Kita Hidup di Era "Mahkamah Media Sosial "
    Hari ini, pengadilan bukan lagi hanya di meja hakim. Melainkan sudah berpindah ke platform platform media sosial. Sekarang seseorang bisa "divonis" atau "dihukum" hanya dengan potongan kecil video 10 detik yang ia posting , lalu dihujat berjamaah. Itulah fenomena cancel culture budaya menghujat atau menghakimi orang lain lewat opini massa di media sosial.
    Lalu ada sebuah pertanyaan yang muncul : apakah praktik ini termasuk perkara yang dibenarkan dalam agama islam atau apakah hukumnya halal, mubah, atau justru di haramkan karena termasuk ke dalam kelompok ghibah kolektif ?
    Sebelum itu mari kita dalami lebih dalam cancel culture dalam perspektif ilmu fiqih.
    Banyak orang diantara kita membela cancel culture dengan alasan "ini salah satu bentuk amar ma'ruf nahi munkar, kawan ."
    Kalau memang betul tujuannya menegakkan kebenaran, dengan bukti bukti yang jelas, dilakukan secara sopan , dan bertujuan untuk memperbaiki maka cancel culture ini bisa masuk ke dalam hukum hisbah atau pengawasan sosial dalam Islam.
    Contohnya diantaranya adalah membongkar kasus kasus korupsi, atau memperingatkan kepada masyarakat bahwa ada ustadz gadungan dan lain sebagainya. Jika cancel culture bertujuan untuk menegakkan kebenaran maka hukumnya boleh bahkan bisa sampai wajib.
    Tetapi realita yang terjadi di dalam masyarakat saat ini cancel culture bukan digunakan untuk menegakkan kebenaran melainkan digunakan untuk menjadi media untuk ghibah massal, ketika cancel culture digunakan untuk ghibah maka jelas hukumnya menjadi haram .
    Rasulullah SAW pernah bersabda: "Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, ia tidak menzhaliminya, tidak menghina, dan tidak merendahkannya." (HR. Muslim).
    Jika kita menggunakan cancel culture sebagai media untuk merendahkan saudara muslim kita maka jelas hukumnya tidak diperbolehkan dan haram dilakukan.
    Dan dampak yang lebih parah lagi dari cancel culture adalah bisa menyebabkan korban cancel culture bisa mengalami depresi, bunuh diri , atau bahkan kehilangan pekerjaannya karena reputasinya rusak.