Gunung Rinjani, mahkota Pulau Lombok yang menjulang setinggi 3.726 meter di atas permukaan laut, telah lama menjadi simbol kebanggaan masyarakat Nusa Tenggara Barat. Ia bukan hanya gunung tertinggi kedua di Indonesia, tetapi juga merupakan tapal batas antara keindahan, spiritualitas, dan ketangguhan alam yang memanggil ribuan pendaki dari berbagai penjuru dunia.
Namun, di balik pesona Segara Anak, padang savana, dan puncak megahnya, Rinjani kini menghadapi ancaman yang semakin nyata: meningkatnya kecelakaan pendakian, penurunan etika pendaki, serta lemahnya sistem manajemen kawasan.
Lonjakan Kecelakaan: Alarm Bahaya yang Terabaikan
Musim pendakian tahun ini kembali membuka luka lama. Sejumlah pendaki harus dievakuasi karena cedera, dehidrasi, hipotermia, hingga ada yang kehilangan nyawa. Dalam beberapa kasus, penyebabnya sepele: kurang persiapan, menyepelekan kondisi fisik, dan minimnya informasi cuaca atau medan.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah maraknya pendaki "dadakan" yang hanya bermodal semangat dan niat konten media sosial. Bagi mereka, puncak Rinjani adalah ajang eksistensi, bukan tempat kontemplasi atau uji mental. Tidak sedikit dari mereka yang mendaki tanpa pemandu, tanpa logistik memadai, bahkan tanpa pemahaman dasar tentang survival di alam bebas.
Sistem yang Gagal Melindungi
Pemerintah melalui Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) sebenarnya telah menerapkan sistem booking online dan kuota pendaki. Namun, sistem ini belum sepenuhnya mampu menjawab persoalan mendasar: keselamatan dan ketertiban pendakian. Banyak jalur yang minim rambu keselamatan, titik evakuasi yang belum memadai, serta ketiadaan pos penjagaan aktif di jalur rawan.
Tim SAR memang sigap, tetapi personelnya terbatas. Di sisi lain, pemerintah daerah dan BTNGR sering terkesan hanya responsif saat terjadi musibah, bukan proaktif dalam mencegahnya. Edukasi kepada pendaki masih minim, bahkan tidak sedikit operator atau agen pendakian yang hanya mengejar keuntungan tanpa mempertimbangkan aspek keselamatan.
Porter dan Pemandu Lokal: Pahlawan yang Terlupakan
Di tengah kekacauan sistem, para porter dan pemandu lokal justru menjadi garda depan penyelamat. Mereka yang mengangkat barang pendaki, memandu di medan berat, hingga membantu proses evakuasi dalam kondisi darurat. Namun sayangnya, mereka sering kali luput dari perhatian. Upah rendah, perlindungan kerja minim, dan pelatihan terbatas masih menjadi persoalan klasik.