Pernyataan Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar, tentang profesi guru yang seharusnya ikhlas karena imbalan materi yang tidak sebanding dengan profesi lain, menuai kontroversi di kalangan pendidik dan warganet.
Ungkapan tersebut dilontarkan saat pembukaan Pendidikan Profesi Guru (PPG) Batch 3 di UIN Syarif Hidayatullah, Tangerang Selatan, Rabu (3/9/2025). Imbauan untuk beralih profesi menjadi pedagang jika orientasi utamanya adalah materi, memicu gelombang kritik dan perdebatan tentang hakikat profesi guru dan kesejahteraannya.
Pernyataan ini muncul di tengah tingginya minat generasi muda untuk menjadi guru, terutama dalam mengejar peluang menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Data statistik di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi per 9 September 2025 menunjukkan, bidang pendidikan menjadi pilihan terbanyak dengan lebih dari 2,2 juta mahasiswa.
Dalam sambutannya di acara PPG, Nasaruddin Umar menyampaikan, "Banggalah menjadi seorang guru, jangan minder. Menjadi guru itu mulia sekali, halalan thoyyiban. Rezekinya insyaallah, makanya jangan ikut-ikutan kayak pedagang yang memang tujuannya mencari uang. Kalau niatnya cari uang, jangan jadi guru, tapi jadi pedagang."
Pernyataan ini dengan cepat menyebar dan memicu reaksi keras dari berbagai pihak. Banyak guru dan dosen yang merasa tersinggung dan mempertanyakan pandangan Menteri Agama terhadap profesi mereka. Gelombang kritik di media sosial pun tak terhindarkan.
Menyadari dampak dari pernyataannya, Nasaruddin Umar kemudian menyampaikan permohonan maaf. "Saya menyadari bahwa potongan pernyataan saya tentang guru menimbulkan tafsir yang kurang tepat dan melukai perasaan sebagian guru. Untuk itu, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya. Tidak ada niat sedikit pun bagi saya untuk merendahkan profesi guru," ujarnya.
Paradoks
Polemik ini memunculkan pertanyaan mendasar: Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ikhlas dalam konteks profesi guru? Mengapa istilah "ikhlas" seolah hanya melekat pada profesi tertentu, sementara profesi lain tidak?
Dalam ajaran agama, ikhlas berarti melakukan sesuatu semata-mata karena Allah, tanpa mengharapkan imbalan duniawi. Namun, apakah ini berarti seorang guru tidak berhak mendapatkan imbalan yang layak atas pengabdian dan kerja kerasnya?
Dogma agama menempatkan guru pada posisi yang mulia. Guru adalah pewaris para nabi, pembimbing umat, dan agen perubahan sosial. Namun, kemuliaan ini seharusnya sejalan dengan penghargaan dan kesejahteraan yang memadai.
Negara memiliki tanggung jawab untuk memuliakan guru melalui kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan mereka. Undang-undang Guru dan Dosen telah mengamanatkan peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru. Namun, implementasinya masih jauh dari harapan.
Banyak guru, terutama di daerah terpencil, masih berjuang dengan gaji yang minim dan fasilitas yang tidak memadai. Kondisi ini tentu berdampak pada kualitas pendidikan dan motivasi guru dalam menjalankan tugasnya.
Pernyataan Menteri Agama seolah menempatkan profesi guru hanya sebagai urusan akhirat, mengabaikan aspek duniawi dan kesejahteraan. Padahal, guru adalah bagian integral dari sistem pendidikan yang memegang peran penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Guru membutuhkan dukungan materi dan moral yang memadai agar dapat menjalankan tugasnya dengan optimal. Kesejahteraan guru adalah investasi jangka panjang bagi kemajuan pendidikan dan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Polemik ini menjadi momentum untuk merefleksikan kembali arti penting profesi guru dan komitmen negara dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Guru bukan sekadar "pahlawan tanpa tanda jasa," tetapi juga profesional yang berhak mendapatkan pengakuan dan penghargaan yang layak.
Mencintai profesi guru, mengabdikan diri untuk mencerdaskan anak bangsa, adalah sebuah kemuliaan. Namun, kemuliaan ini tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan hak-hak guru sebagai manusia yang juga membutuhkan kesejahteraan.
Negara harus hadir untuk memastikan bahwa guru mendapatkan gaji yang layak, fasilitas yang memadai, dan kesempatan untuk mengembangkan diri. Dengan memuliakan guru, kita memuliakan masa depan bangsa. Karena di tangan merekalah, generasi penerus bangsa dididik dan dibentuk.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI