Mohon tunggu...
Annisa Aulia
Annisa Aulia Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Full Time Blogger

Segera terbit novel pertama saya "Keberadaan & Waktu".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Gadis Melankolis

26 Januari 2020   13:35 Diperbarui: 26 Januari 2020   13:38 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore itu Kota Daeng diselimuti hujan. Pesawatku baru saja lepas landas di bandar udara Sultan Hasanuddin. Saat kunyalakan handphone, ada pesan masuk darinya. Ternyata ia sudah berusaha menghubungiku dan memintaku untuk menelponnya sesegera mungkin. Jantungku mulai berdegup kencang karena ia jarang menelponku saat aku melakukan perjalanan. Aku langsung meneleponnya balik, detik-detik diantara setiap deringan terasa bagai selamanya, hingga akhirnya ia mengangkat telepon.

"Halo" kataku.

"Kamu dimana?"

"Di bandara baru sampai."

"Aku sudah menunggumu di depan kemarilah."

Aku tidak bereaksi. Pikiranku memutar-mutar hari sebelum keberangkatanku, sepertinya aku tidak memberitahunya sama sekali akan kesini. Lantas bagaimana ia bisa tahu dan berniat menjemputku? Oh sialan sepertinya ini jebakan.

Saat tatapanku mengarah ke pintu keluar, nampak Hilal yang sudah menungguku. Wajahnya terlihat sumringah menyambut kedatanganku. Setelah berjalan mendekatinya, mataku berpaling dan berkata "Hai.."

"Hai? Hanya itu yang kau katakan padaku setelah dua bulan tidak bertemu?"

Aku tertegun. Aku bisa membayangkan apa yang ia pikirkan. Namun aku harus bisa pura-pura tidak peduli kali ini.

"Memangnya aku harus berkata apa, Hilal? Bahwa aku merindukanmu?"

"Aku mengkhawatirkanmu."

Lalu ia tersenyum padaku, dan aku membalas senyumnya. Kami berjalan ke arah parkiran tanpa suara, tanpa terburu-buru. Tanah itu basah. Aku jadi sadar bahwa sepatu kets-ku yang dicuci sampai bersih dua hari sebelumnya, pasti akan kena lumpur lagi. Tak peduli seberapa hati-hati aku melangkah. Pencarianku terhadap kebijaksanaan, kedamaian pikiran, serta realitas yang kasatmata maupun tidak, telah menjadi sia-sia tanpa arti karena bertemu dengannya lagi.

Hujan semakin deras. Untungnya kami sudah di dalam mobil dan bersiap melaju. Yang bisa ku dengar hanya suara rintik air yang beradu begitu riuh pada jendela kaca mobil.

"Kurasa aku sudah mencapai batas." Ujarku, seperti biasa selalu jatuh dalam perangkap untuk berbicara lebih dulu.

"Lucu juga, kamu selalu bilang begitu setiap bertemu denganku. Memangnya batas-batasmu sudah meluas dan mengenal sepenuhnya?" Kata Hilal dengan provokatif

Pertanyaannya adalah ironi, namun aku terus berbicara.

"Kenapa kau menjemputku? Untuk berusaha meyakinkanku bahwa aku salah seperti biasa? Kau boleh mengatakan apa saja sesukamu, tapi kata-kata tidak mengubah apapun. Aku tidak bahagia denganmu."

"Itulah sebabnya aku datang. Aku sudah menyadari apa yang terjadi selama beberapa waktu, namun selalu ada momen yang tepat untuk bertindak." Jawab Hilal sambil memutar lagu. "Jika kita berbicara sebelum sekarang, kau belum matang. Jika kita berbicara belakangan, kau pasti busuk." Ia memindahkan lagunya sembari menghayati.

Aku diam tidak menghiraukan komentarnya. Tatapanku hanya fokus pada jendela kaca mobil disebelah. Batinku berkata bahwa aku bisa melewati hal ini. Setiap kali aku menolak mengikuti takdirku, hal yang luar biasa sulit untuk dihadapi akan terjadi dalam hidupku. Dan itulah ketakutan terbesarku saat ini. Sepertinya akan ada tragedi, yang membawa perubahan radikal dalam hidupku. Perubahan yang berhubungan dengan prinsip yang sama. Kehilangan.

Saat menghadapi kehilangan dalam bentuk apa pun, tidak ada gunanya berusaha memperbaiki apa yang sudah terjadi. Lebih baik memanfaatkan celah besar yang terbuka di depan kita dan mengisinya dengan hal baru. Secara teori, setiap kehilangan adalah untuk kebaikan kita. Namun pada praktiknya, saat itu lah kita mempertanyakan keberadaan Tuhan dan bertanya pada diri sendiri. Apa yang sudah kulakukan sehingga pantas menerima hal ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun