Mohon tunggu...
Cucu Cahyana
Cucu Cahyana Mohon Tunggu... Administrasi - Guru Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing

Urang Sunda, Suka Baca, Bola, Biru...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bunga Melati untuk Emah dan Abah [ 1 ]

18 Juni 2011   14:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:24 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Mah, maaf jika selama ini Ananda hanya menyusahkan Emah dan Abah. Sudah 21 tahun umur Ananda, tapi masih juga belum bisa apa-apa. Mungkin Kak Azhar dan Mbak Nia sudah bisa menyunggingkan senyum Emah dan Abah atas kemandiriannya kini. Sedang Ananda masih saja seperti ini. Masih menggerogoti rizqi hari tua Emah dan Abah. Padahal besar harapan Ananda bisa menghajikan Emah dan Abah ke Rumah Allah. Mempertemukan kalian berdua dengan Rabb kita.


Mungkin terlalu muluk harapan Ananda. Tapi Ananda tahu, Tuhan kita Maha Mendengar, Tuhan sayang sama Emah dan Abah. Biarlah Emah dan Abah tidak tahu hingar-bingar kota. Biarlah Pantai Pangandaran saja tidak pernah kalian nikmati panorama indahnya, biarlah Emah dan Abah tidur hanya beralaskan tikar pandan, biar saja dunia tak menyelimutkan kenikmatannya pada kalian...


Ya Allah… tidak inginkah Engkau memanggil mereka ke rumah-Mu? Belum cukupkah sujud karena berendah diri di hadap-Mu sebagai alasan Engkau memanggil mereka? Tidak cukupkah mereka tertatih tiap malam hanya untuk menengadah memohon balas-kasihMu? Padahal mereka menghinakan diri di hadap-Mu, tidak mengharap selain rahmat dan cinta-Mu.


Rabb, jadikanlah pertamakali mereka keluar dari kampung halaman adalah langkah menuju rumah-Mu. Kalau boleh ya Allah… kalau Engkau mengizinkan… andai Engkau berkenan, jadikanlah hamba perantara mereka bisa menziarahi bait-Mu”. Amien.

][


Pukul 09.30 ia masih terlihat memanggul karung, berat. Mengangkat karung-karung kentang dari mobil ke kios menjadi rutinitasnya di pagi hari. Sebelum berangkat kuliah, ia hanya punya waktu sampai pukul 10.00 WIB. Baju lusuh dan celana hitam congklang menjadi seragam kerjanya. Di pinggangnya terikat kantung kain seukuran 30 cm x 50 cm. Dengan kantung itu ia “menabung do`a”. Dengan kantung kecil itu pula ia menanam cinta. Cinta akan lingkungan sekitarnya.


Dipungutnya setiap sampah yang orang-orang cecerkan tanpa merasa bersalah. Ya, sampah memang sering ia temukan berceceran di mana-mana. Mungkin itu juga menjadi gambaran moralitas bangsa ini. Sampah di mana-mana. Di tempat sampah, di halaman rumah, perkantoran, di kali dan di sungai-sungai. Moral yang seperti ini pula, mungkin, yang menjadikan banyak sampah-sampah masyarakat. Lihatlah para koruptor di negeri ini, mereka berceceran mulai dari gedung parlemen hingga ke rumah-rumah tanggung di pelosok desa.


“Ah, tak ada ruginya memungut sampah ini…”.


Kalimat itu biasa diucapkannya. Ia tidak peduli siapa orang dzalim yang telah mencecerkan sampah-sampah itu. Sampah baginya bukan benda menjijikan. Sampah bisa diubahnya menjadi mutiara . Mutiara yang akan ia sertakan sebagai tambahan bujukan kepada Tuhannya.


Sudah hampir tiga tahun ia menjadi kuli angkat di Pasar Beringharjo. Sudah tiga tahun pula ia mengenyam pendidikan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pekerjaan sambilan itu dijalaninya semata-mata karena ingin terlepas dari penyakit parasit. Ia tidak mau terus-menerus menengadah tangan kepada Emah dan Abahnya. Ia malu pada dirinya sendiri. Umurnya yang sudah duapuluhsatu tahun, predikat sebagai orang dewasa yang sudah aqil-baligh tetapi masih saja menjadi parasit. Hidup masih dibiayai orang tua. Padahal ia sendiri tahu, Emah dan Abahnya sudah mulai renta. Sudah selayaknya mereka beristirahat. Dalam detik-detik itu, seharusnya Emah dan Abahnya tinggal menuai hasil kerja keras mereka berpuluh tahun yang lampau. Belum lagi kedua adiknya yang masih di Sekolah Menengah Atas. Tentu saja masih banyak biaya yang dibutuhkan.


“Seharusnya aku yang membiayai mereka”, fikirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun