Mohon tunggu...
ruslan effendi
ruslan effendi Mohon Tunggu... Pengamat APBN dan Korporasi.

Lulusan S3 Akuntansi. Penulis pada International Journal of Public Administration, Frontiers in Built Environment, IntechOpen, Cogent Social Sciences, dan Penulis Buku Pandangan Seorang Akuntan: Penganganggaran Pendidikan Publik Untuk Kualitas Dan Keadilan (Pengantar Prof. Indra Bastian, MBA., Ph.D.)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ingkar Janji Ekonomi Hijau

13 April 2025   06:54 Diperbarui: 13 April 2025   06:54 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
digital-screen-with-environment-day (Ilustrasi)/Image by freepik

Istilah ekonomi hijau telah menjadi mantra baru dalam berbagai forum internasional, mulai dari sidang-sidang PBB, pidato pemimpin negara, hingga laporan tahunan korporasi multinasional. Ia hadir seolah sebagai jalan tengah antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan ekologis, menjanjikan dunia yang makmur tanpa merusak planet. Namun, di balik kemasan retorisnya yang progresif dan sarat optimisme teknologi, ekonomi hijau sering kali gagal menepati janji-janji transformatifnya. Alih-alih menghentikan laju krisis iklim, ia justru mereproduksi struktur ketimpangan lama dengan wajah baru yang "ramah lingkungan."

Janji besar ekonomi hijau adalah menciptakan sistem produksi dan konsumsi yang rendah karbon, hemat sumber daya, dan inklusif secara sosial. Namun, realitasnya menunjukkan arah yang berbeda. Transisi energi, misalnya, justru memunculkan bentuk baru extractivism, di mana pertambangan mineral strategis seperti litium, nikel, dan kobalt meningkat tajam untuk memenuhi permintaan kendaraan listrik dan panel surya. Tanpa reformasi institusional yang menyeluruh, transisi ini hanya mengganti satu bentuk kerusakan ekologis dengan yang lain---dari hutan tropis yang ditebang demi tambang hijau, hingga masyarakat adat yang digusur atas nama energi bersih. Kegagalan menepati janji juga terlihat dari cara ekonomi hijau dipraktikkan dalam skema pasar karbon dan green finance.

Alih-alih mengurangi emisi secara nyata, pasar karbon sering kali menjadi ruang spekulasi yang memungkinkan negara dan perusahaan besar membeli hak untuk mencemari lebih banyak, sambil mengklaim telah "net-zero." Di tingkat global, negara-negara maju yang dulu menjadi pengemisi utama justru cenderung memindahkan beban transisi kepada negara berkembang lewat standar hijau yang tidak selalu kompatibel dengan kebutuhan domestik. Sementara itu, di negara-negara Selatan seperti Indonesia, ekonomi hijau sering dikemas dalam retorika populis yang menekankan proyek hijau berskala besar, tetapi minim akuntabilitas sosial dan keadilan ekologis.

Problem utamanya bukan pada teknologi atau ide tentang hijau itu sendiri, melainkan pada siapa yang mengontrol narasi, institusi, dan distribusi manfaat dalam transisi ini. Ekonomi hijau yang digerakkan oleh logika pasar tanpa koreksi struktural cenderung menjadi arena bagi akumulasi kekayaan baru oleh aktor lama: korporasi besar, elite politik, dan institusi keuangan global. Janji ekonomi hijau untuk menghadirkan keadilan antargenerasi dan antarwilayah tak ubahnya slogan kosong jika tidak dibarengi dengan redistribusi kekuasaan, perlindungan atas hak masyarakat lokal, dan desentralisasi pengambilan keputusan ekologis.

Pada akhirnya, ekonomi hijau adalah proyek politik sebelum ia menjadi proyek teknis. Jika narasi hijau hanya menjadi cara baru untuk melegitimasi status quo yang eksploitatif, maka kita tidak sedang menyelamatkan bumi, melainkan memperindah proses kehancurannya. Dalam dunia yang semakin panas---secara harfiah dan metaforis---pertanyaan yang layak diajukan bukanlah "seberapa hijau ekonomi kita?", melainkan "siapa yang berkuasa atas kehijauan itu, dan siapa yang menanggung biayanya?"

Ekonomi hijau menjanjikan masa depan berkelanjutan, tapi siapa yang benar-benar diuntungkan? Transisi hijau bisa jadi wajah baru ketimpangan lama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun