Mohon tunggu...
Buyung Okita
Buyung Okita Mohon Tunggu... Lainnya - Spesialis Nasi Goreng Babat

Mantan Pembalap Odong-odong

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memahami Shinto dan Hubungannya dengan Agama

18 Agustus 2020   21:58 Diperbarui: 19 Agustus 2020   21:32 2805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ukiyo-e gunung Fuji/artelino.com

Di Indonesia kita mengenal dua kosakata untuk mendefinisikan konsep kepercayaan dalam beragama, yaitu kata "agama" itu sendiri dan "kepercayaan". 

Kata "agama" merujuk pada beberapa kepercayaan keimanan yang diakui secara resmi oleh Negara yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu, dan juga beberapa agama lain di dunia yang tidak termasuk kedalam agama yang diakui secara legal administrasinya di Indonesia seperti agama Yahudi, Zoroaster, Jainism dll. 

Kata "kepercayaan" sendiri cenderung bermakna kepada kepercayaan keimanan asli yang berasal dari Indonesia, yang diluar dari ke enam agama yang diakui oleh Negara. Meskipun dewasa ini, pemeluk agama asli Indonesia ini menolak untuk disebut pemeluk kepercayaan, tetapi pemeluk agama.

Mari kita sedikit menengok peta untuk sedikit ke arah timur laut Indonesia yaitu Jepang. Seperti kita ketahui Jepang memiliki suatu agama atau kepercayaan asli yang kita kenal dengan nama Shintō , yang terdiri dari dua huruf yaitu "kami" dan "michi". Meskipun sulit ditemukan ekuivalensi padanan kata nya dalam bahasa Indonesia, kata "kami" berpadanan kata dengan kata "dewa" atau "tuhan". Sedangkan kata "michi" bermakna "jalan". 

Dengan itu kita pahami bahwa Shintō  bermakna jalan menuju Tuhan/Dewa. Orang Jepang jika memanggil "kami"/dewa tanpa menyebutkan nama asli dari dewa tersebut dengan menambahkan kata "sama", menjadi "Kami Sama". Lalu apa yang menarik untuk dibahas kali ini ? mari kita lanjutkan.

Kuil Ise/www.japan-guide.com
Kuil Ise/www.japan-guide.com
  • Asal kata Agama dalam bahasa Jepang

Dalam bahasa Jepang terdapat kata "Shuukyou" yang bermakna "agama/religion". Sedangkan Shintō  sendiri merupakan (mari kita sebut saja) agama atau kepercayaan asli dari Jepang. 

Kata "Shintō" sudah ada jauh sebelum kosakata "shuukyou" yang bermakna agama/religion muncul.  Kata dan konsep "shukyou" yang bermakna agama/religion sendiri baru saja muncul setelah restorasi Meiji. Pada masa itu, sekitar awal tahun 1860-an, berbagai konsep kepercayaan beragama, ideologi, filosofi serta pemikiran dari luar negeri mulai masuk ke Jepang.

Setelah konsep dan kosakata "shuukyou" diserap dan diterima oleh masyarakat Jepang, kata "shuukyou" digunakan untuk menampung merujuk kepada makna agama Nasrani, Islam dan Yahudi. Meskipun setelah itu mengalami perluasan makna kata yang dapat menampung agama lain yang berasal dari luar Jepang.

  • Konsep dalam memilih Agama dan Shinto

Dalam shuukyou/agama (secara general) hanya diperbolehkan untuk memilih, menjalankan dan mengimani satu agama saja. Sebagai contoh adalah pemeluk agama Islam tidak diperbolehkan mengimani agama selain Islam. 

Sedangkan dalam rumah orang Jepang kita dapat menyaksikan  bahwa terkadang terdapat altar budha dan altar dewa Shinto yang diletakan bersebalahan. Karena meskipun ajaran Budha masuk ke Jepang di pertengahan abad ke enam dan berbeda dari ajaran Shinto, pada prakteknya muncul sinkretisme diantara keduanya pada kalangan masyarakat umum atau masyarakat bukan bangsawan. Orang Jepang sendiri dapat kita lihat sering mengunjungi kuil Shintō atau kuil Budha setiap tahunnya secara bergantian. 

Saya sendiri pernah mendengar langsung dari teman yang berasal dari Jepang bahwa bukan hal yang aneh jika seseorang melakukan upacara kelahiran secara Shinto untuk anak yang baru terlahir. Kemudian ketika tumbuh dewasa anak tersebut melakukan upacara pernikahan dengan seperti tata cara Nasrani, dan ketika meninggal dimakamkan dengan tata cara Budha. Bahkan Orang Jepang yang tidak memeluk agama Nasrani juga ikut merayakan dan memperingati hari Natal, ditandai dengan maraknya atribut dan event khas Natal yang diselenggarakan dipenjuru negeri.

  • Konsep Dewa di Shinto

Dalam konsep Shuukyou dari ketiga agama yang dirujuk yaitu Nasrani, Islam dan Yahudi mengimani monoteisme. Sedangkan Shinto mengimani Politeisme, dimana dewa dalam Shinto dikenal dengan istilah "8 juta dewa" yang mengindikasikan bahwa terdapat banyak sekali dewa dalam Shintō

Karena Shintō percaya bahwa dewa mendiami di segala unsur atau aspek kehidupan baik material seperti air, sungai, laut, pedang, cermin dll. Maupun non-material seperti dewa suatu penyakit, dewa suatu profesi dll. Manusia yang memiliki pengaruh khusus, ruh kaisar, bahkan pahlawan juga dapat menjadi dewa dan bersemayam atau disemayamkan di kuil tertentu. 

Kuil Meiji sendiri dibangun untuk menghormati kaisar Meiji sebagai dewa. Kuil Yasukuni sendiri dibangun sebagai bentuk penghormatan kepada pahlawan yang berjuang dan meninggal demi kepentingan Jepang, bahkan bukan seorang warga negara Jepang tetapi semasa hidupnya membela Jepang juga dianggap bersemayam dan menjadi dewa di kuil tersebut. 

Karena itu setiap awal tahun selalu menjadi polemik dan eskalasi ketegangan politik antara Korea-TIongkok dan Jepang, ketika perdana menteri Jepang berdoa dan mengunjungi Kuil Yasukuni. Karena dianggap menghormati para tentara yang menginvasi Korea dan Tiongkok.

Konsep pantheon deretan dewa dalam Shintō selalu berubah karena dewa selalu berada disekitar manusia, bahkan ketika smallpox atau cacar menjadi endemi di Jepang, muncul satu dewa smallpox atau cacar yang dianggap menyebabkan dan menyebarkan virus tersebut. Sehingga dapat dipahami terdapat banyak dewa, baik yang memiliki nama hingga tak memiliki nama.

Konsep Tuhan dalam agama Nasrani, Islam dan Yahudi adalah Tuhan yang Esa, adil dan maha kuasa. Agama Islam, Nasrani dan Yahudi mengajarkan bahwa ketika kita melukan kesalahan kita diwajibkan untuk bertaubat dan memohon ampunan kepada tuhan.

Sedangkan dewa di Shinto tidak merepresentasikan diri seperti itu, karena setiap dewa di Shinto memiliki kualitas baik dan buruk. Bahkan ada dewa yang memiliki atribut sifat jahat. Dewa di shinto dipercaya dan ditakuti akan menyebabkan bencana, sehingga sebisa mungkin manusia selalu berusaha agar menjaga dewa agar selalu dalam sisi "baik"nya. 

Maka sebagai bentuk rasa syukur dan sebagai kewajiban membuat dewa selalu bahagia agar mendatangkan banyak berkah bagi manusia, diperlukan persembahan, mengikuti sifat-sifat seperti yang direpresentasikan suatu dewa tersebut dan merayakan berbagai festival. Itulah mengapa banyak sekali festival yang diadakan di Jepang. "Omamori" atau jimat pelindung pada dasarnya digunakan sebagai jimat perlindungan, agar tidak mendapatkan pengaruh buruk dari dewa yang jahat yang membuat sakit atau memberinya ketidak beruntungan.

  • Tuntunan ajaran dalam beribadah

Ketiga agama yang dirujuk dalam konsep Shuukyou yaitu Nasrani, Islam dan Yahudi memiliki buku pedoman atau kitab sucinya masing-masing. sedangkan Shinto tidak memiliki apapun, sehingga shinto tidak memiliki tata cara ibadah yang khusus. 

Agama mengajarkan konsep ketuhanan yang Esa, memberikan serangkaian syariat atau aturan dalam menjalani kehidupan dan beribadah yang jelas. Kitab suci dan ajaran para nabi dan ulama/pendeta/rabbi dijadikan pedoman untuk berbagai hal mengenai kehidupan yang universal. Tetapi dalam Shinto terdapat dewa yang jumlahnya 8 Juta atau tak terhingga, sehingga jawaban untuk segala sesuatu tidaklah satu. Diri sendiri harus berjalan dan mencari jawaban atas apa yang ia ingin temukan. 

Secara umum ada festival dan upacara yang berasal dari tradisi yang terus dilestarikan dari suatu buku yang berjudul Kojiki yang berarti "catatan hal kuno" dan nihon shoki yang berarti "catatan mengenai sejarah Jepang" yang dipercaya ditulis pada abad 8 masehi. Yaitu bentuk transmisi tradisi dari keluarga kepada anak-anaknya. Yang kedua, karena Dewa bersemayam di sekitar manusia dalam bentuk material dan non material, maka melakukan interaksi dengan alam berarti dianggap melakukan interaksi dengan dewa. Yang ketiga, melakukan penyucian diri dengan cara membersihkan kaki tangan dan mencuci mulut ketika ingin memasuki Jinja atau kuil. Dan selanjutnya menyelenggarakan berbagai festival dan persembahan.

Dalam ajaran agama Islam, Yahudi dan Nasrani, orientasi kehidupan kita adalah untuk kehidupan di masa depan yaitu kehidupan akhirat yang kekal, yang diartikan sebagai kembali kepada Tuhan yang menciptakan. Meskipun untuk mencapainya diperlukan pengetahuan mengenai kejadian yang telah lampau sebagai pembelajaran. Jawaban yang ingin dicari dari hidup saat ini berada pada masa depan. Sedangkan dalam Shinto menghormati leluhur sangatlah penting, karena manusia dipercaya berasal dari keturunan dewa. Karena dewa merupakan leluhur asal usul manusia, maka ada jawaban yang dapat ditemukan di masa lalu dengan selalu mendekat kepada tradisi.

Itulah mengapa masyarakat Jepang menghargai tradisi dan bahkan sampai memperkuat sifat Xenophobhia dari  Shogun Tokugawa sehingga membuat Jepang mengisolasi dirinya selama beratus-ratus tahun dari dunia luar. Sedangkan masyarakat dunia di barat bersifat menyukai hal yang progresif dan berevolusi. 

Upacara hari kedewasaan yang diikuti setiap pemuda berusia 20 tahun yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat terlepas dari agama yang dipeluk.
Upacara hari kedewasaan yang diikuti setiap pemuda berusia 20 tahun yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat terlepas dari agama yang dipeluk.

Dewasa ini, setelah adanya restorasi Meiji dan masuknya berbagai ilmu dan pemikiran dari barat ke Jepang, konsep Shinto pun mengalami perubahan. Karena adanya konsep agama yang masuk ke Jepang dan para pemeluk agama Nasrani mulai berani menampakkan dirinya untuk beribadah (karena pada era Tokugawa praktisi ibadah Nasrani dilarang) dan berbagai orang asing mulai masuk ke Jepang, akhirnya muncul berbagai keanggotaan dari berbagai sekte Shinto diseluruh negeri. Sehingga dengan munculnya sekte tersebut menjadi sebuah organisasi, membuat Shinto pada praktiknya mirip seperti Shuukyou.

Terlepas bagi yang mempercayai Shinto atau tidak, masyrakat jepang ikut dalam merayakan berbagai festival yang ada. Karena kepercayaan shintou telah mengakar sebagai tradisi, pemikiran dan adat budaya di Jepang. Seperti festival Tanabata, Upacara hari kedewasaan, tradisi mengunjungi kuil di awal tahun yang disebut Hatsumode dll.

Jauh di masa lalu, Jepang tidak memiliki catatan mengenai kitab suci pedoman hidup, tidak memiliki kajian filosofi apapun. Karenanya Jepang mengirimkan orang yang terpilih untuk belajar dan menjadi cendekiawan di China. Sekembalinya dari China, berbagai ilmu dan ajaran juga mengalami sinkretisme. Karena dari awal tidak terdapat apa-apa, maka diri sendiri lah yang menuntun diri untuk mencari jawaban atas segala sesuatu.

Setelah restorasi meiji dan berbagai pemikiran masuk kedalam Jepang, Jepang mulai mengadopsi berbagai fleksibilitas dan semangat akan evolusi dari pemikiran barat dan juga menggabungkan budaya yang menghargai tradisi.

Hal menarik terakhir adalah hampir jarang dan tidak terjadi adanya friksi antar kelompok beragama atau sekte di Jepang. Karena bagi orang Jepang, Tuhan "Kami-Sama".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun