Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Cerita di Balik Festival Reyog Nasional 2016

2 Oktober 2016   07:34 Diperbarui: 2 Oktober 2016   11:05 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampilan kontingen Surabaya, aksen Suroboyoan-nya terasa kental membuat daya tarik tersendiri

Pergelaran Festival Reyog Nasional segera usai. Kejutan demi kejutan terus bermunculan, persaingan antar kandidat semakin sengit. Inilah daya tarik tersendiri bagi penonton, bisa mengetahui seberapa jauh reyog bisa diterima atau bisa berkembang pada tempat asal kontingen.

Meski ada pakem, tetapi nuansa kedaerahan asal kontingen bisa terasa kental terasa. Suatu misal kontingen dari Surabaya, make-up penarinya mirip-mirip penari remo. Begitu juga asesoris 'krincing' yang biasa dipasang di kaki penari remo. Krincing (lonceng kecil-kecil) tersebut dipasang pada jaranan, bukan pada kaki seperti penari remo. Sehingga di setiap hentakan atau gerakan penari pasti ada bunyi-bunyian cring... cring seperti penari Suroboyoan.

Begitu juga kontingen dari Jakarta atau Jawa Barat-an, tarian asli daerah tersebut mewarnai reyog yang mereka bawakan. Jaipong, gerakan penari perempuannya mirip-mirip tari Jaipong, meski sebenarnya tidak keluar dari pakem.

warok dan jathilan
warok dan jathilan
Warok bertempur, kontingen Surabaya
Warok bertempur, kontingen Surabaya
Sebenarnya Festival Reyog itu semacam sendratari yang menceritakan perjuangan Prabu Klewandono mengalahkan Singobarong (reyog yang bisa diartikan juga angkara murka). Kolon Sewandono dibantu prajurit berkuda dan prajurit warok. Kemenangan akhirnya berada di pihak Prabu Klono Sewandono, dan singo barong kalah dan akhirnya menjadi pengikut Prabu Klewandono untuk bersama-sama membangun Ponorogo. 

Hal di atas membuat para kontingen berlomba-lomba menunjukkan kreativitasnya dan tampil all out. Sehingga dari tahun ke tahun ada nuansa baru dari penampilan kontingen luar Ponorogo. Apakah mereka salah? Tentu tidak sebagai bukti seringkali kontingen tamu sering menggondol predikat terbaik. Tentu ini sinyal positif kalau perkembangan reyog tidak kaku oleh jaman, meski ada aturan main yang tidak boleh dilanggar, seperti pakem. 

Begitu juga penampilan reyog Brawijaya, kontingen dari Universitas Barwijaya Malang. Penonton sudah tidak sabar menunggu tampilnya grup ini

Apa yang istimewa?

Kontingen dari Universitas Brawijaya kemarin tampil luar biasa, tariannya rancak dan dinamis. Penari jathilan (pasukan berkuda) terlihat tegas dan tangkas mirip prajurit perang, tidak seperti biasanya yang  manja (mellow). 

Begitu juga tarian warok juga terkesan tegas seperti tentara, atraktif dan tangkas. Penonton berkali-kali dipaksa memberi applause. Kekompakan mereka benar-benar mirip pasukan perang. Pasukan perang Brawijaya??

Entahlah...

Tarian warok, cerita pertempuran
Tarian warok, cerita pertempuran
Kelono Sewandono bertempur melawan Singo Barong
Kelono Sewandono bertempur melawan Singo Barong
Selesai pertunjukan saya berhasil mengejar pelatih tarinya, Mbak Queen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun