Mohon tunggu...
Muhammad Ghonim
Muhammad Ghonim Mohon Tunggu... Mahasiswa

Aktif terlibat dalam gerakan kemanusiaan, sosial dan ekologi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari Jalan Ke Beranda: Solidaritas Rakyat dan Perlawanan di Dunia Maya

5 September 2025   17:54 Diperbarui: 5 September 2025   17:54 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Muhammad Ghonim

Sejak 25 Agustus 2025, protes berantai menyapu berbagai kota. Awalnya, warga menyoroti privilese dan tunjangan anggota DPR yang dianggap terlalu jauh dari realitas rakyat. Namun pada 28 Agustus, segalanya berubah: Affan Kurniawan, pengemudi ojek online berusia 21 tahun, tewas dilindas kendaraan taktis Brimob di sekitar kompleks parlemen Jakarta. Peristiwa itu menjadi titik balik --- memicu solidaritas luas dan menuntut pertanggungjawaban negara.
Apa yang bermula sebagai kritik terhadap elit tiba-tiba menjadi gerakan penuh luka. Presiden menyampaikan belasungkawa dan memerintahkan investigasi transparan; kepolisian menahan personel terlibat. Sekolah memulangkan siswa lebih awal, kantor menganjurkan work from home, dan militer disiagakan --- semuanya menandai tekanan serius bagi pemerintah.

protes meluas ke kota-kota lain. Di Jakarta, massa bergerak dari DPR ke markas kepolisian. Di Bandung, rumah dan kantor politisi menjadi target; di Gorontalo, Makassar, Palembang, aksi serupa menyerukan akuntabilitas dan perubahan kebijakan. Dalam periode ini, puluhan orang menjadi korban kekerasan dan penahanan. Lembaga Advokasi dan LBH mencatat sekitar sepuluh orang tewas, termasuk:

Affan Kurniawan (21), Ojol, Jakarta
Andika Lutfi Falah (16), Pelajar, Tangerang
Rheza Sendy Pratama, Mahasiswa, Yogyakarta
Sumari, Tukang becak, Solo
Muhammad Akbar Basri, Staf DPRD Makassar
Sarinawati, Staf DPRD Makassar
Saiful Akbar, Plt. Kepala Seksi Kesra, Makassar
Rusmadiansyah, Ojol, Makassar
Iko Juliant Junior, Mahasiswa, Semarang
Septinus Sesa, Manokwari

Nama-nama ini adalah garis darah gerakan --- bukan hanya statistik, melainkan persembahan nyawa yang memanggil kita untuk memberi jawaban lebih manusiawi.
Di bawah bayang-bayang kesedihan ini, muncul aktor baru di medan protes: influencer media sosial. Kolektif "Indonesia Berbenah" dengan 17+8 Tuntutan Rakyat lahir dari kumpulan suara warganet dan disuarakan oleh figur seperti Jerome Polin, Andovi & Jovial da Lopez, Fathia Izzati, Afu, Abigail Limuria hingga Ferry Irwandy. Pada 4 September, mereka menyerahkan dokumen tuntutan itu ke DPR, tidak lagi lewat megafon, tetapi lewat "story" dan "thread" yang menyedot jutaan perhatian---linimasa menjadi arena perjuangan baru.

Bahwa pengaruh digital bisa menggeser arsitektur protes bukan hal baru. Mesir pernah melakukannya, 2011, ketika Wael Ghonim ikut mengelola halaman Facebook We Are All Khaled Said. Dari ruang itu, duka atas kematian Khaled Saeed dipadatkan menjadi seruan moral, lalu melebar menjadi revolusi yang memaksa Hosni Mubarak mundur. Kita tidak sedang menyamakan konteks Indonesia dengan Kairo 2011; yang hendak digarisbawahi adalah mekanisme yang mirip: kesedihan kolektif dikodifikasi, dipercepat oleh algoritma, lalu diekspresikan kembali sebagai tindakan bersama di dunia nyata.

Selama dua minggu ini, linimasa bekerja seperti alun-alun: tempat orang berkumpul, berdebat, dan mengafirmasi sikap. Di sana, bahasa akademis dijahit ulang menjadi kalimat sederhana yang bisa dipahami siapa pun. Konten berseliweran---infografik tuntutan, peta aksi, panduan keselamatan, pos donasi, rekaman kekerasan---menciptakan "rasa hadir" yang menyambung mereka yang di rumah dengan mereka yang di jalan. Di sisi lain, kecepatannya juga membawa risiko: rumor mudah menyaru sebagai fakta, dan garis antara dokumentasi dan "glorifikasi" kekerasan bisa mengabur. Peran kurasi (oleh media arus utama, penggiat literasi, dan para kreator yang bertanggung jawab) karenanya menjadi krusial.

Di tataran lapangan, pelajaran yang paling keras datang dari kematian Affan. Ini bukan sekadar "insiden", tetapi tanda bahwa protokol pengamanan aksi---mulai dari rute kendaraan taktis, jarak aman dengan massa, sampai disiplin komando---gagal bekerja. Polisi sudah menyampaikan permintaan maaf dan menahan personel; proses etik dan pidana berjalan, termasuk kabar sanksi demosi. Namun keadilan substantif tidak berhenti pada sanksi individu: ia mesti merombak budaya operasi agar nyawa warga bukan variabel yang boleh dinegosiasikan.

Saatnya menjawab nyawa yang hilang dan rasa solidaritas yang tumbuh. Pertama, investigasi Affan dan korban lain harus sepenuhnya transparan---dokumentasi terbuka adalah syarat keadilan. Kedua, SOP pengamanan aksi publik harus diperbaiki dengan pembatas aman, eskalasi proporsional, dan kehadiran dialog. Ketiga, kanal partisipasi nyata (bukan seremoni) harus dibuka---tuntutan 17+8 harus direspons dengan aksi konkret, bukan hanya respons simbolis. Keempat, media sosial harus diakui sebagai ruang publik yang sah---tempat di mana negara hadir untuk mendengar, bukan membungkam.

Dua minggu ini menunjukkan:
Demokrasi Indonesia masih hidup karena warga menolak diam. Ada yang datang membawa poster, ada yang menggerakkan kamera ponsel, ada yang menyusun dokumen tuntutan. Mereka mungkin berbeda cara, tetapi disatukan oleh naluri paling dasar: menjaga agar negara tak melupakan manusia di balik kebijakannya. Nama Affan Kurniawan dan korban lainnya---yang memaksa kita menoleh---seharusnya menjadi batas yang tak boleh dilanggar lagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun