Mohon tunggu...
Rofatul Atfah
Rofatul Atfah Mohon Tunggu... Guru - Guru Tidak Tetap

Seorang guru biasa dan Ibu dari anak-anaknya yang istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

RAHASIA DI TENGAH HUTAN (Cerber Anak bag 4)

21 April 2014   22:11 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:23 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Pagi itu Kiki bangun kesiangan. Meta sudah pergi entah kemana. Mungkin seperti kemarin jalan-jalan keliling kebun. Kiki segera keluar kamar. Inginnya ke kamar mandi, namun sepertinya ada yang sedang ngobrol di bawah rumah. Kiki mencari asal suara, ternyata suara itu dari bawah belakang rumah.

Telah berkumpul di bawah, kakek, nenek, Meta, Ryan, mak Limah, dan bujang Saleh. Seketika melihat Kiki, mereka mengajak Kiki ikutan ngumpul. Kiki pun menuruni anak tangga dan langsung duduk di kursi kayu panjang. Tidak seperti biasanya, kali ini Kiki memilih duduk di apit Meta dan Ryan. Nenek yang tidak lagi jadi pilihan Kiki, hanya tersenyum. Tidak apa, tokh sekarang ada Ale duduk di dekat nenek.

“Begini, Ki, kakek ada rencana hari ini mau ngajak kalian jalan-jalan ke waduk Riam Kanan, terus nanti kalau sempat ke Campaka, Loksado, dan Kandangan. Lusa kan kalian sudah kembali ke rumah masing-masing, jadi hari ini dan esok disempatkan untuk menikmati wisata di Kalimantan Selatan. Mau kan ?” kata kakek sambil tersenyum.

“Mauuuuuuu !” sahut yang lain serentak. Dan tidak lama, mereka sudah siap di dalam mobil.

Sesaat landrover yang perkasa itu sudah melaju di jalan raya. Jalanan yang semula beraspal kini beralih ke jalan tanah. Mobil pun berjalan terantuk-antuk. Kiki yang sedang menulis di tablet menghentikannya sejenak, karena lama-kelamaan tulisannya menjadi kacau. Untunglah nenek dan mak Limah tidak ikut. Kalau ikut, kasihan mereka, pasti bisa sakit-sakit badannya, pikir Kiki.

“Jangan salah, nenek dan mak Limah sering ke Banjarmasin,” ucap kakek seperti bisa membaca pikiran Kiki.

“Soalnya jalannya seperti ini, mereka pasti tersiksa di jalan, ya kek ?” tanya Kiki.

“Tidak, ini lebih ringan, kalau musim penghujan lebih parah lagi,” sergah Ryan.

“Mungkin jalan di Pulau Jawa bagus-bagus, ya ?” tanya Meta.

“Tidak juga, ada juga yang seperti ini, hanya saja mungkin tidak separah di musim penghujan,” jawab Kiki.

“Aku jadi ingin ke Jakarta,” tukas Ryan.

“Aku juga,” sahut Meta tidak mau kalah.

“Kalau aku tidak, Jakarta menyebalkan, lebih enak disini, terasa damai hidup bersama kakek dan nenek,” ujar Ale seperti mengeluhkan keadaan keluarganya.

“Ale, kamu bisa ke rumah kakek dan nenek kapanpun kamu mau, tapi sebaiknya temani mamahmu di rumah dan jangan lupa bersekolah yang rajin biar berprestasi,” kakek menghibur Ale.

Bujang Saleh yang ikut bepergian, juga membelai-belai rambut Ale. Mereka duduk berdekatan di bagian kanan, sedangkan Kiki dan Meta duduk di bagian kiri. Sementara Ryan duduk di samping kakek.

“Kakek kapan bisa main ke rumahku ?” tanya Kiki.

“Insya Allah habis lebaran, bersama nenek, Ryan dan Meta,” kakek tersenyum, tapi tiba-tiba dari kaca spion terlihat bujang Saleh menepuk-nepuk dirinya sendiri. “Oh iya, iya, bujang Saleh juga mau ikut,” kakek menambahkan sambil tertawa-tawa dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang lain juga ikut tertawa.

Tidak lama mereka sampai di waduk Riam Kanan. Selama foto-foto, terlihat bujang Saleh seperti gelisah. Dia merasa ada yang menguntit. Namun tidak tahu siapa dan dimana. Bujang Saleh lalu mendekati kakek. Baru saja kakek mau mengambil foto anak-anak, tiba-tiba terdengar dering handphonenya.

“Ya, ada apa ? Siapa yang berulah lagi ? Jangan sakiti mereka, usir saja dengan cara adat kita, aku tunggu kabar selanjutnya, ya ?” kata kakek dengan suara keras.

Selesai nelepon, kakek sedikit mempelihatkan wajah masam. Kemudian kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini berwisata ke Campaka. Disana hanya sebentar, meski begitu disempatkan membeli beberapa batu intan berukuran kecil. Namun terdengar dering telepon lagi. Kakek terlihat sedikit jengkel.

“Ya, sudah diusir kan ? Apa ? Orangutan itu tidak mau pergi ? Siapa biang keladi semua ini ? Pokoknya usir saja, tidak usah ditembak,” kakek kembali memperlihatkan wajah masam. Suaranya saja sudah terdengar seperti marah kepada seseorang.

Sehabis menerima telepon, kakek menenangkan dirinya sejenak, ada sedikit gumaman kakek. Cuma Kiki tidak mendengar. Kiki melihat bujang Saleh seperti orang kebingungan. Kenapa ya ? Belum terjawab pertanyaan dalam hatinya, Ale, Meta dan Ryan mengajaknya foto bersama. Kiki pun melupakan apa yang dilihatnya.

Sekarang mereka melaju ke Loksado. Kiki melihat-lihat bagaimana suasana di dalam rumah panjang, rumah adat suku Dayak. Yang selama ini hanya diketahui lewat buku dan acara televisi saja. Lagi-lagi handphone kakek berdering. Kakek segera cepat-cepat turun dari rumah panjang. Kali ini suara kakek terdengar marah-marah.

Anak-anak tidak berani mendekat. Mereka lalu mencari bujang Saleh. Namun yang dicari tidak ada. Kemana bujang Saleh berada ? Ternyata bujang Saleh bersembunyi dibalik pintu salah-satu kamar di rumah panjang itu. Mereka heran dengan sikap aneh bujang Saleh. Cuma sayangnya bujang Saleh tidak bisa menerangkan dengan jelas, meski dengan bahasa isyarat.

“Hari yang penuh misteri,” bisik Meta ke telinga Kiki. Kiki menganggukkan kepalanya. Seusai dari Loksado, hari menjelang sore. Ah, tidak terasa sebenarnya seharian itu mereka puasa. Tidak terasa lelah dan lapar.  Mereka masih tetap semangat dan kini siap berangkat ke Kandangan.

Kandangan adalah tempat dimana terdapat banyak kerbau rawa. Sebenarnya kerbau-kerbau tersebut adalah kerbau liar. Namun sekarang ini telah banyak orang yang disana yang memelihara kerbau rawa. Seperti di sore itu. Banyak sekali kerbau disana. Mereka berkubang di rawa-rawa yang terhampar meluas. Namun karena hari sudah sore mereka hanya melihat kerbau-kerbau yang beranjak berjalan pulang menuju kandang.

Mulanya Kiki berharap tidak ada lagi dering telepon di handphone kakek. Tidak juga ada kegelisahan pada diri bujang Saleh. Sayangnya harapan itu pupus. Handphone kakek berdering lagi. Begitu pula bujang Saleh menghilang. Anak-anak pun menjadi lesu. Mungkin pula karena hari menjelang maghrib, rasa haus, lapar, dan lelah menyerbu menjadi satu.

“Siapa pula yang berbuat macam itu ? Tidak bertanggungjawab ! Beraninya mengerahkan Orangutan untuk merusak lahan ! Biar nanti aku lapor ke polisi kalau sudah menemukan alat bukti !” maki kakek entah kepada siapa.

Seusai nelepon, kakek kemudian mengajak anak-anak ke sebuah rumah makan. Tanpa diduga, bujang Saleh kembali ada. Entah darimana datangnya. Wajahnya terlihat pucat dan sangat lelah. Untunglah selama makan dan juga perjalanan pulang tidak ada dering telepon lagi. Bujang Saleh pun tidur pulas di dalam mobil.

Bujang Saleh baru bangun sesaat mendengar suara berisik. Rupanya terjadi kemacetan panjang. Bujang Saleh melihat ke sekeliling. Sebenarnya jaraknya sudah dekat ke rumah. Hanya saja karena macet, mereka masih lama di perjalanan. Kakek mengetuk-ngetukkan jarinya ke batang kemudi. Kakek sudah tidak sabar, tangannya kemudian membuka jendela di sampingnya.

“Ada apa, macet seperti ini ?” tanya kakek kepada seorang pengendara motor di dekatnya.

“Entahlah, pak. Sepertinya ada mobil yang ditangkap polisi,”

“Mungkin tidak bawa surat-surat,”

“Bukan, kata orang karena mobil itu membawa batubara illegal,”

“Darimana asal mobil itu ?”

“Saya tidak tahu,”

“Mudah-mudahan saja truk itu tidak dilepas lagi dengan setumpuk uang,”

“Saya rasa tidak, komandan yang sekarang berani dan jujur, pak,”

Baru saja orang itu menjawab, jalanan kembali lancar. Kakek menggeleng-gelengkan kepalanya manakala berpapasan dengan mobil truk ukuran sedang yang membawa batubara illegal itu. Tampak sopir beserta temannya sudah diborgol polisi. Bujang Saleh terkejut saat melihat siapa yang diborgol polisi. Cepat-cepat bujang Saleh menundukkan kepalanya, tidak mau melihat lagi.

…………………..

Akhirnya mereka tiba di rumah tengah malam. Langsung saja mereka makan sahur dan kemudian pergi tidur. Perjalanan yang melelahkan membuat semuanya cepat terlelap. Kecuali kakek, yang lain bangun kesiangan. Kiki yang paling belakangan bangun, mendengar suara kakek seperti sedang menerima tamu.

Kiki mengintip dari balik tirai yang memisahkan ruang keluarga dan ruang tamu. Benar, kakek kedatangan dua orang tamu. Yang seorang berpakaian coklat-coklat khas pemda dan seorang seorang lagi berdasi. Yang berdasi terlihat mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sepertinya sebuah map plastik berisi setumpuk dokumen.

Kiki melihat wajah kakek tampak tidak senang. Kiki tiba-tiba merasa bangga dengan kakeknya. Kakek begitu tegas dan berwibawa. Kakek seperti sedang berdebat keras dan berusaha mempertahankan pendapatnya. Tamu yang berdasi berusaha membujuk kakek dengan segala daya. Sedangkan yang berpakaian pemda hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.

“Pak Tua tidak percaya denganku ?” tanya yang berdasi.

“Bukannya aku tidak percaya, tapi memang aku tidak suka politik,” jawab kakek datar.

“Pak Tua, tidak semuanya politik itu kotor,”

“Aku tahu,”

“Kami membutuhkan orang seperti bapak untuk menjadi pimpinan, paling tidak sebagai penasehat,”

“Aku sudah merasa cukup sebagai pimpinan dari keluargaku sendiri,”

“Tapi sebenarnya pak Tua bisa berperan lebih dari itu, pak Tua kenal dengan pak Herman, kan ? Dia lebih muda, tapi sekarang dia sudah jadi orang terpandang, pengaruhnya sudah sampai Jakarta,”

“Aku pun punya pengaruh sampai Jakarta, anak-anakku ada yang tinggal di Jakarta,”

“Bukan seperti itu……., yang jelas bila pak Tua bersedia, tidak hanya pengaruh ataupun jabatan, pak Tua juga bisa jadi bupati, bisa memiliki kebun sawit tiga kali lipat luasnya……, bisa punya tambang batubara………,”

“Tidak, aku tidak mau, aku sudah merasa cukup sekarang ini, aku rasa sudah cukup waktunya, aku mau lihat kerusakan yang semalam di kebun,”

“Dirusak oleh Orangutan ?”

“Kok tahu ?”

“Oh, itu bisa diduga banyak orang, kan ?”

“Memang,”

“Ki,” Kiki terkejut karena pundaknya ditepuk oleh seseorang. Ternyata itu adalah nenek. “Tidak baik menguping pembicaraan orangtua,” nenek menasehati dengan lemah lembut sambil membawa Kiki menjauh ke dalam rumah.

“Aku hanya ingin tahu, nek,”

“Sebenarnya alasan untuk tidak boleh mendengar pembicaraan orangtua adalah supaya kamu tidak ikut memikirkan beratnya masalah orangtua. Cukup untuk seusiamu menikmati masa anak-anak, belajar dengan rajin, dan berusaha mejadi orang dewasa yang baik dan bijak,”kata nenek sambil tersenyum.

“Juga berani, nek, seperti kakek,”

“Kakekmu memang pemberani,”

“Seperti nenek juga,” Nenek pun tersenyum mendengar pujian Kiki.

Kemudian, setelah kedua orang tamu itu pergi, Kiki menyaksikan kakeknya bersama bujang Saleh cepat-cepat berangkat ke kebun. Kebun ini bukan yang di belakang rumah, kebunnya jauh hingga hilang di pandangan mata. Kiki lalu mencari-cari Ryan, Ale, dan Meta. Mereka rupanya sudah berada di luar rumah, kecuali Ale.

“Hei, mau kemana kalian ?” tanya Kiki sambil berlari menjumpai mereka.

“Hendak menyusul kakek,” jawab Ryan.

“Aku ikut !” seru Kiki.

“Ayo, kita tunggu Ale, dia sedang mencari bang Rohim,” sahut Meta.

Di tempat lain, dekat warung pinggir jalan, Ale mencari-cari Rohim. Ale sudah pernah menumpang mobil Rohim ketika habis pulang main bola pada liburan sekolah kemarin. Biasanya Rohim nongkrong di warung sambil nunggu muatan barang-barang yang minta diantar ke suatu tempat.

“Hei, Ale ! Sedang apa kamu disini ?” tegur Rohim tiba-tiba mengagetkan Ale.

“Aku cari bang Rohim, aku minta diantar ke kebun kakek. Bang Rohim dari mana ? Biasanya bang Rohim ada di warung ini,”

“Kebetulan, pak Tua juga menyuruhku ke kebun. Tadi aku makan dulu, cuma bukan di warung ini, di warung yang lain. Sesekali variasi makananlah. Kalau begitu, ayolah kita berangkat,”

“Dimana mobil abang ?”

“Nanti aku ambil dulu,”

Rohim menuju suatu tempat diikuti Ale. “Kalau bukan karena pak Tua orangnya baik, aku tidak mau disuruh-suruh dia. Lebih baik aku cari sampingan saja, antar barang orang kemana-mana,” kata Rohim sambil jalan.

“Bang Rohim bukan karyawan kakek ?” Ale ingin menegaskan.

“Bukan, aku orang bebas. Tetapi karena aku banyak ditolong pak Tua, salah-satunya bisa memiliki mobil ini, tak apalah membantunya kalau diperlukan,” Rohim bercerita.

Ale baru menyadari dimana Rohim menaruh mobilnya. Ternyata di tempat penampungan Orangutan ! Tempat itu memang tidak jauh dari warung. Dari luar yang terlihat hanya sebuah bengkel motor dan mobil. Ada juga pemotongan kayu yang mungkin sisa dari kayu penebangan illegal. Mungkin.

Nah, di belakang bengkel itulah terdapat kandang-kandang Orangutan yang ditemukan tidak sengaja, atau diambil dengan sengaja, atau dijebak dengan perangkap. Karena kesibukan bengkel itulah suara Orangutan menjadi tersamar. Ale tidak menyangka jika ternyata Rohim menjadi bagian dari bengkel ini.

Setelah mobil dikeluarkan dari bengkel, Rohim pun meminta Ale naik di depan. Tetapi Ale tidak mau, dia ingin merasakan duduk di belakang mobil. Begitu Ale naik, Rohim pun memacu mobilnya ke arah rumah kakek. Disana telah menunggu dengan sabar Ryan, Meta, dan Kiki. Kiki yang baru saja selesai menulis di tablet, cepat-cepat memasukkan tabletnya ke dalam tas ransel.

Sesaat mobil yang ditunggu tiba, dengan sigap mereka menaiki bak belakang mobil. Sama seperti yang tadi, Rohim pun mengemudikan mobil dengan cepat. Nyaris mereka terbanting jatuh. Untungnya mereka berpegangan kuat di pinggir mobil. Di suatu petak kebun yang cukup jauh, Rohim menghentikan mobilnya.

“Kalian turun disini saja, aku tidak mau dimarahi pak Tua karena telah membawa kalian ke kebun. Tempat ini aman, nanti juga pak Tua akan lewat sini kalau pulang,” katanya menjelaskan.

“Baiklah, terima kasih bang Rohim. Ayo semua turun !” sahut Ale sambil memberi perintah kepada yang lain.

Setelah menurunkan penumpangnya, Rohim kemudian memacu mobilnya ke tengah kebun, untuk kemudian bergabung dengan teman-temannya membantu kakek. Kakek sendiri sedang sibuk mengawasi para karyawan kebun mengumpulkan bukti-bukti perusakan kebun. Dari jejak dan bukti-bukti tersebut terlihat pelakunya mungkin adalah manusia. Bukan Orangutan !

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun