Jika pemerintah serius ingin menjadikan Rinjani sebagai destinasi kelas dunia, maka investasi pertama harusnya diberikan pada mereka---mereka yang bersentuhan langsung dengan pendaki dan alam.
Antara Pariwisata dan Konservasi
Rinjani adalah taman nasional. Artinya, kawasan ini bukan hanya milik pariwisata, tetapi juga milik konservasi. Namun kenyataannya, pendakian kerap meninggalkan jejak kerusakan: sampah berserakan, vandalisme, dan abrasi jalur akibat overkapasitas.
Pariwisata berbasis alam yang tidak dibarengi dengan regulasi dan pengawasan ketat hanya akan membawa kerusakan. Dalam jangka panjang, jika ini dibiarkan, Rinjani bisa berubah dari tempat yang sakral menjadi kuburan alami---bukan hanya bagi pendaki, tetapi juga bagi nilai-nilai luhur yang dulu dijunjung oleh masyarakat adat Sasak.
Membangun Ulang Kesadaran Kolektif
Solusi tidak bisa hanya bergantung pada satu pihak. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, BTNGR, komunitas pecinta alam, operator wisata, dan masyarakat lokal harus duduk bersama untuk merumuskan sistem pendakian yang berbasis keselamatan, keberlanjutan, dan budaya.
Beberapa langkah yang mendesak untuk dilakukan:
1. Mewajibkan sertifikasi atau pelatihan dasar bagi calon pendaki.
2. Meningkatkan kualitas dan jumlah pos pengawasan di jalur pendakian.
3. Melibatkan masyarakat lokal secara aktif dalam pengawasan dan penyuluhan.
4. Memberikan hak dan perlindungan kerja layak bagi porter dan pemandu.