Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pertanyaan di Kelokan Dua Jam 3:30 Pagi

31 Juli 2021   10:51 Diperbarui: 31 Juli 2021   11:35 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tak muat masuk lift (pict. cakrawalapersada.com) 

Di kelokan ke dua kami bertiga berhenti.
Mengatur nafas setelah menuruni tangga landai (ramp). Saya berada di depan menahan lajunya kereta, sedangkan satu perempuan menarik kereta ke arah belakang agar laju kereta bisa dikendalikan. Sedangkan satunya lagi diam, mengikuti terombang-ambing nya kereta.

Namun begitu laju kereta tak sempurna kami tahan, sebagai alternatif pinggir kereta saya pepetkan ke tembok pembatas.
Digesrekan (ditabrakkan) ke tembok sebagai rem kereta.
Barutan panjang pada tembok tersisa akibat gesekan besi kereta.

"Mas.. Suamiku benar sudah meninggal?" Tanya perempuan yang bersamaku di jam 3:30  pagi. 

Aku lambaikan tangan agar mendekat padaku, aku pegang tangannya lalu aku letakkan pada bagian yang menumbung di hadapakku.
Aku tarik perlahan selimut penutupnya.

Wajah pucat kulit dingin, dan ada tali perban dari dagu ke arah puncak kepala.

"Iya mas, suamiku sudah mati..." Katanya sambil teriak menangis lagi.

"Diam, kalau nggak diam aku moh lanjutkan perjalanan lagi... Masukkan lagi HP-mu biar gak jatuh.." Kataku pada perempuan tersebut.

"Sudah siap? Kamu tarik keretanya dengan kuat, aku tahan dari depan... Jangan sampai meluncur bebas... " Ajakku lagi, dia memasukkan HP pada tasnya.
Dan turunan tajam siap untuk uji nyali lagi.

Perempuan tersebut adalah istri dari jenasah yang akan saya antar ke kamar jenasah.

Suaminya meninggal jam 3 pagi, berdua dengannya saya mengurus jenasah suaminya.
Mulai melepasi selang dan kabel yang menempel sampai merapatkan kaki, tangan dan mulutnya.

Sambil menangis dia membantu saya untuk mengemasi barang-barang.
Barang yang sekiranya gak penting sudah saya suruh ninggal. Tapi dasar perempuan semua di kemas dalam 7-8 kantong plastik putih dan hitam. Lalu biar gak repot saya taruh di dekat kaki dan samping jenasah di atas kereta.
Mirip habis belanja di mall.
Tidak bisa lewat lift karena lift tidak muat dengan ukuran tempat tidur pasien (kereta)

Lorong panjang menuju kamar jenasah sepi, tidak seperti hari sebelumnya bertemu beberapa pengantar jenasah dari ruang lainnya.

"Mas... Suamiku sudah mati. " Tanyanya lagi, aku geleng kepala kode gak mau lagi untuk kali ke 3 buka penutup jenasah bagian muka. Perempuan itu akan terus bertanya dengan pertanyaan yang sama ketika kami istirahat ambil nafas.

Ponorogo, 31 Juli 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun