Buku Eichmann in Jerusalem terbit pada 1963. Penulisnya, Hannah Arendt, dianggap publik Israel meremehkan penderitaan Holocaust dan menyalahkan sebagian korban. Bukunya hingga kiwari masih merupakan titik perdebatan yang intens mengenai memori, keadilan, dan identitas Yahudi.
Arendt, saya yakin anda tahu bahwa ia adalah wanita. Dia bergendak dengan Heidegger. Yang terakhir, anda pasti tahu bahwa dia adalah filsuf Jerman terkenal. Hubungan Arent-Heidegger dimulai pada pertengahan 1920-an ketika masih jadi mahasiswi berusia 18 tahun di Universitas Marburg, dan Heidegger adalah profesornya yang berusia 36 tahun dan--garisbawahi--sudah menikah. Hubungan keduanya bersifat rahasia, dengan intensitas intelektual dan romantis yang musykil. Simbiosis Arendt-Heidegger disebut-sebut sebagai salah satu "pasangan paling aneh dalam sejarah filsafat."
Relasi keduanya adalah timbal-balik antara seorang filsuf yang terang-terangan mendukung Nazi dengan seorang pemikir Yahudi terkemuka yang belakangan menjadi korban Nazi. Koneksi keduanya putus nyambung.
Selusin warsa sebelum buku Eichmann, Arendt menulis buku bertajuk The Origins of Totalitarianism. Di buku ini, ia menggambarkan sebuah sistem yang tidak hanya menindas lawan politik, tetapi juga membongkar struktur realitas itu sendiri melalui teror, ideologi, dan penghancuran ruang publik.Ia mengembangkan konsep totalitarianisme bukan hanya sebagai deskripsi rezim seperti Nazi Jerman atau Stalinis Soviet, tetapi sebagai kerangka untuk memahami bagaimana kekuasaan dapat bekerja untuk menghancurkan hakikat manusia sebagai makhluk yang bebas dan politis. Konsep ini relevan bukan hanya untuk sejarah, tetapi juga untuk membaca kekerasan politik kontemporer---termasuk kebijakan Israel terhadap Palestina, khususnya dalam pendudukan Gaza.
Arendt memilih gaya penulisan yang dingin dan analitis. Ini adalah pilihan yang disengaja untuk mencapai tujuan intelektualnya: memahami dan menganalisis kejahatan dalam skala massal dari perspektif politik dan filosofis, tanpa terhalang oleh emosi atau sentimentalisme. Meskipun hal ini menyebabkan kritik keras dan rasa tidak nyaman, terutama dari mereka yang menginginkan narasi yang lebih "manusiawi" dan empatik tentang Holocaust, Arendt meyakini bahwa pendekatannya adalah cara yang diperlukan untuk menghadapi "realitas yang luar biasa" dari kejahatan totalitarian.
Logika Totaliter dalam Pendudukan Kolonial
Totalitarianisme, dalam pemahaman Arendt, berbeda dari sekadar kediktatoran atau otoritarianisme. Rezim totaliter tidak puas hanya dengan menekan oposisi; ia berusaha mengikis kemampuan manusia untuk berpikir, bertindak, dan bahkan mengalami realitas di luar narasi yang ditetapkan oleh penguasa. Dalam konteks Israel-Palestina, meskipun Israel sendiri bukan negara totaliter secara internal---masih ada pemilu, pers yang relatif bebas, dan perdebatan politik---cara ia mengelola pendudukan atas Palestina, terutama Gaza, mengandung benih-benih logika totalitarian.
Blokade Gaza sejak 2007, misalnya, bukan sekadar keputusan keamanan, tetapi sebuah sistem kontrol yang membatasi setiap aspek kehidupan: dari pergerakan manusia hingga aliran air, listrik, dan obat-obatan. Arendt mungkin akan melihat ini sebagai upaya untuk "mengurangi manusia menjadi sekadar makhluk yang bertahan," di mana politik sebagai ruang kebebasan digantikan oleh kelangsungan hidup yang bergantung pada belas kasihan penguasa. Ini adalah ciri khas totalitarianisme: penghancuran agensi manusia.
Teror sebagai Kebijakan Rutin
Salah satu analisis kunci Arendt adalah peran teror bukan sebagai alat sesaat, tetapi sebagai mekanisme permanen untuk memastikan kepatuhan. Dalam konteks Gaza, teror ini terlihat dalam beberapa bentuk:
Pertama, pemboman yang menghancurkan infrastruktur sipil---sekolah, rumah sakit, sistem saluran air---tidak selalu dapat dibenarkan sebagai target militer, melainkan sebagai cara untuk melemahkan kapasitas hidup seluruh populasi. Kedua, pemblokadean sumber daya dasar seperti bahan bakar, air bersih, dan listrik menciptakan krisis kemanusiaan yang disengaja, sebuah bentuk hukuman kolektif yang dilarang oleh hukum humaniter internasional.