Mohon tunggu...
Cak Idur
Cak Idur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Hobi membaca dan menulis. Tertarik dengan ICT, pertahanan, teknik, dan sosio-ekonomi.. Ngeblog juga di www.cakidur.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Syahwat Korupsi

2 April 2014   01:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:12 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Korupsi tidak ada habis-habisnya di bumi Indonesia. Tidak mengenal kasta dan susila. Dari presiden republik indonesia soeharto (meski belum pernah diputuskan di pengadilan) hingga presiden partai politik. Dari golongan nasionalis sekuler hingga kaum yang mengklaim dirinya islamis religius. Korupsi adalah bahaya laten bangsa indonesia. Musuh terbesar yang ada di dalam diri sendiri, bukan musuh yang berasal dari luar seperi komunisme maupun kapitalisme. Melawan korupsi berarti melawan diri sendiri, berjihad menundukkan nafsu yang berasal dari dalam tubuh itu sendiri. Korupsi termasuk di dalam jargon paling populer di era reformasi, korupsi-kolusi-nepotisme. Jargon yang yang mengakhiri hegemoni Orde Baru Soeharto sebagaimana jargon tritura yang meruntuhkan hegemoni Orde Lama Soekarno.
Ada satu kisah yang seharusnya bisa menjadi hikmah bagi koruptor-koruptor tengik sekaligus pelajaran bagi kita semua dari imam Ahmad bin Hanbal (164H-241H). Beliau adalah salah satu ulama terkemuka yang mendekam selama 2 tahun 4 bulan di penjara akibat keteguhan prinsipnya. Suatu hari, sang imam bertemu dengan seorang wanita sederhana yang dikira hendak meminta sedekah. Ternyata wanita tersebut mengadukan sebuah perkara kepada imam ahmad.

“Tuan, saya adalah ibu rumah tangga yang ditinggal mati suami. Setiap hari saya bekerja siang hingga malam. Siang hari saya bekerja mengurus rumah tangga sedangkan malam hari saya merajut benang untuk dijual sebagai penghasilan kami. Namun saya tidak memiliki uang untuk membeli lampu sehingga saya biasa mengerjakannya di bawah cahaya bulan.” ujar wanita itu.
Sambil menarik napas, wanita tersebut melanjutkan perkataannya, “Hingga suatu ketika kafilah milik pemerintah berkemah di depan rumah saya. Lampu-lampunya terang benderang karena jumlahnya banyak. Saya pun segera memanfaatkan cahayanya untuk merajut. Akan tetapi, setelah pekerjaan saya selesai, saya bimbang apakah rajutan itu jika dijual hasilnya halal dimakan oleh saya dan anak-anak saya? Sebab saya menggunakan lampu yang minyaknya dibeli dari uang negara yang tentu saja adalah uang rakyat juga”.
Imam Ahmad terkesima dengan kekhawatiran wanita tersebut yang galau dirinya telah mencuri uang rakyat. Padahal orang tamak pasti tidak akan mempermasalahkan perkara yang tampaknya sepele seperti ini.
Imam Ahmad bertanya, ” Siapakah anda sebenarnya?”
“Saya adalah adik perempuan Basyar Al-Hafi.” jawabnya.
Imam Ahmad terperanjat mendengarnya. Ternyata sosok wanita yang berada di hadapannya adalah adik dari seorang gubernur yang adil dan dimuliakan semasa hidupanya. Imam Ahmad terharu melihat keluarga gubernur dalam kondisi yang sederhana. Beliau tahu sendiri bahwa keluarga gubernur sangat menjaga diri dari perkara korupsi sebagaimana abang wanita ini mengharamkan dirinya memakan uang rakyat.
Demi menjaga kemuliaan wanita tersebut, Imam Ahmad berkata, ” Ketika semua orang berlomba-lomba memanfaatkan peluang untuk menghabiskan dan menggerogoti uang rakyat melalui jabatan yang diamanahkan kepadanya, ternyata masih ada wanita semulia dirimu yang khawatir terciprat hak milik rakyat dan mempertanyakan kehalallannya. Sungguh, sehelai rambutmu lebih mulia daripada berlapis-lapis sorban yang kupakai dan berlembar-lembar jubah yang dipakai para ulama. Demi Allah, untuk wanita semulia engkaum ada baiknya menghindari rajutan yang kau ragukan kehalalannya meskipun apa yang kau lakukan pada dasarnya diperbolehkan karena tidak merugikan perbendaharaan rakyat.”
Kisah dari Imam Ahmad di atas mengingatkan kita kepada kondisi Bung Hatta pada masa pensiunnya. Gubernur Jakarta pada awal Orde Baru, mantan komandan korps marinir, Ali Sadikin, terenyuh melihat kondisi Bung Hatta yang begitu sederhana. Sehingga Ali Sedikin memutuskan pengangkatan Bung Hatta menjadi warga kehormatan DKI Jakarta supaya Bung Hatta tidak perlu lagi membayar listrik per bulannya. Ketika Bung Hatta telah meninggal dunia, anak-anak Bung Hatta sedih menemukan guntingan keliping iklan sepatu merk Bally di sela-sela buku harian Bung Hatta. Mereka baru tahu bahwa bapaknya ternyata sudah lama ingin memiliki sepatu tersebut bahkan dari masa menjabat wakil presiden republik indonesia hingga wafat, keinginan tersebut tidak pernah terwujud. Sangat kontras dengan kondisi dengan pejabat-pejabat sekarang? Mudah-mudahan tidak semuanya.
Rujukan:
1. Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat, Sri-Edi Swasono, Yayasan Hatta, 2002.
2. Hidayah edisi 140 April 2013.
3. http://alhammasiyy.wordpress.com/laman-sejarah-imam/imam-ahmad-bin-hanbal-164h-241h/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun