Bagi sebagian orang, cinta sering kali dipahami secara sempit sebagai cinta romantis---hubungan antara dua insan yang saling mengikatkan diri dengan janji, emosi, dan gairah. Kita terbiasa melihat cinta digambarkan dalam film, lagu, atau novel sebagai sesuatu yang penuh bunga, kejutan, dan kata-kata manis. Padahal, cinta tidak hanya berbentuk romantis. Ada cinta keluarga yang tulus dan tanpa syarat, seperti kasih sayang orang tua kepada anaknya, atau antar saudara yang walau sering bertengkar tetap tidak bisa benar-benar meninggalkan satu sama lain. Ada juga cinta dalam persahabatan, yakni kedekatan dan rasa saling peduli yang muncul tanpa ikatan darah. Bahkan lebih luas lagi, ada cinta pada pekerjaan, pada tanah air, pada alam, bahkan cinta terhadap diri sendiri. Semua bentuk cinta itu sebenarnya punya benang merah yang sama: adanya rasa kepedulian, perhatian, dan kesediaan untuk berkorban.
Namun, yang sering kali membuat cinta kehilangan makna adalah ketika ia berhenti pada kata-kata. Banyak orang dengan mudah mengucapkan "aku cinta kamu" atau "aku sayang sama kamu," tetapi tidak pernah benar-benar membuktikannya. Kata-kata yang seharusnya sakral berubah menjadi alat manipulasi, atau bahkan sekadar kebiasaan basa-basi. Seseorang bisa saja bilang mencintai pasangannya, tapi masih juga menikmati perhatian dari orang lain di belakangnya. Ada pula yang berkata menyayangi sahabatnya, tetapi ketika masalah datang, justru sahabat itulah yang dikorbankan demi menyelamatkan diri sendiri.
Fenomena ini tidak jarang kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ada teman yang selalu mengatakan dirinya adalah teman yang baik, namun pada kenyataannya dialah orang pertama yang menumbalkan sahabatnya demi kepentingan pribadi. Ada juga pasangan yang berulang kali berkata "aku sayang sama kamu," tetapi diam-diam menjalin hubungan dengan orang lain, atau menjadikan pasangannya hanya sebagai pelampiasan emosional. Sekilas, perilaku semacam ini tampak lucu atau ironis, tapi jika direnungkan lebih dalam, inilah wajah asli manusia: bisa tampil seolah malaikat yang penuh kebaikan, namun menyimpan hati busuk yang tak kalah busuk dari bangkai.
Cinta yang hanya berhenti pada kata-kata sebenarnya hanyalah bentuk lain dari egoisme. Mengapa demikian? Karena kata-kata tanpa tindakan hanya digunakan untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain: perhatian, rasa aman, bahkan keuntungan. Cinta palsu ini mirip topeng yang dipakai untuk menutupi wajah asli seseorang. Kita bisa menipu orang lain dengan kata-kata indah, tapi mustahil menutupi kelakuan dalam jangka panjang. Cepat atau lambat, kebenaran akan terungkap melalui konsistensi sikap. Di sinilah kita belajar bahwa cinta sejati seharusnya terwujud lewat tindakan, bukan sekadar kata. Orang tua yang benar-benar mencintai anaknya tidak perlu setiap hari mengatakan "aku sayang kamu," karena kasih sayang itu nyata melalui kerja keras, pengorbanan, dan perlindungan yang diberikan. Sahabat yang benar-benar tulus tidak perlu banyak berjanji, sebab kesetiaannya diuji justru saat masalah datang, bukan ketika keadaan baik-baik saja. Begitu juga pasangan, cinta mereka bukan hanya soal kata manis atau hadiah romantis, tetapi juga soal bagaimana mereka tetap ada ketika yang lain pergi, tetap bertahan ketika masalah menghantam, dan tetap jujur meski ada godaan untuk berbohong.
Sayangnya, dunia modern justru semakin mendorong orang untuk berfokus pada citra luar. Media sosial, misalnya, membuat orang lebih sibuk menunjukkan cintanya lewat unggahan---foto berdua, caption panjang, atau status manis---daripada benar-benar membangun hubungan yang sehat di balik layar. Tidak salah memang mengekspresikan cinta di ruang publik, tetapi menjadi masalah ketika semua hanya berhenti di sana. Hubungan yang tampak mesra di media sosial bisa saja hancur di dunia nyata, karena ternyata penuh kebohongan dan perselingkuhan. Selain itu, banyak orang juga menyamakan cinta dengan kepemilikan. "Kalau kamu cinta aku, kamu harus nurut sama aku." Padahal, cinta bukanlah tentang mengikat atau mengendalikan, melainkan tentang memberi kebebasan dan tetap bertahan untuk saling mendukung. Ketika cinta dipaksakan menjadi kepemilikan, yang lahir bukanlah kasih sayang, melainkan ketergantungan yang beracun. Orang yang seperti ini lebih mencintai dirinya sendiri daripada orang yang dia klaim cintai. Ia hanya takut kehilangan, bukan benar-benar ingin membahagiakan.
Cinta sejati, apa pun bentuknya, selalu diuji dalam kondisi sulit. Misalnya, cinta keluarga diuji ketika ada masalah ekonomi atau konflik internal. Apakah orang tua tetap mendukung anaknya meski si anak gagal? Apakah saudara tetap saling menolong meski ada rasa iri dan perselisihan? Begitu pula dengan cinta persahabatan: apakah sahabat tetap ada ketika kita jatuh, atau justru menjauh karena merasa malu berhubungan dengan kita? Dalam hubungan romantis, ujian datang dalam bentuk kesetiaan, komunikasi, dan kemampuan menghadapi konflik. Dari sinilah kita bisa membedakan mana cinta yang hanya ada di bibir, dan mana cinta yang benar-benar ada di hati. Sering kali, orang yang benar-benar mencintai tidak banyak bicara. Mereka lebih memilih menunjukkan rasa sayangnya lewat hal-hal kecil: mendengarkan saat kita bercerita, hadir ketika kita membutuhkan, atau sekadar mengingat detail kecil tentang diri kita. Cinta seperti ini tidak selalu spektakuler, tetapi justru bertahan lama karena berakar pada kejujuran dan kepedulian tulus. Sebaliknya, cinta yang terlalu banyak kata manis tanpa bukti sering kali rapuh. Ia cepat hancur ketika diuji, sebab sejak awal memang tidak memiliki fondasi yang kuat.
Maka, penting bagi kita untuk belajar membedakan cinta sejati dari cinta palsu. Jangan mudah terbuai oleh kata-kata manis, karena kata bisa dibuat siapa saja. Perhatikan sikap dan konsistensi, karena dari situlah terlihat keaslian hati seseorang. Jika seseorang benar-benar mencintai kita, ia tidak akan tega menyakiti, mengkhianati, atau menjadikan kita pelampiasan. Ia akan berusaha menjaga, walau tidak selalu sempurna, karena cinta manusia memang tidak pernah benar-benar sempurna. Namun, setidaknya cinta yang tulus selalu berusaha memperbaiki, bukan menghancurkan.
Pada akhirnya, cinta adalah soal integritas. Apakah ucapan kita sejalan dengan tindakan kita? Apakah kita berani jujur pada diri sendiri dan orang lain tentang apa yang kita rasakan? Apakah kita mampu menjaga orang yang kita sayangi, bahkan ketika ada godaan untuk berpaling? Semua itu menjadi tolok ukur, bukan seberapa sering kita berkata "aku cinta kamu." Karena itulah, jika kita benar-benar mencintai, buktikanlah. Tidak perlu dengan hal besar atau berlebihan, cukup dengan sikap konsisten yang mencerminkan rasa peduli. Jangan sampai cinta yang kita berikan hanya jadi kata-kata kosong, karena kata tanpa tindakan hanyalah kebohongan. Cinta sejati tidak butuh banyak janji, cukup satu: aku akan tetap ada, apa pun yang terjadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI