Saya masih mengingat aroma tanah basah pada pedalaman Tayawi, Kecamatan Oba, Kota Tidore Kepulauan. Di sana, hidup sekelompok manusia yang menolak tunduk pada logika kemajuan modern, sebuah penolakan yang bagi dunia luar mungkin dianggap keterbelakangan, tetapi justru di situlah mereka menyembunyikan bentuk tertinggi dari kebijaksanaan.
Mereka adalah orang-orang Suku Tobelo Dalam, atau yang menyebut diri mereka O'Hongana Manyawa, manusia penghuni hutan. Dalam kesunyian yang berpadu dengan desir sungai dan gemerisik daun, saya menyaksikan bagaimana masyarakat ini mempertahankan cara hidup yang bagi sebagian orang tampak sederhana, namun di dalamnya berdenyut pandangan filosofis dan kebijaksanaan ekologis yang mendalam.
Bagi Tobelo Dalam, kebudayaan bukan proyek yang harus diciptakan, melainkan cara hidup yang menyatu dengan dunia. Saya menyadari mereka tidak mengenal dikotomi tajam antara manusia dan alam. Pohon, tanah, dan hewan tidak ditempatkan sebagai lain, melainkan sebagai bagian dari keluarga kosmik.
Saat mereka menebang pohon atau berburu, selalu ada ritual penghormatan bukan karena takut pada kekuatan supranatural, tetapi karena mereka paham hidup hanya mungkin berlangsung bila dijalani dengan hormat. Di situlah saya merasakan apa yang disebut Martin Heidegger being in the world keberadaan yang tak terpisah dari dunia, melainkan bagian dari jaringan makna di dalamnya. Hidup, bagi mereka, bukan tentang menaklukkan, tetapi mengada bersama alam.
Dalam perspektif eksistensial, kesadaran seperti ini mencerminkan aletheia kebenaran yang menyingkap diri. Saya menyadari bahwa bagi orang-orang Tobelo Dalam, hutan bukanlah sumber daya yang menunggu dieksploitasi, melainkan ruang yang menyingkap maknanya melalui relasi, bukan kepemilikan. Setiap tindakan mereka adalah praksis ekologis berburu untuk hidup, bukan menimbun, berpindah tempat agar tanah pulih, bukan karena terpaksa. Kebudayaan mereka menjadi filsafat ekologis praksis, yang ironisnya sulit ditemukan di tengah dunia modern yang sibuk memproduksi teori tanpa pengalaman.
Bahasa mereka menegaskan kedalaman pandangan itu. Dialek orang-orang Tobelo Dalam bukan sekadar sistem bunyi, tetapi struktur pengetahuan yang hidup. Saya mendengar kata-kata yang meniru suara burung, desiran air, dan gesekan dedaunan seolah seluruh hutan ikut berbicara. Dalam pandangan Merleau-Ponty  bahasa mereka adalah tubuh yang berbahasa, tumbuh dari pengalaman inderawi terhadap dunia. Saya tertegun, bahasa orang-orang Tobelo Dalam bukan alat untuk menggambarkan realitas, tetapi bagian dari realitas itu sendiri.
Saya pernah membaca sebuah pandangan, Ludwig Wittgenstein, batas bahasaku adalah batas duniaku. Tapi dunia orang-orang Tobelo Dalam luas karena bahasa mereka tidak hanya menamai, tetapi memanggil makna. Saat menyebut nama pohon atau hewan, mereka tidak sekadar menyuarakan bunyi, melainkan mengundang kehadiran spiritual. Dalam masyarakat yang masih menjaga kesakralan kata, setiap ucapan membawa konsekuensi moral. Di sini, saya memahami, berbicara berarti bertanggung jawab atas dunia yang disebut.
Bahasa itu menumbuh dalam sastra lisan. Di malam hari, di bawah cahaya api yang redup, saya pernah mendengarkan kisah tentang roh penjaga hutan, manusia yang berubah menjadi burung, atau sungai yang memiliki kehendak. Bagi sebagian orang, mungkin itu sekadar mitos. Tapi Claude Levi Strauss sudah lama mengingatkan, mitos adalah logika yang berpikir dalam bentuk narasi.
Di dalam kisah mereka, alam bukan objek, melainkan subjek yang berbicara. Kisah tentang lelaki yang kehilangan bayangan karena menebang pohon tanpa izin roh hutan, bukan dongeng, tapi peringatan moral bahwa siapa pun yang memutus hubungan dengan alam akan kehilangan jati dirinya.
Namun, realitas di luar hutan berjalan dengan logika lain, logika penertiban dan penyeragaman. Saya melihat bagaimana kekuasaan modern datang dengan janji kemajuan, tapi di baliknya membawa proyek normalisasi. Program pemukiman, pendidikan formal, dan penyebaran agama tampak mulia, tapi sering kali memaksa orang-orang Tobelo Dalam untuk meninggalkan dunia yang menjadi sumber makna mereka.