Di kelokan ke dua kami bertiga berhenti.
Mengatur nafas setelah menuruni tangga landai (ramp). Saya berada di depan menahan lajunya kereta, sedangkan satu perempuan menarik kereta ke arah belakang agar laju kereta bisa dikendalikan. Sedangkan satunya lagi diam, mengikuti terombang-ambing nya kereta.
Namun begitu laju kereta tak sempurna kami tahan, sebagai alternatif pinggir kereta saya pepetkan ke tembok pembatas.
Digesrekan (ditabrakkan) ke tembok sebagai rem kereta.
Barutan panjang pada tembok tersisa akibat gesekan besi kereta.
"Mas.. Suamiku benar sudah meninggal?" Tanya perempuan yang bersamaku di jam 3:30 Â pagi.Â
Aku lambaikan tangan agar mendekat padaku, aku pegang tangannya lalu aku letakkan pada bagian yang menumbung di hadapakku.
Aku tarik perlahan selimut penutupnya.
Wajah pucat kulit dingin, dan ada tali perban dari dagu ke arah puncak kepala.
"Iya mas, suamiku sudah mati..." Katanya sambil teriak menangis lagi.
"Diam, kalau nggak diam aku moh lanjutkan perjalanan lagi... Masukkan lagi HP-mu biar gak jatuh.." Kataku pada perempuan tersebut.
"Sudah siap? Kamu tarik keretanya dengan kuat, aku tahan dari depan... Jangan sampai meluncur bebas... " Ajakku lagi, dia memasukkan HP pada tasnya.
Dan turunan tajam siap untuk uji nyali lagi.
Perempuan tersebut adalah istri dari jenasah yang akan saya antar ke kamar jenasah.
Suaminya meninggal jam 3 pagi, berdua dengannya saya mengurus jenasah suaminya.
Mulai melepasi selang dan kabel yang menempel sampai merapatkan kaki, tangan dan mulutnya.