yang menetapkan jurnal Internasional bereputasi terindeks Scopuslah yang mendapatkan KUM lebih tinggi dalam mengurus kepangkatan dosen. Jika suatu saat Kemenristek Dikti mengubah jurnal internasional yang, maka itulah yang menjadi target bagi dosen.

Agar tulisan kita dimuat di jurnal internasional bereputasi atau terindeks Scopus memang bukanlah perkara gampang, tidak semudah yang dibayangkan meskipun semua ada jalan keluarnya. Semua membutuhkan proses waktu dan biaya yang tidak sedikit. 

Apalagi kalau gunakan jasa editor dan translete, harus konsultasi guru besar atau pembimbing, menggunakan jasa reviewer dan validator ahli, mendeseminasikan gagasan di seminar internasional dan konferensi, dan lain sebagainya.

Belum lagi menunggu direview oleh reviewer publisher jurnal internasional tersebut yang terbilang cukup lama, pengalaman saya saat ketika pertama kali diajak oleh dosen saya Dr. Shabri A. Madjid, M.Ec menulis jurnal internasional terindeks Scopus sampai naskah tersebut kami kirimkan, lalu menunggu hingga hampir satu tahun baru terbit, setelah melewati beberapa revisi hasil koreksi reviewer mereka.

Jadi memang tidak mudah. Memang ada juga dosen yang lain, mengirimkan jurnal mereka ke jurnal internasional yang katanya terindeks Scopus. Setelah kirim naskah dan mengirimkan uang dalam jumlah puluhan juta rupiah, ternyata tidak kunjung terbit hingga hampir 2 tahun. Jika kasusnya seperti ini maka itulah yang disebut termakan oleh jurnal internasional abal-abal.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun