Sore itu, Pak Maja --- tokoh tua di kampung --- hanya bisa memandang jalan utama yang mulai dipasangi spanduk acara. Wajahnya menyimpan luka yang sudah lama tak sembuh. Dulu, ia membangun jalan itu untuk warga, agar anak-anak bisa ke sekolah dengan sepatu bersih. Sekarang, jalan itu menjadi arena kerasukan setan dan joget massal.
"Bukan ini yang aku maksudkan dengan pembangunan," katanya lirih, kepada angin.
Masyarakat waras perlahan menjadi minoritas. Mereka dikucilkan dari rapat, tak diundang dalam acara, dan dianggap pembangkang. Ketika mereka melapor karena suara yang melebihi ambang batas, aparat pun hanya tertawa kecil, "Itu kan cuma seminggu sekali, Pak. Namanya juga hiburan rakyat."
Padahal suara itu bukan lagi sekadar gangguan---ia telah menjelma menjadi tirani. Tirani suara yang membungkam suara lain. Tirani kebisingan yang menumpulkan logika. Tirani budaya semu yang melanggengkan kekacauan dalam bingkai tradisi palsu.
Ironisnya, ketika masyarakat waras bersuara, mereka dicap sebagai musuh pembangunan. Dituduh anti-sosial, anti-budaya, bahkan anti-kehidupan bermasyarakat. Tak sedikit yang akhirnya memilih diam, bukan karena setuju, tapi karena tahu melawan berarti menanggung beban sosial yang menyakitkan.
Dan makin tragis ketika diam itu diartikan sebagai persetujuan. Padahal sejatinya, diam mereka adalah jeritan yang tertahan, harapan yang dipendam, dan luka yang semakin dalam.
Begitulah, desa ini berubah. Dari ladang doa menjadi ladang dentuman. Dari budaya yang mendidik, menjadi budaya yang membenamkan logika. Semuanya berlindung di balik kata-kata: lestarikan tradisi.
Padahal, siapa yang mengingatkan bahwa tradisi pun bisa berubah menjadi tirani ketika ia tak lagi memanusiakan manusia?
Dan siapa yang akan bersuara, kalau setiap suara yang waras selalu dibungkam oleh dentuman?
Di tengah malam itu pula, seorang pemuda pulang dari kota. Ia berjalan kaki menyusuri jalan desa, yang dulu diaspal dengan gotong royong, kini retak-retak dihantam truk sound system. Pemuda itu---dulu dikenal aktif di karang taruna, kini kembali dengan kepala penuh pikiran dan dada penuh kerinduan.
Tapi ia pulang tidak disambut. Rumahnya gelap, ibunya menunggu di ruang tengah dengan mata sembab. Di kejauhan, lampu warna-warni menyala terang, dan dentuman menggetarkan jendela. Malam itu adalah jadwal "hiburan rakyat".