Mohon tunggu...
BUNGA FITRIA SUKMA
BUNGA FITRIA SUKMA Mohon Tunggu... Lainnya - 📍Kota Depok

اَلْاِنْسَانُ مَحَلُّ الْخَطَاءِ وَالنِّسْيَانِ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Politik Identitas dan Pluralisme Bangsa

6 Juni 2023   20:30 Diperbarui: 6 Juni 2023   20:38 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Isu politik identitas masih menjadi isu hangat yang ramai diperbincangkan di Indonesia. Apalagi saat ini Indonesia mulai mendekati tahun politik. Tahun dimana diselenggarakan pemilu yang rutin digelar setiap lima tahun sekali. Di Indonesia Politik identitas dinilai sebagai black campaign oleh Bawaslu, hal ini pun dibahas dalam diskusi bersama tokoh agama yang digelar pada hari Kamis 08 September 2022 lalu. Pemasukan Politik identitas kedalam Black Campaign memang bukan tanpa alasan. Politik identitas dinilai bisa memperuncing polarisasi pasca pemilu dan mengancam pluralisme bangsa.

Apa itu politik identitas?

Mengutip orasi ilmiah yang disampaikan oleh Ahmad Syafii Maarif yang dirangkum dalam buku Politik Identitas Dan Masa Depan Pluralisme Kita. Politik identitas secara substantif, dikaitkan dengan kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang merasa diperas dan tersingkir oleh dominasi arus besar dalam sebuah bangsa atau negara. Dapat diartikan, politik identitas adalah cara-cara mobilisasi masa atau meraih suara masa dengan menggunakan sentimen sara atau sentimen kesamaan. Kita lihat contoh pada kasus pemilu AS saat Barrack Obama mencalonkan diri menjadi Presiden AS. Saat itu politik identitas yang dimainkan adalah isu ras kulit putih dan kulit hitam. Pasalnya Obama adalah seorang kulit hitam pertama yang hendak maju menjadi presiden AS.

Politik identitas di Indonesia

Di Indonesia sendiri politik identitas menjadi mencuat pasca Pilkada DKI Jakarta pada 2017 silam. Di mana ada tiga pasangan calon yang salah satu diantaranya adalah Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang memiliki agama berbeda dari dua pasangan calon lainnya. Karena hal itu, ada permainan politik identitas di wilayah agama yang dimainkan. Polarisasi pasca Pilkada DKI Jakarta pun masih dirasakan hingga sekarang, dimana ada dua kubu yang saling berseberangan yang menamai masing-masing kubu dengan cebong-kampret.

Sedangkan menurut Anies Baswedan pada suatu kesempatan wawancara dengan Tempo. Potensi politik identitas memang tak bisa dihindarkan. Menurut mantan Rektor Paramadina dalam politik identitas ada unsur emosi yang dimainkan, serta politik identitas tak melulu soal agama tetapi tergantung pada peserta pemilu yang ikut pada kontestasi pemilu. Jika yang menjadi peserta pemilu berbeda secara etnis, maka unsur etnis yang dimainkan, jika berbeda secara gender, maka gender yang dimainkan, jadi politik identitas tak melulu soal agama.

Melihat dari paparan dua tokoh di atas, dapat kita ambil suatu konklusi bahwa politik identitas adalah sebuah cara untuk meraih suara dengan memainkan unsur sara sepeti, ras, etnis, hingga agama. Politik identitas akan menyebabkan polarisasi yang ekstrem jika tidak diatur oleh penyelenggara pemilu karena bisa menyebabkan konflik horizontal dalam sebuah negara.

Mencegah politik identitas

Sampai saat ini belum ada formula yang tepat untuk mencegah adanya politik identitas, serupa belum adanya formula khusus untuk mencegah politik uang. Tetapi mengutip kata pepatah tak ada penyakit yang tak ada obatnya. Politik identitas setidaknya bisa dicegah dengan beberapa hal. Tentunya hal ini mesti dijalankan oleh politisi dan elite politik yang maju dalam kotestasi pemilu.

Pertama, mewujudkan pemilu yang beradab. Politisi diharapkan memilih diksi yang tepat dan tidak menyinggung sara dalam setiap kampanye pemilu yang diselenggarakan. Serta lebih mengedepankan program dan beradu gagasan dalam program kerja bukan beradu secara pribadi atau personal.

Kedua, menyajikan calon lebih dari dua. Dengan banyaknya pasangan calon, polarisasi menjadi lebih terbagi dan tidak terfokus menjadi dua kubu. Banyaknya poros pada pemilu membuat polarisasi ekstrem dapat ditekan. Namun, hal ini sulit tercapai jika ambang batas presiden masih berlaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun