Di Jakarta, rumah dengan NJOP di bawah Rp2 miliar dibebaskan dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Di Pati, Jawa Tengah, warga justru dihadapkan pada kenyataan baru, lonjakan PBB hingga 250%. Ketika satu daerah bisa memanjakan warganya, daerah lain harus memeras potensi fiskal warganya demi menutup kebutuhan infrastruktur dasar. Ini bukan hanya soal beda kebijakan, melainkan sinyal dini dari ketimpangan fiskal yang berakar pada struktur pendanaan pembangunan daerah di Indonesia.Simptom dari Struktur Fiskal Lokal
Bupati Pati secara resmi menetapkan kenaikan tarif PBB-P2 hingga 250% melalui Peraturan Bupati Nomor 17 Tahun 2025. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh stagnasi pendapatan PBB yang tak berubah selama 14 tahun dan kebutuhan percepatan pembangunan infrastruktur seperti jalan, RSUD, dan sektor perikanan--pertanian.
Pendapatan PBB Kabupaten Pati sebelumnya hanya sekitar Rp29 miliar, jauh di bawah Jepara (Rp75 miliar), Rembang (Rp50 miliar), dan Kudus (Rp50 miliar), meski secara luas wilayah Pati lebih besar. Maka, penyesuaian NJOP dilakukan dengan mempertimbangkan nilai pasar, klasterisasi pemanfaatan lahan, dan peruntukan wilayah, seperti tertuang dalam Perbup. Simulasi sederhana menunjukkan lonjakan signifikan. Misalnya, seorang warga yang sebelumnya hanya membayar Rp10.000 per tahun, kini harus membayar sekitar Rp35.000. Naiknya beban fiskal ini tentu menjadi tekanan langsung bagi rumah tangga di Pati.
Menyelami Struktur di Balik Gejala
Gejala seperti kenaikan PBB tidak dilihat sebagai kebijakan teknis semata, tetapi sebagai akibat dari struktur realitas fiskal yang dalam. Secara empiris, warga merasakan langsung dampak kenaikan PBB dalam bentuk beban tambahan di tengah ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Di sisi lain, pemerintah daerah menghadapi tekanan anggaran yang tidak seimbang dengan kewajiban pembangunan, sementara transfer pusat tidak sepenuhnya adaptif terhadap kebutuhan lokal. Sistem fiskal kita by design mendorong daerah untuk "mandiri" dengan menggali berbagai sumber lokal seperti PBB, padahal nilai properti antarwilayah sangat timpang. Di sinilah letak akar masalahnya. Ketika kapasitas fiskal daerah sangat tergantung pada NJOP, maka nilai tanah menjadi penentu utama kualitas layanan publik---bukan lagi kebutuhan riil masyarakat atau prinsip keadilan.
Jurang Fiskal dan Ilusi Otonomi
Ironi fiskal muncul ketika otonomi daerah tidak dibarengi dengan mekanisme equalization atau penyeimbangan fiskal yang memadai. Daerah dengan nilai properti tinggi bisa memungut pajak lebih besar dengan tarif rendah, bahkan memberi pembebasan pajak. Sebaliknya, daerah dengan nilai properti rendah harus menetapkan tarif tinggi hanya untuk mencapai pendapatan minimal.
Muncullah ilusi otonomi--daerah dianggap berdaya, padahal sistem yang menopangnya timpang. Ketimpangan ini akan berdampak bukan hanya pada beban warga, tetapi juga pada kualitas layanan dasar---seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Sistem seperti ini berpotensi mereproduksi ketimpangan antardaerah. Anak-anak di daerah dengan nilai properti rendah bisa jadi mengakses sekolah dan layanan publik yang jauh tertinggal dibanding daerah dengan basis pajak yang kuat. Kondisi ini menengarai munculnya benih ketimpangan berbagai aspek di masa mendatang.
Koreksi Fiskal yang Berkeadilan
Desentralisasi fiskal bukan berarti menyerahkan tanggung jawab tanpa solidaritas. Pemerintah pusat perlu merancang mekanisme korektif vertikal--- atau skema khusus untuk daerah dengan kapasitas fiskal rendah---agar daerah tidak terpaksa membebani warganya secara tidak proporsional. Selain itu, pembaruan sistem NJOP yang lebih adil dan akurat juga penting, termasuk pemetaan digital berbasis GIS dan pemutakhiran basis data pajak secara transparan. Pajak properti tetaplah alat penting untuk membiayai layanan publik, tetapi harus ditempatkan dalam kerangka keadilan sosial dan kesetaraan antardaerah.
Desentralisasi fiskal yang adil menuntut kehadiran pemerintah pusat sebagai penyeimbang ketimpangan struktural, bukan sekadar pemberi otonomi. Koreksi fiskal harus didesain berbasis indikator tax effort, kapasitas pemungutan riil, dan nilai properti antarwilayah yang timpang, bukan dengan pendekatan seragam. Mekanisme transfer intergovernmental perlu direformulasi agar memuat komponen insentif atas kebutuhan belanja dan kapasitas fiskal yang terukur secara objektif. Di sisi lain, pembaruan sistem NJOP---dengan pemetaan digital, partisipasi warga, dan transparansi penilaian---merupakan prasyarat untuk menilai kemampuan riil warga untuk membayar pajak. Tanpa koreksi seperti ini, daerah dengan nilai properti rendah akan terus memungut tarif tinggi demi menutup kekurangan struktural yang bukan salah mereka, sementara daerah kaya dapat memberi insentif atau pembebasan pajak. Pajak properti tetap penting sebagai sumber pembiayaan layanan publik, tetapi hanya dapat dijustifikasi secara etis jika ditempatkan dalam kerangka keadilan fiskal dan solidaritas antardaerah.
Epilog
PBB memang menambah pendapatan daerah, tetapi bukan solusi struktural atas ketimpangan fiskal. Masalah sesungguhnya bukan terletak pada pungutan pajaknya, melainkan pada absennya kejelasan pembagian peran antara pusat dan daerah dalam penyediaan layanan dasar. Di sisi lain, dana pemerataan dari pusat ke daerah sering kali diminta untuk melayani terlalu banyak tujuan tanpa memperhatikan keterbatasan kapasitas fiskal lokal. Fenomena hubungan Pusat-Daerah ini menciptakan fenomena zebra in the room--Kuda putih dengan strip hitam, atau keledai hitam belang-belang putih. Kenaikan PBB di Pati bukan sekadar keputusan teknokratis, melainkan cermin dari sistem fiskal yang membiarkan disparitas nilai properti menjadi penentu masa depan warga. Jika tidak segera dikoreksi, Indonesia bukan hanya sedang mewarisi ketimpangan, tetapi juga menanam benih krisis kepercayaan fiskal di tingkat akar rumput. Ketika NJOP menjadi titik awal perhitungan akses terhadap layanan publik, maka keadilan ikut terkunci. Warga membayar lebih bukan karena mereka lebih mampu, melainkan karena sistem mengharuskan mereka menambal kekurangan yang bukan kesalahan mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI