Sejak tujuh jendral angkatan darat diculik dan dibunuh oleh kelompok yang mengatasnamakan Gerakan 30 September, kondisi sosial politik dan keamanan Jakarta kian memburuk. Masyarakat dalam kondisi ketidak pastian.
Setelah aksi pembunuhan 7 jendral angkatan darat tersebut terkuak, gelombang tuntutan pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) merebak di berbagai wilayah di tanah air. Kondisi ini mencekam. Banyak yang bertindak diluar koridor hukum. Desakan bahkan tuntutan kepada Presiden Soekarno untuk membubarkan PKI kian menjadi-jadi.
Gelombang rakyat dan mahasiswa ini termasuk gerakan massa terbesar dalam sejarah Republik ini. Ditengah situasi politik yang kian mencekam, Presiden Soekarno yang juga panglima tertinggi memanggil Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto untuk dimintai saran terkait situasi politik dan keamanan saat itu. Hingga akhirnya Presiden Soekarno memerintahkan KSAD Mayjend Soeharto membubarkan demonstran yang kian massif. Presiden Soekarno mulai khawatir dengan jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia.
Ternyata KSAD Mayjend Soeharto tidak melaksanakan perintah panglima tertinggi untuk membubarkan demonstrasi yang menuntut Tritura. Soekarno jengkel dengan sikap KSAD Mayjend Soeharto yang tak kunjung membubarkan demonstran. Akhirnya, Soekarno memanggil kembali Mayjen Soeharto yang sudah diberikan perintah membubarkan demonstran.
Soekarno bertanya kepada Soeharto, “Harto, Jane aku iki arep kok apakke?” (Harto, sebenarnya aku ini akan kamu apakan?) Aku ini pemimpinmu” Soeharto dengan falsafah jawa menjawab pertanyaan Presiden Soekarno; “Bapak Presiden, Bapak tetap saya hormati, seperti saya menghormati orang tua saya. Bagi saya, Bapak tidak hanya pemimpin bangsa, tetapi saya anggap orang tua saya. Saya ingin mikul dhuwur mendhem jero,”.
Falsafah Jawa yang dikemukakan oleh Soeharto tersebut bernilai tinggi. Menujukkan bahwa kita sebagai sebuah bangsa memiliki tutur kehidupan yang amat tinggi. Namun amat disayangkan banyak diantara kita yang sudah meninggalkan filosofi mikul dhuwur mendhem jero. Mikul dhuwur mendhem jero tidak sebatas kepada orang tua. Ada banyak orang tua kita dalam kehidupan ini. Bahkan di dunia kerja, kehidupan bermasyarakat atau organisasi sekali pun, filosofi ini patut menjadi pegangan.
Terhadap guru-guru pun demikian, mikul dhuwur mendhem jero. Ketika membaca dialog Presiden Soekarno dengan KSAD Mayjend Soeharto, aku langsung teringat pada satu sosok yang ku kenal cukup baik. Sutriyono, biasa disapa Mas Tri. Saat ini ia dipercaya sebagai salah anggota Komisi II DPR RI Dapil Jawa Tengah 3 (Pati, Rembang, Grobogan dan Blora). Selama interaksi dengan Mas Tri, tidak pernah keluar dari mulutnya kalimat; mikul dhuwur mendhem jero. Namun dalam setiap sikap dan perilakunya, ia sangat menjiwai filosofi mikul dhuwur mendhem jero.
Dalam banyak hal, ia selalu menunjukkan mikul dhuwur mendhem jero. Meski secara sikap politik kadang berbeda dengan yang lain. Tapi ia tetap memegang falsafah mikul dhuwur mendhem jero. Apa sebenarnya rahasia dibalik mikul dhuwur mendhem jero? Keberkahan dan keselarasan. Ya keberkahan. Kosa kata tertinggi dalam spritualitas. Mikul dhuwur mendhem jero adalah salah satu falsafah hidup yang menjadikan kita dicintai sesama. Jika ia pemimpin maka dicintai rakyatnya.
Mantan Wakil Ketua DPRD Kota Bekasi itu adalah salah satu contoh dari sekian tokoh Bekasi yang masih memegang kearifan budaya tersebut. Saya yakin masih banyak tokoh lain yang memegang teguh falsafah hidup ini. Mereka ada di mana-mana, ada yang menjadi pengusaha, ekonom, seniman, budayawan, akademisi, politisi, pendidik bahkan sebagai rakyat biasa. Mereka menyebar di berbagai sektor. Memberinya jalan untuk menata Kota Bekasi sebuah kebijaksanaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI