Mohon tunggu...
Cahaya Hanifah
Cahaya Hanifah Mohon Tunggu... Mahasiswi

Saya adalah seorang Mahasiswi yang sedang menempuh pendidikan di UINSI Samarinda. Saya memiliki Hobi Memasak dan Menulis, serta menyukai kegiatan diluar ruangan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

DI BAWAH BAYANG-BAYANG MENARA: Kami, Sang Pemecah Tradisi PAI, Mengukir Kisah Perdana di Darul Hijrah Puteri

9 Oktober 2025   17:13 Diperbarui: 9 Oktober 2025   19:52 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan pembelajaran Ponpes Darul Hijrah Putri

MARTAPURA, KALIMANTAN SELATAN--- Gerbang besar Pondok Pesantren Modern Darul Hijrah Puteri (Dahpi) tampak menjulang, seolah menjadi portal menuju dunia yang lain. Dunia yang selama ini hanya kami dengar dalam cerita tentang kedisiplinan tingkat dewa, di mana setiap santri wajib berkomunikasi dalam dwibahasa Arab dan Inggris di luar jam pelajaran. Bagi kami, sekelompok mahasiswi dari Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) kelas khusus internasional, kedatangan kami di sini bukan sekadar memenuhi syarat kuliah. Ini adalah misi bersejarah: kami adalah gelombang pertama PKL/KKN yang pernah diterima oleh pondok pesantren modern sekelas Darul Hijrah. Kami tahu, kami membawa nama baik kampus, nama baik jurusan PAI, dan sebuah ekspektasi besar yang harus kami penuhi. Kami harus membuktikan bahwa PAI modern mampu menjadi pilar di tengah benteng tradisi yang maju.

Kepercayaan Penuh yang Membuat Lutut Kami Gemetar

Sambutannya ternyata jauh lebih menantang daripada yang kami bayangkan. Kami berasumsi akan ada masa orientasi panjang, Realitasnya? setelah melakukan observasi gaya mengajar guru dan dan pendampingan penyusunan Rencana Pembelajaran, kami langsung diberikan kunci penuh ke ruang kelas. Pihak DAHPI menaruh kepercayaan 100% di pundak kami, sebuah risiko yang berani mereka ambil untuk pertama kalinya. Kami diinstruksikan untuk mengambil alih pengajaran PAI di seluruh jenjang---mulai dari si bungsu Kelas VII SMP yang masih malu-malu, hingga para calon pemimpin di Kelas XII SMA yang sudah kritis dan memiliki standar akademik tinggi.

Tugas ini membutuhkan adaptasi kilat. Kami harus menyusun ulang metode mengajar kami agar sesuai dengan lingkungan dwibahasa yang ketat. Dalam satu jam, kami mungkin harus menjelaskan materi Fiqih tentang zakat menggunakan Bahasa Inggris, lalu di jam berikutnya beralih ke Bahasa Arab untuk membahas tafsir Al-Qur'an dengan kedalaman yang cukup untuk memuaskan santri SMA. Tekanan bukan hanya pada materi, tetapi pada bahasa. Satu kesalahan gramatikal dalam Bahasa Inggris atau Bahasa Arab bisa langsung dikoreksi oleh santri yang sudah terbiasa dengan lingkungan linguistik yang sempurna. Di sinilah kami benar-benar diuji; kami harus menjadi cendekiawan PAI yang fasih, sekaligus guru bahasa yang teliti.

Ketika PAI Harus Mengajar Lintas Mata Pelajaran: Ujian Kompetensi Sejati

Jika mengajar PAI dalam dua bahasa sudah merupakan tantangan besar, kejutan terbesar datang seminggu kemudian. Itu adalah hari yang dingin, dan seorang guru mata pelajaran umum berhalangan hadir mendadak karena sakit. Kami berpikir pihak pondok akan memanggil guru cadangan senior. Namun, Ustadzah Muliyan, Waka Kurikulum, menatap kami dan berkata, "Tim KKN-PKL Internasional, kalian yang akan mengisi kelas Matematika hari ini."

Kami saling pandang, raut wajah kami mungkin mencerminkan perpaduan antara kaget dan geli. Kami adalah ahli Ushul Fiqh dan Hadis, bagaimana mungkin kami tiba-tiba menjadi guru Matematika? Esoknya, ceritanya berulang. Kami diminta mengisi kekosongan jam IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Lalu Sejarah. Bahkan, suatu kali kami harus mendampingi eksperimen santriwati di Lahan Gambut terbuka.

Di sinilah kami menyadari pesan tersembunyi dari DAHPI. Kepercayaan mereka tidak hanya didasarkan pada gelar PAI kami, melainkan pada kapasitas kami sebagai pendidik profesional. Mereka menguji kemampuan kami untuk menjadi Guru Plug and Play: sosok pendidik yang serba bisa, disiplin, dan mampu beradaptasi cepat di luar zona nyaman. Ini adalah ujian kompetensi sejati. Kami harus belajar cepat, membaca ringkasan materi dalam waktu istirahat, dan yang terpenting, menggunakan keterampilan pedagogi kami untuk mengelola kelas dan membuat materi non-spesialisasi tetap menarik. Kami membuktikan bahwa PAI bukan sekadar ilmu agama, tetapi landasan bagi soft skill fundamental seperti kepemimpinan, manajemen krisis, dan komunikasi efektif.

Warisan yang Kami Bawa Pulang

Masa PKL/KKN ini berakhir dengan rasa haru yang mendalam. Suasana di pondok, mulai dari ritual shalat berjamaah tepat waktu hingga diskusi malam di area asrama santriwati, telah membentuk kami. Kami meninggalkan Darul Hijrah bukan hanya dengan laporan KKN yang lengkap, tetapi dengan bekal yang jauh lebih berharga: sebuah sertifikasi non-formal bahwa seorang lulusan PAI Internasional siap menghadapi realitas pendidikan modern yang menuntut multitasking dan adaptasi tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun