Ini bukan sekadar kekerasan situasional, tetapi sebuah sistem yang dirancang untuk membuat kehidupan mustahil, sehingga penduduk Gaza tidak memiliki energi atau sarana untuk melawan---atau bahkan sekadar mempertahankan martabat mereka. Arendt menggambarkan kamp konsentrasi Nazi sebagai laboratorium totalitarianisme karena mereka mengubah manusia menjadi "makhluk tanpa-arti" (superfluous creatures), yang hidupnya tidak lagi dianggap bernilai. Gaza, dalam banyak hal, menjadi laboratorium serupa: sebuah tempat di mana penduduknya dipaksa hidup dalam kondisi yang sengaja dibuat tidak manusiawi, sementara dunia luar diajak untuk melihatnya sebagai konsekuensi yang tak terhindarkan dari "perang melawan teror."
Ideologi dan Dekonstruksi Realitas
Ciri lain totalitarianisme adalah penggunaan ideologi untuk menciptakan realitas alternatif. Arendt mencatat bagaimana Nazi dan rezim Stalinis menggunakan propaganda bukan hanya untuk membenarkan kekerasan, tetapi untuk menggantikan fakta dengan fiksi ideologis.
Di Israel, narasi dominan tentang konflik ini sering dibingkai dalam logika "tidak ada pilihan" atau "kita hanya membela diri." Serangan terhadap rumah sakit, misalnya, dijelaskan sebagai "adanya terowongan Hamas di bawahnya," terlepas dari bukti yang bertentangan atau korban sipil yang berjatuhan. Bahasa yang digunakan oleh pejabat Israel---seperti menyebut Palestina sebagai "binatang" atau "ancaman demografis"---mengingatkan pada retorika dehumanisasi yang menjadi dasar genosida.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana narasi ini tidak hanya dikonsumsi oleh masyarakat Israel, tetapi juga oleh banyak pendukung internasional. Arendt akan menyoroti ini sebagai tanda "banalitas kejahatan": kekerasan menjadi biasa karena diterima sebagai sesuatu yang tak terelakkan, bahkan perlu. Ketika akses terhadap obat-obatan diputus, ketika anak-anak mati karena bom fosfor, ketika seluruh keluarga dihapus dari daftar penduduk karena gedung mereka dihancurkan---semua ini dinormalisasi sebagai bagian dari "perang," bukan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Fragmentasi dan Penghancuran Solidaritas
Totalitarianisme, bagi Arendt, bergantung pada pemecahan masyarakat menjadi individu-individu yang terisolasi, kehilangan kemampuan untuk bertindak bersama. Kebijakan Israel terhadap Palestina mencerminkan ini dengan sempurna:
- Gaza dipisahkan dari Tepi Barat, membuat koordinasi politik hampir mustahil.
- Warga Palestina di Israel sendiri diperlakukan sebagai warga kelas dua, dengan hak yang dibatasi.
- Sistem izin dan tembok pemisah memastikan bahwa pergerakan, bahkan untuk keperluan medis atau keluarga, tunduk pada kontrol militer.
Dengan memecah belah masyarakat Palestina, Israel tidak hanya melemahkan perlawanan politik, tetapi juga menghancurkan kemungkinan solidaritas---baik di antara Palestina sendiri maupun dengan dunia luar.