Mohon tunggu...
Calvine Bobo
Calvine Bobo Mohon Tunggu... Ilmuwan - Saya adalah seorang pemerhati masalah sosial, politik, budaya dan pendidikan

Saya adalah seorang pemerhati masalah sosial, politik, budaya dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keadilan Hukum yang (Telah) Tergadaikan di Sumba Barat

11 Februari 2017   22:35 Diperbarui: 12 Februari 2017   00:27 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebuah catatan kritis atas proses peradilan di Pengadilan Negeri Tipikor Kelas 1A Kupang, NTT

Konspirasi itu baru saja dipertontonkan di Pengadilan Negeri Tipikor Kelas 1A, Kupang, NTT yang mengadili  dua terdakwa kasus dugaan korupsi program pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana Puskesmas/Pustu Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun Anggaran 2014 yakni, saudara OKM selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan saudari EK selaku Pejabat Pengguna Anggaran, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat Daya, pada hari Selasa lalu (7/2/2017). Kejadian itu tentu saja merupakan pukulan terberat bagi para terdakwa selaku Pegawai Negeri Sipil yang terpaksa harus meringkuk dalam tahanan dan mendapatkan hukuman atas apa yang mereka sendiri tidak pernah lakukan.

Berdasarkan pengamatan dan analisis penulis atas seluruh rekaman persidangan bahwa  kesalahan-kesalahannya yang dituduhkan kepada para terdakwa, tidak satupun yang dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) selama proses persidangan. Dari semua kesaksian dari para saksi fakta yang dihadirkan oleh JPU, sama sekali tidak ditemukan adanya kesalahan prosedur ataupun tindakan yang merugikan negara yang dilakukan oleh para terdakwa.

Namun sangat ironis bahwa di penghujung proses peradilan, pihak JPU tanpa dasar dan fakta yang cukup meyakinkan dan yang bisa dibuktikan selama persidangan menuntut para terdakwa 4,6 tahun penjara dan denda 50 juta dengan subsider tiga bulan penjara.

Yang makin menyakitkan para terdakwa adalah ketika para Hakim yang mulia yang seharusnya menjaga marwah profesi dan etik kehakiman dan memberikan rasa keadilan yang seadil-adilnya, namun tetap menjatuhkan hukuman kepada para terdakwa tanpa peduli akan fakta-fakta persidangan yang mereka sendiri dengarkan dan saksikan selama persidangan.

Bila kejadiannya demikian, lalu pertanyaannya yaitu ke manakah para terdakwa mencari keadilan?? Masih adakah keadilan bagi para aparat sipil negara di negeri ini? Haruskah para aparat sipil negara yang nota bene lemah dari segi ekonomi dan kekuasaan ini dikorbankan oleh sebuah konspirasi yang tidak berpihak kepada mereka?

Tentu hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi Komisi Kehakiman Republik Indonesia, Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk melindungi hak-hak para terdakwa yang telah tergadaikan oleh sebuah konspirasi jahat yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum di Republik ini, terutama di daerah-daerah terpencil seperti di Nusa Tenggara Timur, khususnya di Sumba Barat ini.

Beberapa fakta yang telah diungkapkan pada tulisan sebelumnya yang mungkin perlu menjadi pengetahuan kita semua sehingga tulisan ini memiliki dasar yang kuat dalam memahami dugaan konspirasi pengadilan yang terjadi di Pengadilan Negeri Tipikor Kelas 1A, Kupang, NTT ini, sebagai berikut;

  1. Berdasarkan data bahwaProgram/ kegiatan Pengadaan alat kesehatan puskesmas, pustu, polindes, dan poskesdes dan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan di Kabupaten Sumba Barat Daya telah diaudit olehBadan Pemeriksa keuangan (BPK). Bahwa   berdasarkan UU No. 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara dan UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK serta undang-undang terkait, BPK telah memeriksa Neraca Pemerintah SBD per 31 Desember 2014, serta telah menerbitkan  Laporan hasil pemeriksaan  Keuangan atas laporan keuangan Pemerintah Kabupaten SBD tahun 2014 yang memuat opini wajar dengan pengecualiandengan nomor 13.b/ LHP/ XIX.KUP/ 5/ 2015  tanggal 25 Mei 2015, hanya diperoleh temuan dalam pengadaan obat dengan sistem e-catalog, dengan rekomendasi BPK  kepada Bupati SBD agar : (1) Memerintahkan PPK Dinas Kesehatan supaya berkoordinasi kembali dengan rekanan obat e-catalog untuk melakukan kontrak pengadaan obat; (2) Memberikan sanksi dan memerintahkan kepala seksi sediaan farmasi dan obat tradisional untuk menertibkan obat kadaluarsa dan mengusulkan proses pemusnahan dan  penghapusan; (3) Memerintahkan Kepala Dinas Kesehatan meningkatkan pengendalian dan pengawasan penatausahaan persediaan obat; Dengan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa apa yang dituntut oleh JPU terhadap para terdakwa, sudah tidak lagi memiliki landasan hukum dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan.
  2. Dalam melakukan Audit terhadap kasus yang dipersangkakan kepada para terdakwa, JPU hanya menggunakan Auditor dari sebuah Politeknik Negeri Kupang, yang sama sekali tidak memiliki kompetensi dan legalitas sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tentu saja hal ini telah melanggar ketentuan terkait dengan Audit investigative terhadap dugaan kerugian negara.
  3. Keanehan yang dilakukan oleh pihak JPU dalam kasus ini, yaitu menggunakan data Invoice dalam menghitung kerugian negara. ANEH BIN AJAIB. Karena invoice bukanlah bukti sah untuk menghitung kerugian negara. Apalagi sesuai Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, pada Pasal 55 menyatakan bahwa tanda bukti perjanjian terkait dengan proyek, terdiri atas bukti pembelian, kwitansi, Surat Perintah Kerja (SPK) dan Surat Perjanjian. Hal yang dilakukan oleh JPU tentu saja telah meyakinkan kita semua bahwa hal itu bertentangan dengan perpres tersebut.
  4. Keanehan berikutnya yaitu pihak JPU dan Auditor dari Politeknik tersebut, berdasarkan kesaksian para saksi yang dihadirkan JPU dalam persidangan, dan juga diakui oleh Auditor dari Politeknik dimaksud saat bersaksi di Pengadilan, bahwa pihak JPU dan Auditor tidak pernah melakukan audit langsung (audit investigative) ke lapangan untuk mengecek keberadaan dan kelengkapan barang-barang yang dibeli oleh para tersangka. Sungguh Aneh, menghitung kerugian negara tapi tidak pernah melakukan pengecekan fisik. Yang dilakukan oleh auditor dari JPU yaitu hanya terbatas pada menghitung data pembelian dari invoice yang diambil dari para kontraktor. Pada kenyataannya invoice yang disita dari para kontraktor tidak lengkap Karena masih ada di tangan para kontraktor. Dalam persidangan seluruh data invoice dapat diklarifikasi oleh para kontraktor dan dinyatakan lengkap. Lalu kerugian negaranya terletak di mana???   
  5. Sementara itu pada kesaksian dari para saksi fakta mulai dari para kepala Puskesmas, tim panitia PHO, Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) dan kontraktor diakui secara sah dan meyakinkan bahwa semua barang (Alkes dan obat-obatan) dinyatakan lengkap dan sesuai dengan kontrak baik dari aspek jumlah, spek dan berfungsi dengan baik. Singkat kata bahwa semua saksi menyatakan dalam persidangan bahwa seluruh barang lengkap dan sudah diterima 100 persen. Lalu darimana pihak JPU dan para hakim yang mulia menyimpulkan bahwa telah terjadi kerugian negara dalam proses pengadaan dimaksud. Sungguh aneh dengan pengadilan ini??? Apakah antara JPU dan para hakim yang mengadili para tersangka telah terjadi konspirasi sistematis untuk menjebloskan para terdakwa ke dalam penjara?? Ataukah ada konspirasi lain yang telah dirancang bersama antara JPU, Hakim dan oknum lain untuk menjerat para tersangka walaupun mereka tidak terbukti sama sekali melakukan tindakan korupsi?

Melihat keanehan-keanehan yang terjadi sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka sebagai warga negara yang peduli akan keadilan dan supremasi hukum kepada siapapun, maka sudah saatnya para penegak disiplin di Lembaga Kejaksaan dan Kehakiman dan juga Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia segera turun tangan dalam kasus ini.

Harapan kita yaitu pengadilan wajib menghukum pihak-pihak yang jelas-jelas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, akan tetapi pengadilan juga harus dengan tegas membebaskan para tersangka kalau memang tidak ditemukan cukup bukti bahwa mereka melakukan tindakan pidana korupsi.

Kita masih berharap agar hukum di negeri ini masih bisa tegak bagi para terdakwa dan  kaum lemah dan tidak tunduk pada kekuatan konspirasi oleh oknum-oknum tertentu yang memiliki konspirasi sistematis untuk menjegal orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun