L'Histoire se Repete. Sejarah mengulang dirinya sendiri.
Televisi, sebuah penemuan John Logie Baird dan Philo Farnsworth yang terinspirasi dari pemanfaatan teknologi yang lebih dahulu dilakukan oleh Albert Einstein, Thomas Alva Edison, Alexander Graham Bell, hingga Gugliermo Marconi, pada akhirnya juga harus mengakhiri era kejayaannya karena perkembangan teknologi.
Aku ingin muncul di TV
Buat acara sendiri
Bukan gossipnya selebriti
Harus yang lebih berisi
Itu adalah penggalan lirik lagu dari grup band Naif---yang kini telah bubar---dengan judul Televisi. Lagu yang dirilis tahun 2007 dalam album Televisi itu, seolah menggambarkan era kejayaan siaran televisi sebagai sarana hiburan di Tanah Air.
Hari ini, 24 Agustus 2025, diperingati sebagai Hari Televisi Nasional.
FYI, peringatan ini mengacu pada hari lahir Televisi Republik Indonesia, tepatnya pada 24 Agustus 1962 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 20/SK/VII/61. Adapun siaran perdana TVRI kala itu telah mengudara sebelum hari lahirnya, yakni siaran peringatan HUT ke-17 Republik Indonesia pada 17 Agustus 1962 di Istana Merdeka.
Kehadiran TVRI yang awalnya merupakan media untuk penyiaran event olah raga multicabang Asian Games 1962, kemudian terus berkembang mengisi ruang hiburan masyarakat di Tanah Air.
Perkembangan hiburan oleh media penyiaran yang dimiliki pemerintah itu pun akhirnya tiba pada titik awal kehadiran stasiun televisi pertama di Indonesia, yakni Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) pada 24 Agustus 1989. Sejak saat itu, jagad hiburan dan dan pemberitaan melalui layar kaca kian berwarna, dengan kehadiran sejumlah stasiun penyiaran swasta skala nasional. Â
Tahun berganti tahun, masa berlalu, siaran televisi oleh stasiun TVRI dan televisi swasta mengisi dan mewarnai industri penyiaran di Indonesia. Hingga akhirnya titik awal meredupnya pamor siaran televisi itu pun tiba, sejalan dengan kian masifnya penggunaan teknologi untuk memperoleh hiburan dan pemberitaan di luar televisi melalui kanal pemutar video di internet.
Pada 2020, virus Covid-19 menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Pada saat itu, budaya mengkonsumsi siaran televisi melalui kanal digital di gawai sudah berkembang dengan (nyaris) sempurna. Dua hal ini pun pada akhirnya menjadi era "senja kala" bagi siaran televisi.
Dunia media televisi ikut terdampak aktivitas online, akibat pembatasan sosial skala besar yang diberlakukan pemerintah. Perlahan-lahan para penyantap informasi dan hiburan dari media massa lambat laun beralih lebih banyak menghabiskan waktu untuk berburu informasi dari media daring. Terutama Generasi Y dan Generasi Z.
Mereka lebih suka menyaksikan dan mendapatkan informasi melalui media sosial, seperti Twitter, Instagram. Termasuk saluran YouTube sejak masa pandemi lebih digemari dibandingkan TV konvensional.
Dampaknya, dunia pertelevisian---termasuk dunia pemberitaan melalui media televisi--mulai kehilangan pamor. Karena audiens setianya kian 'going digital' sejak masa pandemi. Â
Satu yang membuat berita yang disajikan di kanal digital lebih diminati oleh masyarakat, adalah karena sifatnya yang on demand.
Dalam arti, pemirsa televisi pada akhirnya bisa memilih informasi apa yang akan didapatkan hanya dengan mengetik di gawai. Bahkan hanya dengan mengetik kata kunci melalui mesin pencarian.
Pemirsa kini tidak perlu lagi menyaksikan program berita di televisi untuk menunggu informasi yang diinginkan hadir, karena informasi yang disajikan di program berita tentu telah disusun oleh awak televisi, sementara  banyak pemirsa yang hanya ingin menonton informasi atau berita tertentu saja.
Jika dianalogikan, mungkin industri televisi saat ini ibarat gedung bioskop penyaji hiburan yang menanti penontonnya untuk datang langsung menyaksikan film di layar bioskop. Tapi sang penonton nyatanya lebih memilih rebahan di kasur sambil menyaksikan layanan streaming.
Saya jadi teringat, ketika program Indonesia Lawyers Club, yang dahulu tayang di stasiun televisi TvOne, berhenti tayang di stasiun televisi yang identik dengan konglomerat Aburizal Bakrie itu pada akhir tahun 2020. Saat itu, sempat menyeruak kabar program yang kerap disingkat ILC itu "dibredel" oleh pemerintah.
Ketika kawan saya bertanya soal isu pembredelan itu, saya katakan bahwa alih-alih berspekulasi soal isu itu, saya lebih berfikir bahwa berhentinya tayangan ILC di kanal TvOne adalah upaya dari pemegang hak siar ILC untuk meraup lebih banyak pemirsa, dari platform pemutar video Youtube.
"Dan satu lagi. Bersiaran di Youtube prosesnya lebih mudah ketimbang bersiaran di televisi yang tentunya sudah disiapkan slot dan durasi yang sulit untuk diubah sekehendak pemegang hak siar ILC, karena sudah ditentukan oleh TvOne sebagai stasiun yang menyiarkan, ujar saya kepada sang kawan.
Dan perpindahan tayang ILC saat itu juga nyatanya telah 'direstui' oleh TvOne sendiri. Menurut keterangan manajemen TvOne, 'hijrah'nya program ILC dari televisi ke Youtube, adalah merupakan bagian dari upaya menghadapi perkembangan era digital ke depannya.
Ya, perkembangan era digital itulah yang makin ke sini, makin menggerus industri televisi sebagai media hiburan dan informasi yang telah eksis sejak 1962.
Termasuk NET TV yang dahulu mengusung jargon 'Televisi Masa Kini', pada akhirnya harus berhadapan dengan 'cara mengkonsumsi siaran TV masa kini' melalui platform Youtube.
Stasiun televisi yang dahulu identik dengan mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio ini, akhirnya mengakhiri kehadirannya di layar kaca Indonesia, untuk 'berganti wujud' dengan jenama MDTV.
NET TV, yang pada saat masih hadir di layar kaca kerap disebut sebagai pelopor integrasi tayangan di televisi dengan platform digital, dengan menayangkan ulang seluruh program di kanal Youtube, nyatanya justru langkah itulah yang pada akhirnya kerap disebut sebagai redupnya pamor NET TV sebagai stasiun televisi.
Ketua Komisi Hukum Dewan Pers, Arif Zulkifli, seperti dikutip Alinea.id pada 7 Januari 2025 menyebut, disrupsi digital sebagai tantangan terbesar bagi media mainstream, khususnya televisi. Ketimbang menonton televisi, kebanyakan orang kini mencari informasi lewat Youtube dan media sosial lainnya.
"Orang sekarang lebih banyak menonton YouTube ketimbang televisi. Akibatnya, pendapatan televisi dari iklan turun drastis, padahal bisnis televisi terestrial membutuhkan modal besar dan padat tenaga kerja," jelas Arif.
Meskipun banyak stasiun televisi kini beralih ke platform digital dengan membuat saluran YouTube, menurut Arif, pendapatan dari AdSense tidak mampu menutupi biaya operasional yang tinggi. Itulah kenapa televisi digital seperti Net TV pun memutuskan untuk tutup.
Lantas apakah memang stasiun televisi saat ini sudah tiba di era senja kala? Saya pribadi merasa belum saatnya industri televisi saat ini dikatakan sebagai sunset industry. Meskipun ia harus bersaing dengan tayangan di Kanal Youtube sehingga mengalami fase stagnansi.
Salah satunya adalah faktor jurnalisme televisi, dengan kaidah yang membuatnya berbeda dengan siaran di kanal digital. Â
Selama ini ada standar kualitas yang dipegang dan dijaga oleh sajian berita televisi namun belum tentu bisa diterapkan oleh semua kreator konten di luar sana. Bagaimana rambu-rambu dalam Kode Etik Jurnalistik hingga Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), menjadi panduan insan televisi menghasilkan karya mereka.
Seperti kata Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku klasik "The Elements of Journalism", tugas jurnalis adalah "to provide people with the information they need to be free and self-governing."
Jika streaming informasi kini menjadi dominan dalam budaya mencari informasi atau pemberitaan, maka prinsip ini harus menjadi cahaya penerang.
TV konvensional mungkin telah tersalip dalam statistik dengan media streaming. Tapi bukan berarti ia harus menyerah dalam nilai-nilai jurnalistik.
Di tengah kegaduhan algoritma dan ledakan konten instan, justru perlu ada ruang yang menjaga integritas narasi, kedalaman informasi, dan tidak melulu berbasi pada sesuatu yang viral.
Seperti senja yang pasti hadir untuk menuju pergantian hari, perubahan tidak pernah bisa dihindari. Kemampuan adaptasi insan televisi diuji. Kuncinya adalah adaptasi secara cepat dan efisien.
Mungkin saja, dari reruntuhan industri penyiaran layar kaca saat ini, akan lahir formula baru dari penyiaran publik yang lebih adaptif, namun tetap bermartabat dan tentunya bermanfaat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI