Ironisnya, pemberian tunjangan jumbo bagi anggota DPR tersebut, dilakukan ketika kebijakan efisiensi anggaran di pemerintahan Presiden Prabowo masih berjalan dan berlanjut. Kebijakan ini diatur oleh Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam APBN dan APBD.
Adapun target efisiensi anggaran tersebut mencapai Rp306,69 triliun. Yang berasal dari anggaran belanja kementerian/lembaga sebesar Rp256,1 triliun, dan dari transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp50,59 triliun.
Dalih penghematan ini, adalah untuk menambal biaya pelaksanaan program-program prioritas pemerintah, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG).
Kebijakan pemangkasan dana TKD, kemudian memicu 'kepanikan' di kalangan pemerintah daerah. Yang pada akhirnya mendorong eksekutif daerah memaksimalkan sumber PAD, yang celakanya di sebagian daerah diputuskan secara 'ugal-ugalan'.
Seperti yang terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Sebagai gambaran, proporsi TKD terhadap pendapatan Kabupaten Pati, Â rata-rata mencapai 82% dalam empat tahun terakhir. Meski porsinya turun menjadi 76% pada 2025, TKD masih menjadi sumber utama pendapatan Pati, dengan nilai Rp2,2 triliun.
Dengan adanya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 29 Tahun 2025, anggaran TKD untuk Pati terpangkas Rp59,2 miliar.
Bupati Pati Sudewo pun akhirnya mengambil jalan pintas untuk menggenjot PAD guna menggantikan dana TKD yang disunat, dengan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dengan besaran maksimal 250%.
Kebijakan ini sontak memicu gelombang aksi unjuk rasa besar-besaran oleh masyarakat Pati.
Kebijakan pengetatan anggaran, termasuk anggaran TKD, terus dilanjutkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dimana dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, dana TKD dipangkas 24,8% menjadi Rp650 triliun.
Namiun Bendahara Negara berdalih, dana TKD yang dipangkas, akan digantikan oleh dana untuk kementerian/lembaga yang akan difokuskan untuk masyarakat di daerah.